jpnn.com - JAKARTA - Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl. Oek Engelina Pattiasina prihatin karena bangsa ini nyaris tidak lagi tahu siapa sesungguhnya sosok pahlawan nasional dari Maluku, Martha Christina Tiahahu.
Martha, kata Engelina, mengorbankan jiwa dan raganya di usia 17 tahun melawan ketidakadilan kolonial di Tanah Maluku.
BACA JUGA: Ini Kata JK Soal Penundaan Pelantikan Komjen Pol Budi
"Martha Christina Tiahahu, wafat dalam usia remaja sekitar 17 tahun, tetapi, Martha menorehkan sejarah besar. Sangat tepat, negara menyematkan gelar pahlawan nasional sebuah penghargaan tertinggi di Negara ini. Martha Christina ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969," kata Engelina Pattiasina, dalam diskusi "Memaknai Warisan Nilai Juang Martha Christina Tiahahu: 4 Januari 1800 - 4 Januari 2015", di Jakarta, Selasa (27/1).
Diceritakan Engelina, pada tahun 1800-an, seorang gadis remaja dari Nusalaut, Martha Christina Tiahahu mengambil keputusan untuk melakukan perjuangan melawan kolonialisme, penindasan, ketidakadilan, dan perbudakan. "Martha Christina melakukan semua itu karena merespon situasi dan kondisi yang terjadi di Nusalaut dan sekitarnya," ujar dia.
BACA JUGA: Komnas HAM Yakin Polri Tak Melawan
Dalam pertempuran itu, Martha Christina tertangkap. Tetapi, Martha melakukan protes terhadap penangkapannya dan memilih untuk tidak berkompromi. Martha Christina menolak untuk dijadikan budak di perkebunan kopi di Jawa.
"Tindakan melawan perbudakan ini dilakukan ketika Abraham Lincoln masih berusia delapan tahun," ungkapnya.
BACA JUGA: DPR Usul Ongkos Haji Tahun Ini Lebih Murah
Martha Christina lanjut Engelina, melakukan mogok makan dan minum sampai meninggal di atas Kapal Eversten dalam pelayaran menuju Jawa dan jenazahnya diluncurkan di Laut Banda pada 2 Januari 1818.
"Peristiwa ini lepas dari catatan dunia, sehingga dunia lebih mengenal Marion Dunlop sebagai perempuan pertama yang melakukan mogok makan pada 1909. Padahal, Martha Christina melakukan hampir satu abad sebelumnya," kata Engelina.
Dia jelaskan, keterlibatan Martha dalam perang fisik itu terjadi justru ketika kaum perempuan masih tersisihkan akibat begitu kentalnya sistem patrilineal. Tetapi, Martha telah tampil untuk setara dengan kaum pria dalam melakukan perlawanan.
Dari sedikit rekaman kisah Martha Christina, ada banyak keteladanan, nilai dan inspirasi yang tetap diperlukan dewasa ini. "Menurut saya, apa yang diperjuangkan Martha pada masa lalu masih tetap ada sampai saat ini, tetapi muncul dengan wajah dan penampilan yang baru. Tetapi, semua itu tetap melawan ketidakadilan," tegasnya.
Martha Christina dan para generasi terdahulu telah bertindak sesuai masanya atau bahkan melampaui zamannya. Kini, ada tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk mengisi dan meneruskan perjuangan para pendahulu.
"Di depan kita masing-masing, ada kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan dan kesejahteraan yang harus dijawab untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik," katanya.
Untuk itu, pihaknya berharap, agar lembaga internasional dan nasional lebih peduli terhadap tempat kelahiran Martha Christina Tiahahu.
"Kami mengusulkan, agar Nusalaut dan sekitarnya menjadi world heritage (warisan dunia). Begitu juga dengan pulau lain yang sangat indah, seperti Manusela, Seram dan kepulauan di wilayah Tenggara. Misalnya, Pulau Larat. Kalau ini dapat direalisasikan sebagai warisan dunia, itu akan sangat bagus bagi seluruh Maluku," pintanya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi tak Perlu Takut, Rakyat di Belakangmu
Redaktur : Tim Redaksi