jpnn.com - ANAK- anak anggota Gafatar di Kabupaten Kayong Utara (KKU) tidak menempuh pendidikan formal. Dari penelusuran Rakyat Kalbar (Jawa Pos Group), mereka punya sekolah sendiri dan tidak diajarkan pelajaran agama.
Ema namanya. Ketika ditemui, bocah 9 tahun itu terlihat sibuk berkemas-kemas dan menyiapkan segala barang. Sejak pagi hingga siang, suasana di perkampungan yang dihuni Ema memang terlihat sangat sibuk.
BACA JUGA: Eks Gafatar: Orang Dayak Justru Melindungi Kami
Pasalnya, usai Salat Jumat, mereka sudah diultimatum warga dan pemerintah setempat untuk mengosongkan perkampungan yang baru dibuka sekitar tujuh bulan tersebut.
Di perkampungan yang sedikit jauh dari pemukiman warga setempat itu, Ema dan saudara sulungnya, Faris, plus dua perempuan muda yang merupakan kerabat mereka, duduk di depan pintu tempat tinggalnya.
BACA JUGA: Kami Usir dan Jika Perlu Kami Bunuh
Mulanya, RK berbincang dengan dua perempuan yang enggan menyebutkan namanya tersebut. Diskusi terhenti ketika masuk ke topik maksud dan tujuan Gafatar plus keyakinan di dalamnya.
Ketika dua perempuan yang mengaku masih gadis itu berlalu, Ema dan Faris tetap duduk. Ema adalah anak kedua dari empat bersaudara. Orangtua mereka sedang berada di Ketapang hampir sepekan. Sebab, ibunya melahirkan anak keempat di rumah sakit Ketapang. “Ibu melahirkan pada Jumat (dua pekan lalu), di sana tinggal di rumah kos,” kata Faris.
BACA JUGA: Sang Gubernur Ikut Kepincut Karya ââ¬ËManusia Robotââ¬â¢
Tak lama kemudian, keduanya pun masuk ke dalam rumah karena harus bersiap meninggalkan perkampungan di Melinsum untuk menuju penampungan yang disiapkan di halaman Kantor Desa Sutera, Sukadana.
Selang beberapa menit, Ema kembali keluar dan sudah terlihat rapi. Rambutnya yang ikal disisir dan diikat gaya ekor kuda. Mungkin dia sudah mandi, terlihat lebih segar dari sebelumnya.
“Mau pulang kemana Ema?” tanya awak Rakyat Kalbar memulai percakapan. “Nggak tau,” jawab Ema.
“Ema enggak sekolah?” tanya RK lagi. “Enggak,” ujar Ema.
“Tapi, udah sekolah kan?” kembali RK bertanya. “Sudah, sekolah di rumah sana home schooling,” tutur Ema polos, telunjuk kanannya menunjuk ke salah satu sudut bangunan perkampungan yang berada agak di depan.
“Bu Ida dan Bu Vira, guru kami di Home Schooling,” sebutnya.
Obrolan dengan Ema semakin dalam. Ia mengakui tidak pernah mengecap bangku sekolah formal. Hanya pendidikan di home schooling yang Ema dan anak-anak di sana dapat. Seperti apa pendidikan di dalamnya?
Menurut Ema, mereka diajar oleh dua orang guru. “Kami diajarkan matematika, juga diajar menghitung dan membaca,” lugasnya.
Ema mengaku tidak mendapat pelajaran agama di home schooling. Bahkan, ia pun mengakui tidak diajarkan mengaji. Padahal, Ema dan keluarganya merupakan muslim. Bahkan kabarnya, sebanyak 23 kepala keluarga (KK) dengan 107 jiwa di pemukiman itu mayoritas beridentitas Islam.
Ema yang seharusnya sudah duduk di Kelas Tiga SD itu mengaku sampai saat ini belum bisa membaca Alquran. Dia belum pernah diajarkan.
Sekata dengan Ema, Salwa pun mengakui hal serupa. Bocah 8 tahun ini yang datang menemani Ema itu mengaku hanya diajarkan membaca dan menghitung. Jangankan pendidikan agama, Salwa juga membenarkan tidak pernah diajarkan mengaji.
RK kemudian meminta keterangan dari dua guru di home schooling perkampungan itu yang disebut Ema, Bu Ida dan Vira. Ida mengaku guru Bahasa Inggris, latar belakang pendidikannya lumayan. Sudah Strata 1. Wanita asal Cilacap tersebut mengaku lulusan IKIP Semarang.
Sedangkan Vira yang mengaku asal Bengkulu hanya tamatan SMA. “Cuma mengajarkan pelajaran eksakta,” terangnya.
Belum puas dengan fakta yang didapat mengenai agama dan keyakinan di kelompok tersebut, RK mencoba mengkonfirmasi Siregar. Ia disebut oleh warga di sana sebagai ketua atau koordinator Perkampungan Melinsum.
“Soal agama itu kembali kepada individu masing-masing. Kami di sini hanya sosial budaya dan lebih ke program pertanian yang mencoba mewujudkan ketahanan pangan. Di sini bebas, semuanya memiliki kebebasan untuk menjalankan agamanya,” ujarnya.
Hanya saja, apa yang disampaikan Siregar sedikit bertolak belakang dengan penuturan imam masjid di desa itu. Kata Sang Imam, pendatang yang diketahui eks Gafatar di Melinsum tidak pernah terlihat salat di masjid.
“Pada bulan Ramadan tidak pernah terlihat ikut Salat Tarawih. Juga sudah dua kali lebaran, namun tak kelihatan mengikuti Salat Ied (Idul Fitri, red),” terangnya.
Kecurigaan ada ‘penyelewengan’ atas keyakinan atau agama yang dianut eks Gafatar ini semakin kuat ketika Satpol PP KKU menemukan empat buku ‘sesat’ dari tangan salah seorang eks Gafatar yang tinggal di rumah kontrakan Desa Sutera, Kecamatan Sukadana.
Empat buku diantaranya ditulis oleh Ahmad Musadeq yang mengaku sebagai Nabi. Kini semua sudah diamankan Bupati Kayong Utara, Hildi Hamid.(Kamiriluddin/rakyatkalbar/jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tokoh Agama Serukan Tahun 2016 Menjadi Tahun Pertobatan
Redaktur : Tim Redaksi