jpnn.com, JAKARTA - Dosen Program Studi Hukum di Universitas Pelita Harapan (UPH) Jonker Sihombing angkat bicara terkait mencuatnya kembali ke publik tentang masalah salah transfer oleh bank.
Dia menyebut penggunaan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana untuk penerima dana salah transfer diakuinya masih kontroversi.
BACA JUGA: Bagi yang Pernah Berhubungan dengan Pemuda Ini, Siap-Siap Saja
Penyebabnya, penggunaan pasal 85 kepada penerima dana salah transfer, tidak dapat langsung diterapkan begitu saja, akan tetapi bank harus menunjukkan bukti terlebih dulu.
"Hukum memberikan perlindungan terhadap nasabah beriktikad baik," kata Jonker dalam keterangan yang diterima JPNN.com, Rabu (10/11).
BACA JUGA: 9 Bulan Buron, Pembunuh Ini Ternyata Sembunyi di Hutan, Sekarang Ada 3 Bolong di Kakinya
Iktikad baik yang dimaksud ialah nasabah yang berhati-hati dan memeriksa dengan menanyakan perihal dana yang masuk ke rekeningnya kepada pihak bank.
Jonker menegaskan hukuman pada pelanggaran yang diatur Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 itu memang cukup berat.
BACA JUGA: Kasus Salah Transfer Rp51 Juta Belum Berakhir
"Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak lima miliar rupiah," tutur dia.
Adapun salah satu unsur pidana dalam aturan itu ialah pelanggaran dalam bentuk kesengajaan untuk menguasai dan mengakui dana hasil transfer sebagai miliknya.
"Kedua, pro parte dolus, pro parte culpa, yaitu delik yang dalam perumusannya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus," terang Jonker.
Menurutnya, nasabah yang telah menanyakan pihak bank terkait dana yang diterimanya tidak memenuhi unsur pidana.
Penerima dana juga tidak bisa dipidana jika pihak bank mengirimkan pemberitahuan yang menginformasikan bahwa nasabah tersebut mempunyai hak untuk mengambil dana hasil transfer.
Tidak adanya pernyataan keberatan dari pihak bank dalam batas waktu wajar yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-Undangan juga membebaskan penerima dana dari unsur pidana.
Jonker menjelaskan bukti yang wajib ditunjukkan dari pihak bank sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang tentang Transfer Dana.
"Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan transfer dana yang menimbulkan kerugian pada pengirim asal atau penerima, penyelenggara dan/atau pihak lain yang mengendalikan Sistem transfer dana dibebani kewajiban untuk membuktikan ada atau tidaknya keterlambatan atau kesalahan transfer dana tersebut,” papar Jonker Sihombing.
Lebih lanjut, unsur pidana dengan senagaja menguasai dan mengakui dana transfer bisa dikecualikan apabila terjadi hal seperti penjelasan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang tentang Transfer Dana.
"Dalam hal penyelenggara penerima akhir melakukan pengaksepan, pengaksepan tersebut wajib dilakukan dengan segera pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana dari penyelenggara," tutur Jonker.
Dia menjelaskan bank pengirim dana harus segera memperbaiki kekeliruan dengan pembatalan atau perubahan. Jika terlambat, bank pengirim harus membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada penerima.
Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (Untar) Ade Adhari mengatakan penggunaan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 harus hati-hati.
“Pasalnya, ada hal yang harus dipastikan berjalan terlebih dahulu. Dengan kata lain, ada kewajiban yang seharusnya dijalankan oleh pihak bank sebagai penyelenggara transfer dana,” kata Ade, Jumat (5/11).
Ade menyebut aturan normatif pada ayat ini menghendaki pihak bank sebagai penyelenggara transfer dana memperbaiki kekeliruan dalam waktu 1x24 jam. (mcr9/jpnn)
Redaktur : Budi
Reporter : Dea Hardianingsih