Temuan Lembaga Survei INDODATA: Peredaran Rokok Ilegal di Indonesia Sangat Masif

Senin, 25 Oktober 2021 – 21:39 WIB
Barang bukti rokok ilegal. Foto/Ilustrasi: Bea Cukai.

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga survei INDODATA merilis potret peredaran rokok ilegal di Indonesia.

Dalam perhitungan peredaran rokok ilegal di Indonesia, Indodata menemukan sebesar 28,12 persen responden yang sedang mengkonsumsi rokok ilegal.

BACA JUGA: Bakal ada Penyanyi Terkenal yang Menyusul Celine Evangelista Bercerai?

Direktur Eksekutif INDODATA Danis TS Wahidin menjelaskan latar belakang survei ini berangkat dari perdebatan tentang relasi antara peningkatan dan tingginya cukai terhadap rokok resmi dengan rokok ilegal di Indonesia.

"Ini bukti bahwa ternyata penyebaran rokok ilegal di Indonesia sudah sangat masif dan berbeda jauh dengan temuan-temuan sebelumnya, penemuan kami (rokok ilegal) berada di atas 25 persen," kata Danis di Hotel Morrisey, Jakarta Pusat, Minggu (24/10).

BACA JUGA: Valuasi GoTo Makin Melambung

Kemudian, jika konsumsi rokok ilegal itu dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, lanjut Danis, bisa mencapai Rp53,18 triliun.

Survei INDODATA ini dilakukan selama periode 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi di Indonesia dengan jumlah responden sebanyak 2.500 orang.

BACA JUGA: Ini Sederet Manfaat Migrasi TV Analog ke Digital

Metode yang digunakan kombinasi, yaitu survei di lapangan untuk mengetahui opini publik, menghitung perilaku masyarakat dari konsumsi merokok, lalu menghitung produksi rokok.

Secara demografi, hasil survei INDODATA menunjukkan kebanyakan perokok adalah laki-laki berusia 15-50 tahun, sudah menikah, rata-rata berpendidikan SMA, wirausaha, pegawai swasta, hingga mahasiswa.

Para perokok rata-rata memiliki pendapatan sekitar Rp1 juta-Rp2,5 juta, kemudian level Rp2,5 juta-Rp5 juta, yang tidak berpendapatan ikut merokok yaitu 23, 24 persen, dan kebanyakan menetap di area nonpesisir.

"Kenaikan harga rokok mempengaruhi perilaku perokok, tapi tidak berhenti merokok yang terjadi melakulan perubahan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengkonsumsi rokok ilegal," urai Danis.

Sementara, Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo menyebut lebih dari 300 regulasi di berbagai tingkatan dan dikeluarkan oleh berbagai instansi pemerintah untuk mengatur Industri Hasil Tembakau (IHT).

Peraturan yang fully regulated tersebut hampir dipastikan tidak ada yang melindungi kelangsungan sektor tembakau dari hulu sampai hilir.

Padahal, komoditas strategis tembakau memiliki potensi yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di mana, negara diperkirakan menerima Rp173 triliun dari penerimaan cukai tembakau tahun 2021.

Dia mencatat kenaikan tarif cukai dan harga rokok terus terjadi hampir setiap tahunnya, termasuk pada 2020 ketika pandemi COVID-19 mewabah di Indonesia dan menekan berbagai lini usaha.

Namun, Firman menekankan dampak kebijakan cukai yang eksesif akan meningkatkan peredaran rokok ilegal.

"Jadi berbanding lurus dengan apa yang ditemukan Saudara Danis," ucap Firman via virtual.

Diasumsikan kalau ada peredaran rokok ilegal 5% untuk 2020, maka potential loss dari penerimaan cukai sudah Rp4,38 triliun.

Padahal data Bea Cukai prosentase peredaran rokok ilegal di tahun 2018 adalah 7%, 2017 adalah 10%, dan sebelumnya 2016 sebesar 12%, sedangkan 2020 sebesar 4%.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan yang hadir secara virtual mengatakan, selain kebijakan cukai eksesif 23% PADA 2020 dan 2021, peredaran rokok ilegal turut mengancam kelangsungan usaha IHT.

Menurut Henry, maraknya rokok ilegal sejak 2020 karena daya beli konsumen turun, tingginya harga jual rokok legal dan kurangnya efektif penindakan rokok ilegal di lapangan.

Untuk itu, dia mengusulkan kepada pemerintah agar dilakukan strategi penindakan rokok ilegal secara extra ordinary.

Henry juga meminta tarif IHT pada 2022 tidak naik atau tetap sebesar tarif yang berlaku di tahun ini.

"Kondisi IHT saat ini sangat terhimpit dan kritis, butuh relaksasi minimum tiga tahun bagi usaha IHT untuk pemulihan," tuturnya.

Selain itu, Henry menyarankan, rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, sebaiknya tidak dilakukan.

"Perlu roadmap IHT berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan sebagai peta jalan yang legal dan pasti," kata Hendry.(chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berantas Rokok Ilegal, Bea Cukai Edukasi ke Masyarakat Pentingnya Cukai


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler