Terpinggirkan secara Politik, Dites Keperawanan karena Demo

Minggu, 07 Agustus 2011 – 23:21 WIB
KAIRO - Sejarah dan peradaban tidak bisa dipisahkan dari kaum perempuanBegitu pula yang terjadi di Mesir

BACA JUGA: Pelajaran Penting bagi Para Diktator Arab

Merekalah yang berada di garis terdepan saat demonstrasi dan revolusi rakyat di Lapangan Tahrir, Kairo, hingga menjungkalkan diktator Mesir Hosni Mubarak pada 11 Februari lalu
Tapi, kini mereka dianggap sebelah mata oleh pemerintahan baru Dewan Tinggi Militer (SCAF) Mesir di bawah pimpinan Mohamed Hussein Tantawi.

Karena itulah, Marwa Sharaf el-Din, seorang kandidat doktor (PhD) di Universitas Oxford, memutuskan untuk kembali turun ke Lapangan Tahrir guna bergabung dengan demonstran lain pada pertengahan Maret lalu

BACA JUGA: Rezim Assad Bunuh Dua Ribu Sipil

Saat itu dia tampil membacakan Zajal, puisi tradisional populer Mesir, di hadapan massa demonstran.

"Haruskan saya mengalah menjadi seorang perempuan Timur? Apakah saya harus selalu mengatakan "Ya" ketika menjadi perempuan Mesir?" lontarnya saat membacakan puisi satirnya tersebut.

Pembentukan kabinet baru pemerintahan Mesir pada awal Maret dan Juli lalu dinilai sebagai momen paling mengecewakan aktivis hak asasi perempuan maupun kaum perempuan pada umumnya di seantero negeri piramid tersebut
Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Essam Sharaf itu terdiri atas 25 menteri dan dua wakil PM

BACA JUGA: Badai Nock-ten Renggut 13 Nyawa

Di antara jumlah itu, hanya seorang perempuan yang ditunjuk mengisi kabinetYakni, Menteri Perencanaan dan Kerja Sama Internasional Fayza Mohamed Aboulnaga.

Memang, pemerintah telah mengumumkan pembentukan komite baru yang khusus mengurusi pemberdayaan perempuanNamun, komite tersebut berada di bawah supervisi kabinet.

"Saya menghargai pemahaman perdana menteri soal peranan perempuanNamun, saya tidak setuju bahwa (komite baru) itu adalah solusiSaya tidak yakin bahwa komite ini akan berperan efektif," cetus Sharaf el-Din.

Aalam Wassef, seorang aktivis online yang sejak lama gigih mengampanyekan hak asasi perempuan di Mesir, menyatakan bahwa pembentukan komite baru itu justru merendahkan martabat kaum hawa"Pemerintah terkesan ingin mengatakan, 'Hei, kaum perempuan, kini kalian telah punya organisasi kecil sendiriSementara kami, kaum laki-laki, mengurusi urusan-urusan yang serius'," protesnya seperti dikutip Al Jazeera.

Belum jelas apakah pemerintahan militer yang saat ini  berkuasa di Mesir akan tetap memberlakukan kuota jumlah perempuan dalam kabinet seperti yang berlaku pada rezim sebelumnyaYang jelas, kaum perempuan menganggap pemerintah baru justru mengabaikan peran mereka.

Salah satu hal yang menyulut kemarahan perempuan di Mesir adalah perlakuan terhadap rekan-rekan mereka yang ditangkap saat terlibat dalam demonstrasi pada Maret laluTerdapat 18 aktivis perempuan yang ditangkapSebanyak 17 orang di antara mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan atau tak senonoh, termasuk dipaksa menjalani tes keperawanan.

"Ada seorang dokter pria yang diminta untuk melakukan tes kepada kami," keluh salah seorang demonstran perempuan"Kami harus melepaskan semua pakaianKemudian, kami menyadari sejumlah tentara ternyata ikut mengintipSaya tak pernah membayangkan peristiwa itu terjadi kepada saya di Mesir atau mungkin di mana pun di duniaSaya merasa dipermalukan," terangnya.

Menurut para aktivis, perlakuan itu diperparah oleh komentar seorang jenderal senior Mesir baru-baru ini yang kemudian dikutip stasiun televisi AS, CNN"Mereka (perempuan yang menjalani tes, Red) tidak bisa disamakan dengan putri Anda atau putri saya," ungkap sang jenderal seperti dilaporkan CNN"Mereka pernah bermalam di tenda bersama para demonstran laki-lakiKami tidak ingin para perempuan itu menuduh bahwa kami (tentara, Red) telah menyerang secara seksual atau memerkosa merekaJadi, kami ingin membuktikan bahwa mereka sudah tidak perawan sebelumnya," paparnya.

Penguasa militer Mesir justru cepat membantah adanya tes keperawanan ituNamun, pernyataan tersebut tak membuat aktivis perempuan puasIsu tersebut justru memunculkan kekhawatiran bahwa kaum perempuan tak akan dilibatkan dalam berbagai dialog politik untuk merancang masa depan Mesir.

Hoda Badran, ketua Aliansi untuk Perempuan Arab, dan seorang mantan pejabat senior PBB telah ditunjuk sebagai juru bicara dalam konferensi perempuan di Kairo belum lama iniDia pun ingin memastikan bahwa suara kaum perempuan tidak dipinggirkan atau ditenggelamkan dalam perdebatan politik yang saat ini berlangsung.

"Perempuan sengaja turun ke Lapangan TahrirMereka ingin berpartisipasi dalam perencanaan revolusi,"  tegas dia"Mereka telah membersihkan lapangan (Tahrir) dan merawat korban lukaBahkan, mereka juga tewas saat orang-orang (demonstran) di lapangan ditembaki (tentara)Tapi, setelah revolusi, kami mencatat sejumlah kebijakan diambil tanpa melibatkan perempuan," serunya.

Dia berharap, revolusi di Mesir mengikutsertakan kaum perempuan sebanyak laki-laki yang dilibatkan"Tak hanya dalam hal persamaan, tapi juga keadilan sosialSayang, hingga kini hasilnya masih nihil," tuturnya.

Para aktivis perempuan lain justru cemas bakal terjadi situasi yang lebih burukMereka khawatir, meningkatnya kekuatan kelompok islamis akan memaksa para perempuan kembali ke peran lebih rendah atau harus tunduk kepada kaum pria.

Pakar gender Shaza Abdul-Latif menyatakan, jika itu yang terjadi, akan ada "mimpi buruk" bagi perempuan"Saya benar-benar amat cemasProblem utamanya adalah partai-partai dan kelompok religius saat ini tiba-tiba mulai bermunculanMereka melihat seolah kami ini bukan warga Mesir dan sama sekali tidak beragama," tandasnya(BBC/CNN/cak/c4/dwi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Bungsu Kadhafi Juga Disebutkan Tewas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler