Terserah Presiden Jokowi, Mau Angkat 100 Wakil Menteri Juga Boleh

Minggu, 27 Oktober 2019 – 10:01 WIB
Presiden Jokowi mengumumkan 12 wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju. Foto: BPMI Setpres

jpnn.com, JAKARTA - Pemerhati politik Said Salahudin menilai, tidak ada aturan yang membatasi Presiden Jokowi mengangkat wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju.

Sekalipun jumlahnya kini melonjak hingga 12 orang, Presiden Jokowi masih boleh menambah jumlah wakil menteri sebanyak yang diinginkan.

BACA JUGA: Jokowi Pengin Pangkas Jabatan Eselon, kok Malah Ada 12 Wakil Menteri?

"Harus diingat, salah satu yang membedakan jabatan menteri dan wakil menteri adalah dalam soal jumlah pejabat yang diperbolehkan untuk menduduki jabatan tersebut," ujar Said di Jakarta, Minggu (27/10).

Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini kemudian merujuk Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39/2008 Tentang Kementerian Negara. Dalam pasal tersebut diatur, presiden hanya diperbolehkan membentuk paling banyak 34 kementerian.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Mengaku Disodori 300 Nama Calon Menteri

Artinya, hanya ada 34 menteri yang boleh diangkat oleh presiden. Sebab, setiap kementerian hanya boleh dijabat oleh satu orang menteri.

Tetapi beda halnya dengan jabatan wamen. Dalam satu kementerian, jumlah wamen boleh saja lebih dari satu orang. Buktinya, presiden merasa tidak ada masalah ketika membuat rekor dengan mengangkat dua orang wamen sekaligus di Kementerian BUMN.

BACA JUGA: Ada 2 Tokoh Ini, Siapa Berani Ganggu Pemerintahan Jokowi?

"Bahkan, jika di setiap kementerian diangkat tiga orang wamen sehingga jumlahnya menjadi lebih dari 100 orang pun, hal itu bisa saja dilakukan oleh presiden. Saya tidak sedang bergurau. Ini serius. Presiden sangat-sangat berwenang mengangkat lebih dari 100 orang wamen sekalipun," ucap Said.

Cuma persoalannya, kata Said kemudian, presiden mau atau tidak menambah jumlah wamen di lingkungan kabinetnya. Menurut Said, bisa saja setelah melantik 12 wamen, presiden nantinya kembali mengangkat wamen-wamen lain.

"Saya kira semua keabsurdan itu bisa terjadi akibat adanya kelemahan dalam UU 39/2008. Undang-undang hanya menentukan kewenangan presiden mengangkat wakil menteri, tetapi tidak memberikan batasan yang tegas mengenai jumlah wamen yang boleh diangkat oleh presiden," katanya.

Lebih lanjut Said mengatakan, syarat pengangkatan wamen yang ditentukan oleh Pasal 10 UU 39/2008 terbilang sederhana. Presiden dapat mengangkat wakil menteri dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus.

Soal bagaimana cara mengukur beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, undang-undang tidak menjelaskan parameternya.

"Karena UU 39/2008 tidak menjelaskan maksud dari beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, maka menurut Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011, tanggal 5 Juni 2012, hal itu diserahkan kepada presiden untuk menilainya sendiri," kata Said.

Konsultan senior political and constitutional law consulting (Postulat) ini memprediksi, putusan MK itulah yang dimanfaatkan presiden untuk menentukan jumlah wamen menurut penilaian subjektifnya. Sehingga, berdasarkan celah itu presiden dapat mengangkat wamen dalam jumlah berapapun yang dikehendaki, karena diberi hak untuk menaksir sendiri beban kerja kementerian yang membutuhkan penanganan khusus.

"Jadi, jujur saja saya tidak terlalu terkejut dengan adanya penambahan jumlah wamen sampai empat kali lipat dari jumlah sebelumnya. Karena soal ini sebetulnya sudah pernah saya kemukakan dalam sebuah diskusi di Gedung DPR sekira tiga bulan yang lalu. Bahkan, saya menduga ke depan presiden mungkin saja akan mengangkat wamen-wamen yang baru," katanya.

Sebab, masih terdapat sejumlah kementerian yang secara logis justru memiliki beban kerja yang lebih berat dibanding kementerian agama atau kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif, misalnya.

"Lepas dari persoalan setuju atau tidak setuju, saya berpandangan presiden berwenang untuk itu. Kalau ada pihak yang tidak setuju presiden menambah jumlah wamen dengan alasan pemborosan keuangan negara, MK sudah memberikan jawaban, biaya yang dikeluarkan untuk suatu jabatan tidak boleh hanya dinilai pada kerugian finansial semata, karena ada juga keuntungan dan manfaatnya untuk bangsa dan negara," pungkas Said. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler