jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Ahmad Taufan Damanik menyebut praktik hukuman mati di Indonesia harus dihapuskan karena tidak terbukti efektif dalam memberantas korupsi.
Seperti diketahui, jaksa telah menuntut hukuman mati dalam kasus mega korupsi PT Asabri, terhadap terdakwa Heru Hidayat.
BACA JUGA: Pakar Sebut Penghitungan Kerugian Negara di Kasus ASABRI Sesuai Selera Penguasa
Tuntutan ini kemudian menjadi perdebatan besar dan kontroversi, karena banyak pihak yang tidak sepakat dengan penegakan hukum yang demikian sebagai upaya pemberantasan korupsi.
Menurut Taufan, hukuman mati mencederai prinsip hak asasi manusia, sehingga sudah selayaknya tidak lagi diberlakukan sebagai solusi terakhir dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
BACA JUGA: Kejagung Tuntut Hukuman Mati, Deretan Pakar Hukum Ini Ungkap Kejanggalan Kasus ASABRI
"Ya dalam perspektif hak asasi manusia, hukuman mati itu sudah harus dihapuskan. Jadi gerakan global itu adalah gerakan penghapusan hukuman mati. Indonesia termasuk negara yang sudah didorong untuk menghapuskan hukuman mati, karena memang itu tidak sesuai dengan prinsip dan standar hak asasi manusia," kata Taufan kepada wartawan, Kamis (9/12).
"Contohnya ya, hukuman mati yang diberlakukan pada tidak pidana korupsi, gak terbukti di negara-negara manapun di dunia ini bahwa itu efektif untuk mengurangi praktik korupsi," ujarnya menambahkan.
BACA JUGA: Ahli: Sumber Dana ASABRI Bukan Uang Negara
Lebih lanjut, Taufan mencontohkan negara-negara di Eropa, seperti Skandinavia, yang tingkat korupsinya sangat rendah.
Hal itu bukan karena ancaman atau penerapan hukuman mati, tetapi disebabkan oleh praktik hukum yang bagus dan pembenahan sistem lebih baik.
Padahal, negara-negara Skandinavia sudah lama menghapuskan praktik hukuman mati.
Tingkat korupsinya justru begitu rendah dikarenakan sistem keuangan negara yang dijalankan pemerintah sudah baik dalam hal pengawasan.
Justru, Taufan melihat negara-negara yang masih ngotot menerapkan hukuman mati dalam penegakan hukum, tingkat korupsinya tetap saja tinggi.
“Itu juga kaitannya dengan terorisme dan narkoba. Indonesia sudah menerapkan sekian banyak eksekusi hukuman mati kepada pelaku narkoba misalnya, tapi nyatanya tidak turun-turun kan penggunanya," ujar Taufan.
Ia menegaskan, bahwa dengan melihat bukti tersebut, maka kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara penerapan hukuman mati dengan langkah yang efektif untuk mengurangi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti korupsi, narkoba hingga terorisme.
“Itu tidak terbukti, bahkan untuk kasus terorisme, mereka senang dengan hukuman mati. Karena mereka ingin jihad dan ingin segera (sesuai dengan keyakinannya) masuk surga. Jadi dengan hukuman mati malah mereka seneng. Itu berdasarkan pengakuan dari temen-temen BNPT dan Densus 88 ya. Sehingga hukuman mati bagi mereka terbukti idak efektif. Malah ditengarai akan menambah rasa semangat mereka untuk melakukan ‘jihad’ seperti versi mereka. Dalam pandangan teroris, jihad itulah yang mereka cari," ucap Taufan.
"Jadi menurut saya sistemnya yang harus diperbaiki, penguatan sistem pemidanaan, pemberian hukuman yang maksimum gitu," ujarnya menambahkan.
Terkait Heru Hidayat, Taufan menyarankan agar jaksa tidak perlu lagi menerapkan tuntutan hukuman mati.
Dia melihat penegakan hukum yang demikian, hanya sebatas pencitraan publik saja.
Sesuatu yang kemudian bisa dibanggakan bahwa telah menuntut mati seseorang.
"Sebetulnya secara tidak eksplisit pemerintahan Jokowi, karena beberapa tahun terakhir kan sudah melakukannya, moratorium (penundaan) terhadap hukuman mati. Anehnya kenapa diajukan lagi hukuman mati? Saya kira lebih kepada pencitraan publik saja," kata Taufan.
Lalu, Taufan juga memberi masukan kepada Kementerian BUMN terkait kasus Jiwasraya maupun Asabri, agar segera dilakukan pembenahan sistem manajemen perusahaan-perusahaan tersebut.
Hal itu dianggapnya sebagai langkah efektif dalam pengawasan.
"Karena kasusnya kan mirip-mirip itu semua, sehingga kemungkinan bisa dibobol oleh kelompok-kelompok tertentu. Jadi menurut saya yang paling efektif adalah pembenahan. Sekarang sudah dibikin holdingnya gitu bahwa perusahaan asuransi BUMN ada holding. Tetapi kita juga mau ada pembenahan, pengawasan termasuk SOP yang jelas dan lain-lain, itu yang lebih penting," ujar Taufan.
Taufan menuturkan, bahwa hal yang tak kalah penting juga adalah melakukan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang lagi.
"Yang sudah terjadi ini harus jadi pelajaran bagi mereka yang terlibat ya dihukum maksimal saja. Jadi tidak perlu hukuman mati," ucapnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil