Ternyata, Ini Lho Maksud Presiden soal Benci Produk Impor

Jumat, 05 Maret 2021 – 20:56 WIB
Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi menjelaskan maksud Presiden Jokowi soal benci impor. Foto: Antara

jpnn.com, JAKARTA - Kontroversi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal "benci produk" impor dijelaskan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi.

Menurut dia, ungkapan Presiden Jokowi tersebut merupakan penolakan pada barang impor yang dijual di Indonesia, tetapi tdak memenuhi tata niaga yang tertib.

BACA JUGA: Luhut: Alat BMKG Jangan Semua Impor Saja

Dia menegaskan pernyataan Presiden Jokowi tersebut bukanlah indikasi bahwa Indonesia menganut proteksionisme dalam perdagangan internasional. Pasalnya, RI tidak pernah punya sejarah proteksionisme.

Sejak zaman sebelum kemerdekaan, Indonesia mempunyai mekanisme perdagangan keluar negeri dan membuka diri.

BACA JUGA: Menristek Sebut Sejumlah Alkes Lokal Sudah Beredar, untuk Tekan Impor

"Kita ini bangsa pedagang, dari zaman sebelum merdeka, sejak penyebaran Islam itu datang dari international trade. Indonesia selalu punya sejarah berdagang. Selain itu, proteksionisme ini dibuktikan tidak akan menguntungkan suatu negara," ungkap Lutfi.

Tetapi pada saat bersamaan, Mendag Lutfi menyebut ndonesia juga tidak mengindahkan aksi-aksi perdagangan yang tidak tertib terjadi di Indonesia.

BACA JUGA: Waduh! Harga Kedelai Impor di Kudus Naik Lagi

"Yang bisa kita lakukan adalah kalau dia mau berdagang di Indonesia, harus perdagangan yang adil dan level equal playing field," tegas Lutfi.

Dia mencontohkan salah satu kasus berdasarkan sebuah artikel dari World Economic Forum (WEF).

Artikel itu membahas bagaimana seorang pedagang hijab di Tanah Abang yang sebelumnya menjadi penjual, kemudian ekspansi dan menjadi sebuah industri.

Perusahaan tersebut, kata Lutfi mempekerjakan 3.000 orang dan harus membayar gaji sebesar USD 650 ribu atau Rp10 miliar per tahun.

Namun, kata Lutfi hijab produksi pedagang lokal itu, terbaca oleh Artificial Intelligent (AI) milik sebuah perusahaan di luar negeri.

"Jadi, mereka bisa tahu bentuknya, warnanya kayak apa, harganya berapa," ujar Lutfi di Jakarta, Jumat (5/3).

Kemudian, lanjut dia, perusahaan asing tersebut memproduksinya dalam jumlah banyak dan produknya dijual di Indonesia dengan potongan harga yang jauh lebih murah.

"Sekitar Rp 1.900 per buah. Dapat dibayangkan bahwa produk hijab yang dihasilkan oleh anak bangsa akan kalah bersaing dari sisi harga," kata dia.

Padahal, lanjut Mendag, bea masuk yang dihasilkan oleh produk impor tersebut hanya USD 44.000 ribu per tahun. Angka tersebut jelas lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya pedagang hijab itu untuk membayar karyawannya yang mencapai USD 650 ribu.

Menurut Mendag, mekanisme perdagangan tersebut tidak boleh terjadi oleh aturan perdagangan internasional, karena tidak memenuhi dua azas perdagangan yang tertib.

Hal itu menurut dia dijunjung tinggi oleh Presiden Jokowi.

"Ini adalah salah satu mekanisme perdagangan yang dilarang oleh international trade. Ini namanya predatory pricing. berdagang itu musti punya dua azas. Pertama adalah adil dan kedua bermanfaat," jelas Lutfi. (antara/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler