Tentang Lothario, Bethsy, dan Budi Gunawan

Hasan Aspahani

Sabtu, 21 Februari 2015 – 23:16 WIB

PAK Hakim Sarpin Rizaldi yang saya hormati. Saya ingin menceritakan ulang satu lakon drama yang naskahnya saya baca di buku Max Havelaar karya Multatuli. Ya, itu adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker seorang pengarang dari Belanda yang pernah delapan belas tahun menjadi pegawai pada pemerintahan colonial Hindia Belanda. 

Kembali ke Belanda nalurinya terusik. Dia tidak bisa tenang karena tidak bisa melupakan betapa buruknya perlakuan penjajah, negerinya sendiri, kepada penduduk Lebak, Banten.

BACA JUGA: Karena Sukarno tak Mau Mendengar Peringatan Hatta

Drama yang tidak dipublikasikan itu, demikian Multatuli memberi keterangan pada kutipan naskah drama di awal novelnya itu, bercerita tentang Lothario, seorang pelayan yang dijatuhi hukuman mati atas tuduhan membunuh seorang wanita.

“Tuanku, ini lelaki yang membunuh Bethsy,” ujar Polisi.

BACA JUGA: Bukan KPK, Tapi Menteri Tedjo yang Membakar Emosi Rakyat

“Dia harus digantung. Bagaimana cara dia melakukannya?” kata Hakim.

“Dia mencincang dan menggarami tubuh Bethsy,” jawab Polisi.

BACA JUGA: Pak Jokowi, Kau Master of Puppets, bukan Puppet of The Masters

“Dia penjahat besar. Dia harus digantung,” ujar Hakim.

Lothario, lelaki yang dituduh itu, membela diri. “Tuanku, saya tidak membunuh Bethsy; saya memberinya makanan, pakaian, dan merawatnya. Saya bisa memanggil saksi-saksi yang akan membuktikan bahwa saya lelaki baik, dan bukan pembunuh.”

Hakim tambah marah atas jawaban Lothario. “Kau harus digantung. Kau memperparah kejahatanmu dengan kesombongan. Tidaklah pantas bagi seseorang yang… dituduh bersalah untuk menganggap dirinya orang baik.”

“Tapi, Tuanku… ada saksi-saksi yang bisa mebuktikannya; dank arena saya dituduh membunuh….,” belum selesai kalimat pembelaan Lothario ketika Hakim membentaknya lagi.

“Kau harus digantung. Kau mencincang Bethsy – kau menggarami potongan-potongan tubuhnya – dan kau merasa puas dengan perbuatanmu – tiga tuduhan berat,” ujar Hakim.

Tiba-tiba masuk seorang perempuan ke ruang sidang.

Hakim bertanya, “Siapa kau wahai Perempuan?”  

“Saya Bethsy,” jawab Perempuan itu.

Lothario tampak amat lega, ia merasa terbebas dari hukuman gantung.

“Syukurlah! Lihat, Tuanku, saya tidak membunuhnya.”

“Hmm! – ya – begitu! – Bagaimana dengan penggaraman?” tanya Hakim.

“Tidak, Tuanku, dia tidak menggarami saya – sebaliknya, dia melakukan banyak hal untuk saya … dia lelaki terhormat!” ujar Bethsy.

“Anda mendengar sendiri, Tuanku, dia mengatakan saya lelaki jujur,” kata Lothario.

Bagaimana nasib Lothario? Terbebaskah dia dari vonis hukuman gantung?

“Huh! – Tuduhan ketika masih berlaku. Bawa pergi tawanan ini! Dia harus digantung; dia bersalah karena kesombongannya.

Demikianlah ceritanya, Pak Hakim Sarpin Rizaldi. Saya berharap Anda sudah pernah membaca buku Multatuli itu. Buku yang ujar Pramoedya Ananta Toer “membunuh kolonialisme”.  Saya tidak ingin bicara soal isi buku itu.

Saya hanya ingin berbagi ingatan tentang cerita di atas. Ini memang hanya sebuah petikan drama pendek. Tapi, lihatlah, betapa berkuasanya hakim, sosok yang duduk di meja hijau, bertoga dan punya kuasa mengetukkan palu vonis. Betapa nasib orang yang dibawa ke pengadilan tergantung atas tafsir seorang hakim, ya, ini bukan analogi yang kebetulan karena dalam sidang praperadilan yang Anda pimpin beberapa waktu lalu Anda adalah hakim tunggal.

Saya tidak tahu banyak tahu tentang hukum, tidak pernah belajar secara khusus tentang hukum.  Karena itu saya juga tidak bisa menilai kenapa gugatan penetapan seseorang sebagai tersangka yang tidak masuk dalam materi gugatan praperadilan itu dengan yakin Anda terima, dan Anda bahkan mengabulkan gugatan dari calon Kapolri Budi Gunawan itu.

Pak Hakim Sarpin Rizaldi yang saya hormati. Saya membaca Anda adalah salah satu hakim yang memutuskan vonis kepada 17 tahun kepada tersangka pembunuh artis muda belia Alda Risman. Anda juga pernah membebaskan terdakwa korupsi di PN Jatim. Waktu itu, tahun 2009, Anda memvonis bebas Camat Ciracas M Iwan, dalam kasus dugaan korupsi Rp17,9 miliar, meskipun jaka menuntut 7 tahun penjara. Pasti banyak kasus-kasus lain yang Anda putuskan selain dua catatan yang saya kutip di atas.

Saya dengar kabar yang dikutip dari kawan-kawan Anda, jika mencari Anda, carilah di masjid. Saya percaya pada berita baik ini. Saya percaya kesalehan Anda pasti bisa menjadi pemandu diri Anda sebagai hakim. Saya yakin Anda pasti punya banyak bahan untuk menjadi adil, bijaksana, dan karena itu cerita hakim yang tetap menghukum Lothario meski tuduhan pembunuhan atasnya jelas tidak benar rasanya tak terlalu penting buat Anda.

Sekali lagi, saya hanya ingin berbagi cerita yang relevan dengan profesi Anda, betapa tafsir seorang hakim bisa salah, atau sengaja disalahkan – untuk mencari kesalahan seseorang, dan dengan kesalahan yang dicari-cari itu, dia dihukum.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mari, Meneruskan dan Mengoreksi Sukarno


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler