jpnn.com - ADA sebuah masa ketika orang-orang terpaku di depan radio. Menyimak pertandingan olahraga yang dilaporkan secara langsung oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Masa-masa ketika televisi masih jadi barang nan mewah.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Sejarah Radio Masuk Indonesia
Ajay Muhadjar masih tangkas. Dengan artikulasi yang sangat baik dia beromantisme melaporkan jalannya sebuah pertandingan sepakbola…
Ismed Sofyan masih menguasai bola…umpan ke tengah…yang dituju di sana ada Arif. Kemudian Arif tahan bola dengan kaki kanan. Kontrol bola, menggiring dia ke tengah…memasuki daerah lawan.
BACA JUGA: Ini Episode yang Hilang dari Buku Sejarah Indonesia?
Berikan saja ke depan…kepada Bambang Pamungkas, saudara-saudara…yang saat ini sudah berada di kotak pinalti…terjadi perebutan bola di sana…dengan pemain belakang dari Persib Bandung, saudara-saudara.
Masih dikuasai oleh Bambang Pamungkas…kontrol bola…sodorkan ke belakang…ada di sana Ismed Sofyan…kontrol bola…tendang ke arah gawang…
BACA JUGA: Tukang Cukur & Perang Salib, Lho Apa Hubungannya?
Aaaw…gagal, saudara-saudara…dua senti dari mistar gawang… masih belum merubah kedudukan…kosong-kosong antara Persib Bandung melawan Persija Jakarta.
Warna suara itu tak asing. Suara yang dahulu kerap mengudara, melaporkan langsung serangkaian pertandingan olahraga di gelombang radio. JPNN.com jumpa muka dengan pemilik suara itu, baru-baru ini. Berikut kisahnya….
Hujan Sepertiga Malam
Silang Monas, Jakarta Pusat, penghujung Januari 2017. Malam itu hujan sedang deras-derasnya. Di pintu masuk Gedung RRI yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Istana Negara, terlihat tulisan, "sekali di udara, tetap di udara".
Saya baru saja rekaman untuk Warta Musik Indonesia, program barunya RRI. Bercerita sejarah Muchtar Embut dan Gombloh gara-gara si empunya program membaca ulasan sejarah kedua musisi legendaris tersebut di rubrik Historiana, JPNN.com.
Hingga sepertiga malam hujan belum jua reda. Saya-pun lebur bergerombol dengan sejumlah awak RRI di sudut paling "hangat" di gedung itu. Kami saling bertukar cerita. Penuh canda tawa.
Dan…ondeh mande, dalam gerombolan itu rupanya ada Ajay Muhadjar, satu di antara legenda reportase olahraga RRI. Betul juga kata orang tua, "hujan selalu membawa berkah, nak."
Peristiwa ini tak mungkin dilewatkan begitu saja. Mengingat sekarang dia menjabat Kepala Biro RRI Banten, kenapa pula harus atur waktu, langsung saja wawancara. Belum tentu pula tiap hari dia ke Jakarta.
"Saya bukan apa-apa," katanya merendah. "Reporter olahraga legendaris RRI itu Ajat Sudrajat, Ripto Sahfidi, Sambas, Sasli Rais dan lain sebagainya. Saya bukan siapa-siapa dibanding mereka," sambung pria yang bekerja di radio itu sejak 1986.
Malam kian larut, obrolan tak kunjung surut.
Otodidak
Ajay lahir di Sunter, Jakarta Utara, 1964. Pendidikan formal diampuhnya di Madrasah Ibtidaiyah Sunter Jaya, Madrasah Tsanawiyah At-Tahiriyah Kampung Melayu, Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol dan Fakultas Hukum Universitas Ibnu Khaldun Jakarta.
Keturunan Haji Saumin, tuan tanah Sunter keturunan Bugis yang kini menjadi salah satu pimpinan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini mengaku mempelajari ilmu jurnalistik secara otodidak.
Mula bergabung dengan RRI, dia bekerja di seksi Monitoring dan Dokumentasi, Subdit Pemberitaan. Tugasnya menerima dan mencatat nota kooordinasi dari RRI pusat dengan RRI daerah.
"Setiap hari saya menerima berita dari daerah, yang dijadikan konsumsi untuk berita secara nasional tentang kejadian-kejadian di daerah," kenangnya.
Aktivitas ini mendorong hasratnya menjadi wartawan. Dia mulai banyak bertanya. Menimba ilmu dari para wartawan di kantor itu. Mimpi jadi kenyataan. Ajay pun jadi wartawan.
"Setiap ketemu Sasli Rais, legenda reportase olahraga RRI, saya selalu bertanya ini…bertanya itu," ujarnya.
Saat itu dia berpikir, hanya orang pilihan yang bisa jadi reporter olahraga. Karena harus punya kemampuan berbicara terus menerus, kata demi kata, menggambarkan sebuah alur pertandingan sampai pada titik klimaks.
Harus pandai merangkai kata-kata yang menarik, mengajak imajinasi pendengar masuk, seakan-akan hadir melihat pertandingan itu secara langsung.
"Itu sulit menurut saya. Itu orang yang punya kemampuan luar biasa. Daya ingatan luar biasa. Punya improvisasi yang bagus. Bukan sembarangan orangnya," begitulah Ajay mengagumi Sasli Rais.
"Dulu, waktu belajar, ketemu Sasli Rais, saya selalu tanya, bagaimana rumus-rumus siaran olahraga. Kata dia, perkembangan skema permainan harus dipahami."
Misalnya, bulutangkis. Menurut pria yang pernah menjadi wartawan perkotaan, kriminal dan ekonomi itu, melaporkan pertandingan bulutangkis lebih santai dibanding sepakbola.
"Hanya saja, kita harus menguasai istilah-istilah dalam cabang bulutangkis itu sendiri. Seperti drop shoot, back hand, loop. Itu harus dikuasai oleh seorang reporter. Karena mustahil melaporkannya bila tidak menguasai istilah-istilah tersebut."
Ajay mencontohkan…
Taufik Hidayat kali ini melakukan drop shoot….ya, di muka net… dapat dijangkau oleh Lindan…kembalikan lagi depan net…dikejar oleh Taufik Hidayat…loop ke belakang…amati sebentar oleh Lindan, saudara-saudara…drop shoot menyilang…bisa diangkat oleh Taufik Hidayat…kembalikan depan net.
Angkat lagi ke belakang…jauh kali ini loop Taufik Hidayat…droop shoot kali ini Lindan…angkat lagi di depan net oleh Taufik Hidayat… dan saudara-saudara…rupa-rupanya pengembalian dari Lindan ini tidak akurat dan jatuh di bidak permainannya sendiri…
Angka untuk Taufik Hidayat saudara-saudara…kita nantikan dan kita doakan bersama-sama agar Taufik Hidayat pebulutangkis Indonesia…dapat memenangkan pertandingan final Kejuaraan Bulutangkis Cina Terbuka ini, saudara-saudara…
Menyimak Om Ajay--begitu saya menyapanya--membawakan itu, memulangkan nostalgia ke masa-masa radio masih jadi primadona.
Kini, seiring perkembang teknologi…sama-sama tahulah kita. Masih dengar reportase olahraga RRI?
Nah, di ranah jurnalisme sejenis ini, apa berlebihan bila Om Ajay kita juluki The Last Reporter? (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dan Kata-Kata Belum Binasa
Redaktur & Reporter : Wenri