Terkait Putusan MK, Begini Saran Mahfud MD Cegah Sesuatu yang Lebih Berbahaya

Selasa, 24 Oktober 2023 – 07:05 WIB
Bakal cawapres Mahfud MD di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Rabu (18/10). Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas minimal usia capres-cawapres hingga saat ini menjadi sorotan publik.

Pasalnya, putusan MK dapat memengaruhi bursa cawapres yang maju dalam Pilpres 2024.

BACA JUGA: BEM Nusantara Gelar Aksi Serentak, Tolak Putusan MK yang Memuluskan Langkah Gibran

Putusan MK itu dinilai membuka jalan bagi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, diusung sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Menanggapi polemik tersebut, bakal cawapres Mahfud MD menegaskan bahwa hakim MK yang terlibat konflik kepentingan tidak boleh ikut memutuskan suatu perkara atau permohonan uji materi.

BACA JUGA: Gibran Jadi Calon RI2, Media Asing Anggap Jokowi Masih Ingin Berkuasa

“Dalam pengadilan itu ada asas-asas sebenarnya, misalnya, yang paling terkenal itu kalau suatu perkara terkait dengan kepentingan diri sendiri, keluarga, punya ikatan kekeluargaan maupun hubungan kepentingan politik, itu hakim tidak boleh mengadili,” kata Mahfud Md di Jakarta, Senin (23/10).

Ditekankan bahwa hakim harus bebas dari seluruh konflik kepentingan karena itu bagian dari asas-asas dan prinsip penegakan hukum.

BACA JUGA: Analisis Dahlan Iskan soal Relasi Gibran & Puan: Jateng Jadi Medan Perang

Dia mengatakan situasi semacam itu ke depan tidak boleh terjadi lagi.

“Ini menjadi pelajaran bagi kita semua agar ke depan itu tidak boleh terjadi lagi,” kata dia.

Terlepas dari itu, Mahfud MD menegaskan bahwa jika majelis hakim telah mengeluarkan putusan, maka itu menjadi keputusan hukum yang final dan mengikat.

“Putusan MK itu sudah dijatuhkan dan sudah mengikat. Apa pun isinya tetap harus dilaksanakan,” kata Mahfud, yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI.

Pria kelahiran 13 Mei 1957 itu menjelaskan, jika putusan MK itu tidak dijalankan, maka akan berakibat pada pelaksanaan Pemilu 2024.

“Oleh sebab itu, ini harus kita terima sebagai kenyataan, karena menurut konstitusi setiap putusan hakim itu inkracht dan harus dilaksanakan. Kalau kita berdebat lagi soal itu, nanti ada alasan untuk membuat sesuatu yang lebih berbahaya bagi bangsa ini,” kata Mahfud MD.

Tokoh kelahiran Sampang, Madura, itu meminta masyarakat untuk mengikuti proses pemeriksaan etik yang berjalan kepada para hakim, terutama mereka yang diduga melanggar etik.

“Sekarang ini sedang berproses di Majelis Kehormatan (MK),” kata dia.

Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin, mengumumkan pembentukan Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk menerima dan menangani dugaan pelanggaran etik hakim MK yang dilaporkan oleh masyarakat.

Dalam rapat permusyawaratan hakim, MK memutuskan menunjuk tiga nama, yaitu Prof. Jimly Asshiddiqie (mewakili kelompok masyarakat), Bintan Saragih (kelompok akademisi), dan Wahiddudin Adams (hakim konstitusi) untuk bertugas dalam Majelis Kehormatan MK.

MK sejauh ini menerima beberapa aduan pelanggaran kode etik terkait putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan itu, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Hasilnya, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yang menjadikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi: “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. (antara/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler