jpnn.com - JAKARTA – Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan, membeberkan perkembangan pembahasan tiga aturan terkait Provinsi Aceh.
Menurutnya, pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kewenangan Pemerintah, RPP Minyak dan Gas (Migas), serta Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Peralihan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Aceh, sudah rampung 99 persen.
BACA JUGA: Antisipasi Kerusuhan, Polisi Tutup Akses ke KPU Jatim
Hanya saja, ada dua isu krusial yang masih belum ditemukan kesepahaman antara pemerintah pusat dengan Gubernur Aceh. Yaitu terkait RPP Migas, soal pembagian kewenangan pengelolaan minyak lepas pantai.
“Pusat bilang batas laut yang jadi kewenangan Aceh 0-12 kilometer. Namun Aceh minta 0-200 kilometer. Itu belum ada titik temu. Kemudian kita usulkan, bagaimana kalau formulanya menjadi 0-12 kilometer kewenangan Aceh, sementara pada 12-200 kilometer itu pusat melibatkan Aceh dalam mengelola laut dan bagi hasilnya,” kata Djohermansyah di Jakarta, Rabu (20/8).
BACA JUGA: Temukan Anak Korban Tsunami Jadi Gelandangan
Dengan usulan ini kata birokrat yang akrab disapa Prof Djo, untuk pengelolaan 12-200 kilometer, pemerintah pusat akan selalu berunding terlebih dahulu dengan pemerintah provinsi Aceh jika ada kebijakan yang diambil.
“Jadi sama-sama tahu, itu sharing bagi hasil melibatkan Aceh. Kalau pusat sekarang maunya seperti itu. Tapi Aceh minta semuanya mereka yang menentukan. Perbedaannya di sana, nanti formulanya seperti apa akan dikaji lebih jauh,” katanya.
BACA JUGA: Menhan Kukuhkan KRI Banjarmasin
Selain terkait RPP Migas, masalah krusial lainnya kata Prof Djo, hadir pada pembahasan Rancangan Perpres Pertanahan. Dari 21 item dalam urusan pertanahan, pemerintah pusat berpendapat 11 urusan diserahkan ke Aceh. Sementara 10 item lainnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat.
“Namun Aceh nggak mau. Mereka maunya 21 item semuanya diserahkan ke mereka. Nah pusat tawarkan juga kemudian menawarkan, dari 10 kewenangan pusat tersebut, dicari modusnya dengan diberi penugasan pembantuan kepada Aceh. jalan keluar seperi ini. Aceh minta supaya ada pertemuan dengan Presiden SBY. Itu sudah kami usulkan, namun belum ada jadwal,” ujarnya.
Menurut Prof Djo, pemerintah Aceh berharap pembahasan tiga aturan dapat diselesaikan pada masa pemerintahan SBY. Karena mengingat prosesnya sudah berjalan sejak beberapa tahun lalu, saat Gubernur Aceh masih dijabat Irwandi.
“Pada 2010 lalu sebenarnya sudah jadi ini draf (rancangan). Ketika itu waktu mau ditanda tangani Presiden, datang Gubernur baru itu Zaini Abdullah. Lalu dibahas kembali. Nah sampai sekarang sudah mau 4 tahun belum tuntas. Kita harapkan kalau tidak selesai pada pemerintahan sekarang, dapat selesai pada masa pemerintahan yang akan datang,” katanya.
Harapan tersebut dikemukakan Prof Djo, karena hingga saat ini belum ada lagi jadwal pertemuan dari kedua belah pihak terkait pembahasan dua isu krusial yang belum terselesaikan.
“Mudah-mudahan nanti ada jadwal. Tapi sampai saat ini belum ada. Masih berhenti di sana. Pertemuan selanjutnya ketemu Presiden, itu yang diharapkan Aceh. Kalau dengan tim Kemendagri sudah mentok. Sebab kami juga kondisikan dengan pemegang subtansi seperti Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kelautan. Mestinya ada jalan tengah. Perang saja bisa berhenti, masa kewenangan tak bisa diselesaikan,” katanya.
Saat ditanya bagaimana dengan Qanun (Peraturan Daerah) tentang Bendera dan simbol daerah, Prof Djo menegaskan penyelesaiannya parallel dengan dirampungkannya RPP dan Perpres.
“Kita harapkan pararel dengan RPP dan perpres. Jadi begitu selesai, soal revisi qanun daerah juga selesai. Jangan ada soal politik lagi, tapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sana,” katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pamit Buang Air, Ditemukan Tewas Tenggelam
Redaktur : Tim Redaksi