Terkait Pembredelan Majalah, Kapolri Diminta Tegur Kapolres Ini

Minggu, 25 Oktober 2015 – 22:30 WIB
Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar Diskusi Publik dengan tema “Menguak Tabir Pembredelan Majalah Lentera” di De’Resto Café, Plaza Festival, Kuningan, Jakarta Pusat, Minggu (25/10). FOTO: DOK.FAA PPMI

jpnn.com - JAKARTA – Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Agung Sedayu mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Badrodin Haiti dan Kapolda Jawa Tengah agar memberikan teguran kepada Kapolres Salatiga beserta jajarannya karena sewenang-wenang melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Penerbit Majalah Lentara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (Fiskom) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

“Kapolda Kapolri dan kapolda Jawa Tengah harus memberikan teguran kepada Kapolres Salatiga yang telah sewenang-wenang melakukan pemanggilan kepada mahasiswa anggota LPM Lentera,” kata Agung Sedayu saat diskusi publik bertajuk “Menguak Tabir Pembredelan Majalah Lentera” yang digagas FAA PPMI dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di De’Resto Café, Plaza Festival, Kuningan, Jakarta Pusat, Minggu (25/10).

BACA JUGA: Gunung Baru di Kawasan Rinjani Erupsi, Begini Jadinya...

Agung juga mengecam dan mendesak semua pihak yang terlibat dalam pemberedelan Majalah Lentera seperti Polres Salatiga, Wali kota Salatiga, Rektor UKSW dan Kodim Salatiga, agar meminta maaf kepada Lentera secara terbuka. 

Agung menilai menilai LPM Lentera sudah melakukan proses peliputan melalui wawancara dengan narasumber, observasi untuk reportase hingga menggunakan dokumen dan literatur yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika ada pihak yang merasa keberatan atas liputan LPM Lentara, kata Agung, maka bisa melakukan dialog dan diskusi.

BACA JUGA: Yuddy Apresiasi Pembuatan Film Ini

“Kalaupun ada yang dianggap keliru atau salah oleh pihak-pihak tertentu maka bisa menyampaikan hak jawab atau ralat, bukan dengan cara menarik majalahnya,” ungkap Agung Sedayu seperti dikutip dalam siaran pers FAA PPMI dan AJI Indonesia, Minggu (25/10).

Menurut Agung, laporan jurnalistik itu adalah usaha memperoleh kebenaran secara terus menerus.

BACA JUGA: PDIP Dituding Manfaatkan Pansus DPR untuk Rebut Pelindo II

Dalam diskusi ini, Pemimpin Redaksi Majalah Lentera, Bima Satria Putra menyampaikan kronologis pemberedelan dan penarikan Majalah tersebut.

Menurut Bima, pembredelan Majalah Lentera, yang diterbitkan oleh LPM Lentera Fiskom UKSW Salatiga pada 9 Oktober 2015 lalu, oleh pihak kepolisian adalah pelanggaran hukum dan pengekangan kebebasan Pers.

“Pada Minggu, 16 Oktober 2015, Polres Salatiga memanggil tiga awak LPM Lentera dan diperiksa dari pagi hingga menjelang sore hari. Polisi meminta agar Majalah Lentera yang sudah diedarkan ditarik lagi untuk diserahkan ke pihak kepolisian,” ucap Bima.

“Polisi juga bergerak melakukan penarikan majalah yang beredar di beberapa stand penjualan majalah tersebut,” kata Bima lagi.

Bima mengungkapkan bahwa pihak kepolisian mempersoalkan SIUP penerbitan Majalah mereka. “Kami ditanyai izin penerbitan, adanya gambar palu arit dalam sampul majalah, dan kami dianggap meresahkan masyarakat Salatiga,” ujar Bima.

Terkait kejadian itu, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Iman D. Nugroho, mengecam langkah Polres Salatiga yang sewenang-wenang memanggil awak media LPM Lentera. Apalagi, menurut Iman, pemanggilan itu tak disertai dengan surat resmi pemanggilan.

Langkah Polres Salatiga memeriksa dan meminta LPM Lentera ditarik bisa menjadi insiden memalukan. Ia juga menilai bahwa dasar pemanggilan tidak memiliki landasan.

“Jika yang dipersoalkan adalah SIUP, itu mindset lama. Ini bisa mencederai demokrasi. Kita bisa gugat balik kepolisian atas pelanggaran ini,” tegas Iman D Nugroho.

Iman juga menegaskan Lentera adalah karya jurnalistik, meski diproduksi oleh pers mahasiswa. Polres sebagai penegak hukum harusnya mengerti produk pers dilindungi UU Pers.

“Polres Salatiga tidak boleh menggunakan kewenangannya secara serampangan sehingga bisa mengancam dan memberangus kebebasan pers dan berekspresi yang dilindungi undang-undang,” ujar Iman.

