Tenda Lama Ambruk, Tenda Baru Dikira Tempat Pengungsian

Minggu, 16 Februari 2014 – 14:52 WIB
Keluarga besar pengantin membawa seserahan sambil mengenakan masker. Foto: JPPhoto

jpnn.com - Kendati Gunung Kelud masih berstatus awas, seorang warga Desa Ploso Klaten, Kecamatan Ploso Klaten, Kabupaten Kediri, tetap nekat menggelar hajatan perkawinan putrinya, Sabtu (15/2). Ratusan tamu berdatangan sambil mengenakan masker.

ANGGIT SATRIYO N, Kediri

BACA JUGA: Nafsiah Masih Setengah Hati Dukung Dahlan jadi Capres

TIDAK ada gending Kebogiro untuk mengiringi temu manten di rumah Sukemi, Desa Ploso Klaten, kemarin siang. Meski kedua mempelai, Aan Sukarji dan Dita Purbaningrahayu, mengenakan pakaian Jawa lengkap, prosesi itu dilangsungkan secara garingan. Proses mempertemukan pengantin tersebut cukup dilakukan dengan panduan sang pranata acara.

Baru setelah prosesi formal selesai, para tamu mendapat hiburan musik organ tunggal dengan para penyanyi seksi yang menggoyang tenda pernikahan. Suasana itu seolah "melupakan" bencana yang baru saja terjadi di desa yang berjarak 15 km dari puncak Gunung Kelud tersebut. Tuan rumah maupun para tamu menjalankan upacara sakral itu dengan khidmat dan apa adanya.

BACA JUGA: Istighotsah Baru Selesai, Kelud Langsung Meletus

Sukemi beserta keluarga begitu bahagia akhirnya bisa menuntaskan hajatan yang sudah dipersiapkan jauh sebelum Kelud meletus itu. Meski masih dibayang-bayangi kekhawatiran terjadinya erupsi Kelud lagi -yang mengakibatkan hujan abu vulkanis, keinginan Sukemi merayakan perkawinan putrinya, Dita Purbaningrahayu, yang dipersunting Aan Sukarji tidak bisa dibendung lagi.

"Doakan lancar hingga pesta ini berakhir ya. Jangan sampai tiba-tiba ada semburan abu vulkanis lagi," ujar Sukemi, ayah Dita, di sela-sela pesta pernikahan.

BACA JUGA: Jalan Tertutup Debu 30 Sentimeter, Jarak Pandang 2 Meter

Memang, ada pemandangan yang tidak biasa dalam perhelatan itu. Keluarga besan, Sukarji, datang membawa ubo rampe seserahan perkawinan dengan mengenakan masker di wajah. Maklum, udara di Kediri masih diliputi abu vulkanis Gunung Kelud sehingga warga mesti melindungi diri dengan kain penutup mulut dan hidung tersebut.

"Ya mau bagaimana lagi? Hari pernikahan sudah diputuskan dua bulan lalu," ujar Suryati, salah seorang saudara pengantin pria.

Bukan hanya keluarga besan dari desa sebelah, Ploso Lor, yang memakai masker. Sebagian panitia dan para anggota hansip yang berjaga juga menutupi wajahnya dengan kain. Hanya kedua pengantin beserta orang tua masing-masing yang tidak mengenakan masker. Sejak pagi mereka memang berada di tempat yang terlindungi, yakni di dalam tenda.

Kendati begitu, suasana bencana masih terlihat di sekitar tenda pernikahan itu. Sebab, di samping tenda pesta ada kantor Kecamatan Ploso Klaten yang dijadikan dapur umum untuk menyiapkan logistik bagi pengungsi. Di tempat itu, puluhan anggota TNI bahu-membahu bersama pegawai kantor kecamatan membuat ribuan nasi bungkus untuk disebarkan ke beberapa kantong pengungsian di kecamatan tersebut.

Tepat di depan tenda, sejumlah aparat Brimob juga terlihat bersiaga. Mereka berjaga-jaga untuk mengevakuasi warga bila sewaktu-waktu terjadi erupsi Gunung Kelud lagi.

Ritual temu pengantin khas adat Jawa tetap berlangsung khidmat. Mulai lempar-lemparan bunga, memecah telur, hingga suap-menyuapi. Mempelai perempuan juga dengan khusyuk mencuci kaki suami yang terkena cipratan telur ayam yang baru saja diinjak. Setelah itu, kedua mempelai diantar ke kursi pelaminan. Upacara diakhiri dengan khotbah yang disampaikan pemuka agama di desa tersebut.

Ekspresi lega tampak pada wajah kedua mempelai beserta orang tua mereka begitu upacara selesai. Senyum Dita dan Aan terus mengembang saat menerima ucapan selamat dari para tamu.

"Waduh, saya semalaman sudah nggak bisa tidur memikirkan gawe ini. Alhamdulillah, semua berlangsung lancar. Rasanya plong," ungkap Sri Rahayu, ibu Dita.

Sementara itu, Aan, sang pengantin pria, bercerita, sebenarnya upacara pernikahan itu dipersiapkan sehari sebelum Gunung Kelud meletus, Kamis malam (13/2). Mertuanya, Sukemi, sudah mendirikan tenda besar untuk perayaan tersebut. Para tetangga juga berdatangan untuk membantu memasak di dapur belakang rumah.

Namun, letusan Gunung Kelud pada Kamis malam itu telah meluluhlantakkan segalanya. Tenda dan dapur ambruk berantakan tidak kuat menahan beban pasir dan abu tebal. Keluarga besar Sukemi langsung mengadakan rapat mendadak, apakah pesta pernikahan ditunda hingga suasana normal kembali atau tetap dilaksanakan dalam kondisi darurat. Sebab, undangan untuk handai tolan telanjur disebarkan.

Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, akhirnya Sukemi memutuskan untuk tetap melangsungkan pesta pernikahan putrinya. Karena itu, lalu didirikan tenda yang baru.

"Tapi, begitu tenda berdiri lagi, warga berbondong-bondong berdatangan. Mereka mengira kami membikin posko pengungsian," ungkapnya.

Aan dan Dita berpacaran sejak SMA. Mereka sudah lama merencanakan pernikahan itu. Tapi, hari "H" pernikahan mereka ternyata didahului erupsi Gunung Kelud yang dahsyat. "Ini namanya musibah. Kami harus bisa memetik hikmahnya," ungkap Aan yang bekerja di perusahaan rokok ternama di Kediri itu.

Menurut mempelai perempuan, Dita, hari pernikahannya tersebut sungguh istimewa. Peristiwa yang akan dikenang sepanjang masa. "Bisa kami ceritakan kepada anak keturunan kami nanti. Doakan kami lekas dapat momongan ya," ucap perempuan 22 tahun itu lantas tersenyum.

Upacara pernikahan juga diselenggarakan keluarga Sriyami, warga Dusun Kalasan, Desa Jarak, Ploso Klaten. Dia "terpaksa" menikahkan putrinya, Dwi Susanti, dengan Bambang Purwanto sehari setelah Gunung Kelud meletus.

Seperti halnya keluarga Sukemi, keluarga Sriyami telanjur mempersiapkan segala sesuatunya untuk melangsungkan pernikahan itu. Namun, pesta yang seharusnya menjadi hari bahagia tersebut berlangsung dengan rasa kekhawatiran terjadinya erupsi. Apalagi ketika itu berembus kabar bahwa Kelud akan memuntahkan abu vulkanis lagi. "Tapi, saya terus berdoa agar diberi kelancaran. Itu saja," katanya.

Sebagaimana halnya di rumah Sukemi, dapur keluarga Sriyami yang sedang menyiapkan makanan untuk pernikahan juga ambruk. Beras ketan yang akan dimasak menjadi jajanan terkena abu vulkanis. Karena itu, dia terpaksa membuang bahan makanan yang akan disuguhkan kepada para tamunya tersebut.

Bahkan, para tetangga yang biasanya ikut membantu memasak tidak menampakkan diri seorang pun. Maklum, mereka disibukkan urusan rumah masing-masing yang kotor karena hujan batu dan abu Kelud itu.

Dwi Susanti, sang mempelai perempuan, menceritakan, upacara ijab kabul di kantor KUA Ploso Klaten dilakukan berbarengan dengan pasangan yang lain. Sebab, penghulu meminta upacara dipercepat untuk mengantisipasi terjadinya erupsi Kelud kembali.

"Kami manut saja. Yang penting sah dan lancar," ujar Dwi yang tidak berencana menamai anaknya nanti dengan Kelud. (*/c5/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Intramuros, Kota di Dalam Benteng di Manila, Filipina


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler