Andai sejak awal tes DNA (deoxyribonucleic acid) dipakai untuk identifikasi Mr X dalam pembuktian pidana, kasus “salah tangkap” Kemat Cs di Jombang, Jatim, mungkin tak terjadiTak banyak ahli yang mendalami ilmu yang disebut the silent evidence itu
BACA JUGA: Tertib Moral Harus Dimulai dari Keteladanan Pimpinan
Djaja Surya Atmadja salah satunya.FAROUK ARNAZ, Jakarta
RUANG di bangunan lantai II yang lokasinya tak jauh dari kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, itu tak beda jauh dari gambaran sebuah laboratorium pada umumnya
BACA JUGA: Terapkan Sistem Jamaah Wal Imamah
Ada yang isinya tinggal separo, ada yang masih penuhBACA JUGA: Daoed Joesoef, Sosok Pengabdi Dunia Pendidikan
Di pojok depan arah pintu masuk ada puluhan buku yang juga ditata bertingkatDi lab tes DNA milik Departemen Kedokteran Forensik, Fakultas Kedoktyeran UI, itulah sudah 12 tahun dokter Djaja Surya Atmadja melakukan tugasnyaYakni, sejak dia pulang dari sekolah doktoral di Universitas Kobe, Jepang.
”Laboratorium ini (pembangunannya) saya cicil sejak kuliah di JepangAda beberapa mesin bekas yang saya bawaDi sana (Jepang) sudah tidak dipakai, tapi di sini bermanfaatKini nilainya sudah miliaran rupiah,” kata Djaja, panggilan akrabnya.
Saat ditemui siang itu Djaja baru usai mengajar mahasiswanya”Saya tak segan berbagi ilmu DNA untuk anak bangsaTak khusus mahasiswa UI, tapi dari mana pun saya selalu menerima,” katanya.
Masih sedikitnya dokter yang meminati bidang ini, Djaja mengklaim dia menjadi satu-satunya ahli DNA forensik yang ada di Indonesia”Kalau ahli DNA tumor atau DNA darah dan keturunan sudah adaTapi, yang khusus DNA forensik, ya hanya saya,” tambahnya.
Kecintaan Djaja pada DNA forensik tak datang tiba-tibaSejak lulus dari FK UI pada 1986, Djaja menyadari jika analisis forensik bukan hanya menyangkut orang-orang yang sudah mati”Tapi, juga mereka yang masih hidupSebab, forensik menyangkut pelaku dan korban sekaligus,” katanyaMinat ini juga dipupuk oleh ketertarikannya sejak kecil pada cerita-cerita detektif Sherlock Holmes karangan Sir Arthur Conan Doyle.
”Teman Holmes, (John H) Watson itu ternyata dokterBanyak analisis kasusnya yang merupakan analisis medisIni yang namanya medical detective,” kata bapak tiga orang anak itu.
Tak heran begitu lulus dari FK UI, dia ambil spesialisasi forensik di FK UI pun dan lulus pada 1986Pada 1992, dengan beasiswa dari Japan Society for the Promotion of Science (JSPS), Djaja berangkat ke Negeri Sakura dan menempuh pendidikan Phd selama tiga tahun di sana
”Saya mengambil kelas yang bisa pulang pergi Jakarta-Jepang sekalian mempersiapkan laboratoriumApa artinya punya ilmu tapi tak punya laboratorium,” kata pria yang berkacamata dengan bingkai ”trendy” hitam-putih itu.
Lima tahun setelah pulang dari Jepang, pada 2001 dia kembali mendapat beasiswa dan menggondol gelar DFM (Diploma in Forensic Medicine) dari Universitas Ultrech, Belanda”Semua sekolah saya mendapat beasiswa, kecuali gelar SH (Sarjana Hukum) di UI yang saya harus bayar sendiri,” katanya lalu tersenyum
Secara umum, kata Djajates DNA (asam nukleat yang mengandung materi genetik dan berfungsi untuk mengatur perkembangan biologis seluruh bentuk kehidupan) dilakukan dengan membandingkan sampel post mortem dengan ante mortem
Post mortem didapatkan dari kerangka, bagian tubuh, atau benda-benda yang mengandung DNA yang hendak dianalisis milik siapaSedang ante mortem diambil dari mereka yang diduga sebagai bapak dan ibu kandung serta anak kandungJuga bisa dari sampel milik korban semasa hidup yang bisa dipastikan asalnya seperti tali pusar yang tersimpan dan sisa-sisa rambut di barang-barang pribadinya.
Awalnya DNA yang ada akan diekstrasiLalu dilakukan proses elektro forensis dan memperbanyak DNA yang adaSetelah itu baru proses perbandingan dimulaiAda 13 proses tes DNA yang dilakukan di laboratorium Kedokteran Forensik, UIMereka mengacu pada standar CODIS (Combined DNA Index System) 13 yang dikeluarkan oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) pada 1994Salah satunya adalah yang disebut analisis father child mother. Proses ini memakan tiga minggu.
Jika ke-13 tahap itu cocok semua dalam perbandingan sampel ante mortem dengan post mortem, maka bisa dipastikan benarTapi, bisa saja terselip kesalahan dalam proses ini (meski barang bukti original, metode pemeriksaan benar, dan telah dilakukan ahlinya)Yakni, jika terkait dengan mereka yang disebut kembar identik”Tak ada satu pun manusia di dunia ini yang DNA-nya samaKecuali mereka yang kembar identik itu yang berasal dari sel telur yang sama,” katanya
Seperti sosok Dokter John HWatson dalam cerita Sherlock Holmes, Djaja betul-betul serius menerpkan ilmunyaYang paling terkesan adalah saat dia menjadi saksi ahli dalam kasus pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin di Jogja pada 1996
Udin yang sering mengkritisi kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer meninggal setelah dianiaya orang tidak dikenalMenurut Djaja, penyidikan dan pengadilan atas Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir yang jadi terdakwa pembunuh Udin, penuh rekayasa.
Saat itu Djaja diminta menganalisis DNA pada dua potong baju dan sebuah tongkat besiMenurut polisi, baju itu milik Udin dan Iwik, sedangkan tongkat besi (sesuai BAP) digunakan Iwik untuk menghabisi Udin yang namanya kini diabadikan sebagai award bagi jurnalis oleh Asosiasi Jurnalis Indepeneden (AJI) ituNamun Djaja ragu.
”Ada polisi (Serka Edy Wuryanto, Kanit Reskrim Polres Bantul, Red) meminta darah Udin yang katanya untuk dilarung di lautDarah itu kan bisa dioles ke baju dan tongkat besiSaya bilang, pembuktian ini lemah,” bebernya
Djaja sempat dipaksa untuk memberi kesaksian sesuai ”selera” polisiNamun, dia menolak dan mengatakan dirinya saksi ahliBukan saksi mata”Saya waktu itu ngomong apa adanya di PN BantulIwik pun divonis bebas,” katanyaHingga kini siapa pembunuh Udin itu masih misterius
Selain kasus Udin, Djaja juga menangani sejumlah kasus unik seperti incest di Purwokerto, Jawa TengahYakni, tentang seorang kakek yang dituduh menghamili cucu yang mengalami keterbelakangan mentalPenyidik kerepotan karena duanya-duanya tak bisa ditanya oleh polisiSang kakek yang usianya 70 tahun telah pikun dan sang cucu tak bisa menalarTes DNA yang kini biayanya mencapai Rp 4 juta sekali tes menjadi jawabannya”Setelah di tes DNA, anak yang di kandungan (cucu) itu memang darah dagingnya (sang kakek),” tambahnya(el)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beri Pesan Jangan Korupsi Jabatan
Redaktur : Tim Redaksi