Senada dengan Iman, alumni UKSW Salatiga, Monic Reijkers juga meminta civitas akademika UKSW untuk memberikan perlindungan kepada awak LPM Lentera.

“Rektor UKSW dan Dekan Fisikom seharusnya memberikan perlindungan kepada mahasiswanya yang telah membuat karya untuk LPM Lenetara. Liputan LPM Lentera harus diapresiasi dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, apa yang dilakukan LPM Lentera adalah bentuk penghargaan kepada kemanusiaan,” tutur Monic.

Hal senada disampaikan Komisioner Komnas HAM Nur Khoiron. Nur Khoiron menyampaikan bahwa isu 65 memang menjadi isu yang sensitif. Setidaknya saat ini pihak Komnas HAM telah menerima beberapa pengaduan yang senada,

“Penarikan ini menjadi insiden memalukan. Ada ketakutan yang berlebih terhadap isu tahun 1965. Ini bisa mencederai demokrasi,” tutur Nur Khoiron.

Diberitakan sebelumnya, perwakilan puluhan lembaga masyarakat sipil dan individu melayangkan surat kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Kamis (22/10/1015).

Dalam surat tersebut, mereka menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

“Kami mengecam keras upaya sejumlah pihak untuk menarik peredaran majalah Lentera Edisi 3 Tahun 2015 berjudul ‘Salatiga Kota Merah’, serta interogasi sejumlah awak Lembaga Pers Mahasiswa Lentera oleh aparat Kepolisian Resor Salatiga,” demikian pernyataan bersama mereka kepada Komnas HAM, yang tembusannya dikirim Alumni PPMI (Alumni Pers Mahasiswa) diterima Redaksi JPNN.com, Jumat (23/10).

Lebih lanjut, mereka menilai langkah sejumlah pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar hak asasi manusia mahasiswa UKSW untuk berekspresi dan menyampaikan informasi. Mereka juga menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera itu melanggar hak asasi manusia warga negara lain untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik para jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Lentera seputar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Disebutkan bahwa pada Jumat, 9 Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menerbitkan edisi Majalah Lentera yang berjudul “Salatiga Kota Merah.”

Majalah Lentera mempublikasikan karya jurnalistik investigasi dan jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September bagi Kota Salatiga, dengan melakukan penelusuran tentang Walikota Salatiga Bakri Wahab yang diduga anggota PKI serta penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama Salatiga.

Selain itu, Majalah Lentera juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Kota Salatiga dan sekitarnya, dengan melakukan reportase empat titik pembantaian, Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di Tuntang dan Beringin serta di Gunung Buthak di Susukan.

Edisi “Salatiga Kota Merah” terbit 500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp15.000. Majalah itu disebarluaskan masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di kafe serta beberapa tempat yang memasang iklan dalam majalah tersebut. Lentera juga disebarluaskan ke instansi pemerintahan di Salatiga dan organisasi kemasyarakatan di Semarang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Publikasi Majalah Lentera telah mengembangkan pendapat umum warga Salatiga dan sekitarnya mengenai peristiwa Gerakan 30 September, dampak peristiwa itu bagi kehidupan warga Kota Salatiga, dan peristiwa pembantaian massal orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia.

“Pendapat umum itu tentu saja diwarnai pro dan kontra, menjadi diskursus umum yang mewarnai ruang-ruang publik, sebagaimana yang lazim terjadi dalam negara demokrasi manapun di dunia.” (fri/jpnn)

Berikut ini nama-nama perwakilan lembaga masyarakat sipil dan individu yang turut melayangkan surat kepada Komnas HAM terkait pembredelan Majalah Lentera:

1. Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Agung Sedayu

2. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), Suwarjono

3. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Asep Komaruddin

4. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar

5. Social Blogger, Damar Juniarto

6. Perupa, Dolorosa Sinaga

7. Peneliti IPT 65, Ayu Wahyuningroem

8. Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Dr R Herlambang P Wiratraman

9. Kepala Pusham Unimed, Majda El Muhtaj

10. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang (AJI Semarang), M Rofi’udin

11. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta), Ahmad Nurhasyim

12. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad

13. Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar (FAA PPMI Makassar), M Sirul Haq

14. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pulih, Miryam Nainggolan

15. Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesia Development, Mugiyanto

16. Sekretaris Eksekutif Syarikat Indonesia, Ahmad Murtajib

17. Direktur Program Indonesia dan Regional Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita

18. Program Manajer Indonesia AJAR, Dodi Yuniar

19. Pegiat HAM dan Demokrasi, Zico Mulia

20. Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan, Anik Wusari

21. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar

22. Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto

23. Manajer Program Yayasan TIFA, R Kristiawan

24. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia Jakarta, Rio Ayudhia Putra

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cium Aroma Permainan Anggaran, KPK Diminta Awasi Banggar DPR


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler