Terancam Defisit, RS Diminta Lebih Efisien

Jumat, 07 Maret 2014 – 05:23 WIB

jpnn.com - JAKARTA  - Hingga memasuki bulan ketiga, masalah tarif dalam penerapan sistem Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan masih terjadi.  Resiko defisit pun mulai menghantui rumah sakit yang bergabung dengan BPJS kesehatan.

Dalam diskusi yang dilakukan kemarin, Kepala National Casemix Center (NCC) Bambang Wibowo mengatakan memang ada penurunan atau minus pendapatan yang dialami rumah sakit dalam bidang tertentu.

BACA JUGA: KPK Bantah Beri Tahu Status Anas Sebelum Jadi Tersangka

Misalnya dari perhitungan salah satu rumah sakit di Banjarmasin. Rumah sakit tersebut harus mengalami defisit dalam hal operasi cesar. Menurutnya, hal itu disebabkan masih belum optimalnya efisiensi yang dilakukan pihak rumah sakit terhadap pelaksanaan operasi cesar tersebut.

Efisiensi ini dimaksutkanya dalam hal pemberian penanganan lebih maupun obat yang diberikan.

BACA JUGA: Ingat Anak Istri, Menangis di Persidangan

"Namun tertutupi oleh plus dari efisiensi bidang lain. Hasilnya masih untung jika dihitung secara keseluruhan," ungkapnya.

Memang, diakuinya, perubahan pola pentarifan dari fee for service menjadi INA CBGs masih cukup sulit. Terlebih bagi rumah sakit yang terbiasa memberikan semua fasilitas pelayanan pengobatan dan obat-obat bermerk untuk mencari untung. Karenanya, tak jarang terjadi over treatment (kelebihan pemeriksaan), over utility (kelebihan alat/teknologi) dan over precription (kelebihan obat).

BACA JUGA: Antasari Ingin KPK Bersih Dulu Sebelum Berantas Korupsi

"Kalau dulu kan semua biaya ditangguhkan ke pasien, kalau sekarang kan ditanggung bersama. Oleh karenanya, dokter dan rumah sakit harus memiliki teknologi yang cost effective. Sehingga tidak akan mengalami minus," jelasnya. Teknologi cost efefective ini dapat dimulai dari pengadaan obat.

Menurutnya, rumah sakit bisa mulai menggunakan obat-obat generik. Ia mengatakan, dengan penggunaan obat generik bukan berarti kualitas obat akan menurun. Sebab, hingga kini belum ada bukti konkrit mutu obat generik lebih buruk daripada obat bermerk.

"Di Indonesia ini 30-35 persen biaya pengeluaran dari obat. Padahal kalau di negara lain hanya sekitar 20-25 persen. Ini hal dasar yang harus dibenahi," katanya.

Selain itu, perencanaan matang sebelum melakukan pengadaan barang dan jasa juga harus mulai dipikirkan sejak awal. Pemberian pelayanan kesehatan yang berlebihan harus mulai dihindarkan jika tidak ingin mengalami kerugian. Pasalnya, dalam INA CBGs pembayaran sudah dikelompokkan sesuai dengan diagnosis awal.

"Peningkatan pemahaman mengenai INA CBGs oleh manageman rumah sakit dan dokter juga sangat diperlukan. Agar perencanaan bisa benar-benar berjalan dengan baik," ujar Bambang.

Meski masih bermasalah, Bambang yakin sistem ini akan mengahasilkan keuntungan baik bagi rumah sakit maupun pasien. Sebab, ke depannya akan ada perbaikan yang akan terus dilakukan. (mia)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaksa KPK Tolak Eksepsi Akil


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler