Tenggelam

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 30 Mei 2022 – 16:34 WIB
Ilustrasi bencana alam. Foto: Antara

jpnn.com - Jakarta bakal tenggelam 50 tahun lagi. Semarang dan kabupaten di sekitarnya diperkirakan bakal tenggelam lebih cepat lagi. 

Ramalan ini bukan penujuman atau perdukunan yang memakai kartu tarot atau kemenyan, tetapi nujum ilmiah berdasarkan data lingkungan.

BACA JUGA: Jakarta Terancam Tenggelam, 32 Persen Warga Masih Gunakan Air Tanah

Banjir rob menenggelamkan Semarang selama beberapa hari. 

Banjir kemudian menyebar ke darah-daerah sekitarnya dengan cepat.

BACA JUGA: Semarang Dilanda Banjir Rob, BMKG Minta Warga Pesisir Utara Jakarta Waspada

Bencana ini terjadi akibat kenaikan permukaan air laut yang tidak terkendali disebabkan perubahan iklim yang tidak terduga.

Cara manusia mengelola lingkungan secara tidak bertanggung jawab menjadi salah satu penyebab kerusakan dan bencana. 

BACA JUGA: Jalankan Program TJSL, PT PP Salurkan Berbagai Bantuan untuk Korban Bencana Alam

Sebuah data menyebutkan bahwa penurunan tanah di Jakarta mencapai 10 sentimeter per tahun, sementara itu lebih dari 20 persen wilayah Jakarta sudah berada di bawah laut, sehingga memang rentan untuk tenggelam.

Akan tetapi, beberapa waktu belakangan ada perbaikan dengan adanya perlambatan laju penurunan tanah. 

Kebijakan yang memedulikan kelestarian dan kesimbangan lingkungan terbukti bisa mengurangi ancaman.

Kabar kurang menyenangkan datang dari Semarang dan wilayah pesisir sekitar Demak dan Pekalongan. 

Saat ini laju penurunan tanah di wilayah-wilayah ini lebih tinggi dari Jakarta.

Area-area yang berada di bawah laut juga lebih luas dari Jakarta. Di wilayah itu laju penurunan muka tanah mencapai 10 hingga 20 sentimeter per tahun.

Dalam 10 tahun ke depan jika tidak ada upaya manajemen risiko yang baik, maka prediksi tenggelamnya wilayah-wilayah itu tidak mustahil akan terjadi.

Manusia menjadi pemegang kendali atas lingkungannnya. Cara pembangunan yang ceroboh akan menjadikan bumi menjadi tempat yang tidak layak ditinggali. 

‘’The Inhabitable Earth’’, Bumi yang Tidak Layak Ditempati, seperti yang ditulis oleh wartawan senior Amerika Serikat, David Wallace Wells.

Wells menyebutkan bahwa segala hal yang terjadi saat ini merupakan tujuan maupun dampak dari tindakan manusia untuk mengolah bumi demi kepentingannya.

Itulah yang disebut sebagai ‘’Antroposen’’ yang menjelaskan manusia sebagai penguasa dan pengendali segala hal di muka bumi beserta segala yang berada di dalamnya.

Ancaman paling utama adalah pemasanan global. Kenaikan suhu dunia satu derajat akan membawa perubahan alam yang meluas, mulai dari banjir sampai kebakaran hutan dan penyakit menular.

Kenaikan suhu bumi 5 derajat akan membuat bumi menjadi tempat yang tidak bisa ditinggali lagi.

Permukaan air akan naik dari tahun ke tahun karena pemanasan global. 

Kota-kota yang berada di tepi pantai akan terancam tenggelam, berakibat banyaknya pengungsi ke daerah yang lebih tinggi dan aman, menyebabkan urbanisasi akan merambah ke hutan dan area pelindung.

Jumlah manusia yang terus bertambah menyebabkan kita mulai berlomba-lomba mengambil cadangan air dalam tanah atau akuifer.

Akuifer tidak dapat cepat pulih dan memerlukan jutaan tahun untuk terbentuk. Tinggal tunggu waktu akuifer bakal habis tidak tersisa.

Pandemi Covid-19 yang disusul dengan munculnya berbagai penyakit aneh lainnya tidak tertutup kemungkinan terjadi karena ada hubungannya dengan pemanasan global dan kecerobohan pengelolaan lingkungan. 

Melelehnya lapisan es di antartika bisa melepaskan berbagai macam virus yang sudah terpendam selama ratusan tahun menjadi penyakit baru yang sulit diatasi.

Seperti manusia, makhluk hidup lain juga memiliki rentang kenyamanan suhu untuk dapat berkembang biak, termasuk kuman, bakteri dan virus. 

Di bagian utara bumi, melelehnya es di kutub utara menyebabkan ikut terbawanya virus anthrax yang terpendam selama jutaan tahun, kemudian melanda hewan-hewan di hutan di sekitar wilayah itu.

Bisa saja ada hubungan antara makin sering timbulnya penyakit-penyakit baru di abad 21 ini--seperti Flu Burung, Flu Babi, Foot and Mouth Disease, Virus Hendra, Cacar Monyet--dengan iklim bumi yang kian menghangat. 

Bumi makin panas membuat manusia butuh untuk mendinginkan diri untuk hidrasi tubuh, karena ginjal kita bisa rusak ketika dehidrasi. 

Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan pendingin udara atau AC. Pendingin udara saat ini sudah memakan 10 persen dari penggunaan listrik dunia, yang emisi karbonnya berkontribusi terhadap bertambah panasnya udara. 

Kebakaran terjadi setiap saat di sekitar kita. Penyebabnya adalah korsleting listrik, itu saja penjelasannya. Tidak ada yang mengingatkan bahaya pemanasan lingkungan yang membuat benda-benda mudah terbakar.

Belum lagi kebakaran hutan yang rutin. Bila pohon mati karena alam atau ditebang, maka pohon akan melepaskan karbon ke atmosfer. Kebakaran hutan merupakan umpan balik iklim yang paling ditakuti.

Kebakaran hutan menyebabkan panas yang makin tinggi. Indonesia yang lahannya mayoritas gambut memiliki risiko lebih besar untuk kebakaran.

Jumlah penduduk dunia sekarang 7,8 miliar, semuanya butuh makan. Padi-padian dan jagung menjadi bahan makanan pokok bagi 2/3 penduduk bumi.

Saat ini suhu udara rata-rata di bumi sudah optimal bagi kehidupan jenis-jenis tanaman tersebut. Kalau panas bumi meningkat, maka tanaman itu tidak bisa tumbuh dengan sempuran, sementara jumlah manusia tumbuh tiap tahun. 

Laut dikelola dengan serampangan, atau tidak dikelola sama sekali. Rusaknya terumbu karang akibat limbah manusia merusak seperempat biota laut yang tergantung padanya. Sedikitnya setengah miliar manusia penghidupannya bergantung pada laut.

Paru-paru butuh oksigen, namun ketika kita bernapas ternyata tidak hanya oksigen yang kita hirup. 

Kandungan karbondioksida yang terus meningkat turut kita hirup ketika bernapas. Jika kandungan karbondioksida meningkat di atas 2 kali lipat dari saat ini, akan menyebabkan penurunan kemampuan kognitif hingga 21 persen.

Beberapa tempat di dunia ini akan lebih terdampak dibandingkan tempat lainnya tergantung kapasitas sumber dayanya.

Hal itu menyebabkan terjadinya eksodus manusia ke berbagai tempat, yang kemudian juga akan menghabiskan sumber daya di tempat tersebut. 

Carrying capacity suatu tempat menggambarkan keterbatasan habitat untuk menampung aktivitas manusia sampai titik tertentu. 

Manusia terlalu dimanja oleh kemudahan teknologi sehingga enggan berubah untuk sedikit membantu lingkungan.

Teknologi yang ramah lingkungan, mulai dari kantong belanja organik, panel surya, dan mobil listrik, masih lebih sering menjadi jargon kampanye daripada menjadi praktik sehari-hari.

Banyak yang apatis dengan mengatakan bahwa kemajuan teknologi akan menjadikan dunia baik-baik saja.

Ramalan Malthus bahwa manusia akan kelaparan karena pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan makanan yang tidak seimbang, ternyata tidak terbukti. Manusia bisa mengatasinya dengan kemajuan teknologi.

Pada titik tertentu ketika bumi sudah tidak layak ditinggali, manusia akan melakukan eksodus ke planet lain.

Sesederhana itu pemikirannya, sehingga negara-negara industri tetap memacu tingkat produksinya sampai maksimal.

Kesepakatan untuk menurunkan emisi dunia lewat Protokol Kyoto tidak disepakati dengan hati lapang, tetapi dengan keterpaksaan.

Ketika bumi menjadi 4 derajat lebih panas, ekosistem akan dipenuhi banyak sekali bencana alam.

Manusia dikarunia kemampuan beradaptasi paling tinggi ketimbang spesies lain di bumi, sehingga kita mulai terbiasa dengan bencana.

Kita bahkan menyebutnya dengan istilah ‘’new normal’’. Pandemi yang merenggut nyawa jutaan orang akan kita anggap sebagai normal baru dan kita berdamai dengannya.

Pada akhirnya manusia harus sadar bahwa kita hanya punya satu rumah, yaitu bumi ini. Pembangunan dilakukan untuk manusia, tetapi pembangunan malah membawa manusia berhadapan dengan bencana lingkungan karena kerusakan bumi. Itulah ironi manusia. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler