jpnn.com - JAKARTA - Kemunculan hakim konstitusi Patrialis Akbar di dalam persidangan korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar Kamis (20/2), mengundang tanda tanya publik.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa Patrialis telah melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi karena dianggap telah menunjukkan bentuk solidaritas kepada koruptor.
Peneliti ICW Donal Fariz mengatakan bahwa Patrialis tidak sepantasnya menghadiri sidang perdana Akil di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
BACA JUGA: Jokowi-Puan Terendah, Jokowi-JK Tertinggi
"Kalaulah ini hanya sekedar bentuk solidaritas, tentu hakim MK harus menyadari bahwa solidaritas kepada terdakwa kasus korupsi merupakan logika sesat yang harus mereka jauhi," kata Donal di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan (Jaksel) kemarin (21/2).
Lebih lanjut Donal menjelaskan bahwa sejumlah prinsip kode etik yang dilanggar Patrialis adalah prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, serta prinsip kepantasan dan kesopanan.
"Hakim konstitusi seharusnya menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan," ujar Donal.
Dia juga menganggap bahwa pertemuan Patrialis dan Akil di persidangan saat itu ditengarai untuk membicarakan kasus suap perkara pilkada di MK. "Kami sebenarnya tidak ingin berprasangka buruk. Tapi bisa jadi hal itu terjadi dimana Patrialis meminta agar Akil tidak membuka kasus yang sebenarnya," ucap dia.
Selain itu, Donal juga membeberkan bahwa Patrialis dianggap telah mementingkan untuk menghadiri persidangan mantan koleganya tersebut daripada mengikuti persidangan di MK.
BACA JUGA: Apresiasi Kedekatan SBY Bersama Rakyat di Akhir Masa Jabatan
"Patrialis telah meninggalkan tugasnya untuk menguji UU No 37/2004 yang kepentingannya untuk seluruh bangsa daripada menghadiri sidang Akil," tandasnya.
Tidak hanya itu, pihaknya juga mendesak agar Partialis mundur dari hakim konstitusi. "Jika masih punya rasa malu, lebih baik Patrialis mundur sebagai hakim konstitusi karena tidak punya kapabilitas lagi sebagai hakim konstitusi," katanya.
Sementara itu peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan bahwa sikap Patrialis tersebut sebagai buntut dari dibatalkannya Undang-Undang (UU) MK No 4/2014. Pasalnya, pembatalan tersebut menyebabkan lembaga pengawas MK, Majelis Kehormatan Hakim Konstitiusi (MKHK) turut padam.
"Kejadian ini semakin menguatkan kita perihal bahaya kekuasaan MK yang besar tanpa pengawasan," kata Erwin.
Erwin juga mengatakan bahwa Dewan Etik Hakim Konstitusi tidak dapat diharapkan untuk menyelidiki pelanggaran kode etik dari Patrialis. "Dewan Etik itu sampai sekarang belum ada Surat Keputusan (SK)-nya. Keputusan dari Dewan Etik pun hanya bersifat rekomendasi," terangnya.
Erwin berharap bahwa kasus tersebut dapat menjadi pesan bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mencari sosok hakim konstitusi yang negarawan, serta jauh dari kepentingan politik.
"Ini menjadi pesan serius bagi DPR agar tidak terpilih hakim konstitusi yang tanpa rasa bersalah dan ragu datang ke persidangan kasus korupsi," ujar dia.
Dia juga mendesak agar MK bersedia menjelaskan kepada masyarakat mengenai kedatangan Patrialis ke persidangan Akil kemarin lusa. "MK juga harus melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Patrialis," tuturnya. (dod)
BACA JUGA: Mahfud: Warga NU dan PKB Jangan Bingung Pilih Capres
BACA ARTIKEL LAINNYA... Desak Pengadilan Perintahkan Pemblokiran Aset Bos Pabrik Kuali
Redaktur : Tim Redaksi