Tiga Jari

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Senin, 21 Juni 2021 – 18:18 WIB
Pilpres 2019: Joko Widodo saat menghadiri kampanye akbar bertema Konser Putih Bersatu di SUGBK, Jakarta, Sabtu (13/4). Foto: Fathra N Islam/JPNN.com

jpnn.com - Pada pesta kemenangan usai Pilpres 2014, Jokowi menggelar pesta musik besar di Jakarta yang digagas oleh personel grup musik Slank. Jokowi muncul di tengah massa dengan mengacungkan salam tiga jari.

Selama kampanye Pilpres 2014, Jokowi muncul di mana-mana dengan salam dua jari. Pada pesta kemenangan, dia mengacungkan salam tiga jari sebagai simbol persatuan.

BACA JUGA: Jok-Pro

Salam tiga jari juga populer di kalangan penggemar musik, terutama rock dan menjadi salam khas mereka. Dalam setiap konser musik rock –terutama heavy metal atau yang lebih ekstrem thrash metal– salam tiga jari menjadi pemandangan yang jamak.

Ada kalangan yang menuding salam tiga jari sebagai salam iblis. Para penggemar musik bawah tanah, underground, itu dianggap mempraktikkan ritual musik setan.

BACA JUGA: Brutus

Tiga jari yang diacungkan melambangkan iblis. Ibu jari sebagai kepala iblis, sedangkan jari tengah sebagai badan iblis, dan jari kelingking sebagai ekornya. Tiga jari juga disebut sebagai lambang iblis dengan kepala bertanduk dua.

Tentu tidak semua penggemar rock atau heavy metal menjadi pengikut ritual setan itu, hanya persentase kecil yang ekstrem saja yang mengamalkannya. Selebihnya, tiga jari menjadi salam persahabatan saja sebagai tanda identifikasi kelompok.

BACA JUGA: Teh Botol

Untuk bisa diterima sebagai bagian dari komunitas, seseorang harus melakukan konformitas menyesuaikan diri dengan ritual dan tradisi komunitas. Celana jeans, jaket kulit, pakaian serbahitam, dan tentu saja rambut gondrong, menjadi identitas -meminjam istilah Durkheim- yang sudah menjadi sesuatu yang keramat bagi rock.

Konser rock dengan puluhan ribu orang yang bersama-sama meneriakkan lagu yang dibawakan penyanyi di panggung adalah ritual keramat yang membuat para penonton merasa menjadi satu kesatuan komunitas yang sama.

Mereka melakukan headbanging, memutar-mutarkan kepala bersama-sama mengikuti ingar bingar musik. Adegan berbahaya seperti moshing -memelemparkan diri ke kerumunan penonton- menjadi atraksi yang lazim di konser rock.

Solidaritas di antara sesama penggemar rock yang tidak saling kenal itu mengharuskan mereka mengamankan kolega mereka yang melakukan moshing dengan menangkap tubuhnya beramai-ramai. Tidak semua adegan moshing berakhir selamat. Kalau kerumunan banyak yang mabuk, si pelaku moshing bisa nyungsep mencium tanah.

Adegan stage moshing menjadi salah satu ritual khas dalam pertunjukan musik rock. Ratusan penonton yang histeris di bibir panggung akan menangkap sang penyanyi yang melemparkan tubuhnya dari panggung lalu menggotongnya beramai-ramai sampai bergerak jauh ke penonton di barisan belakang.

Jokowi tidak melakukan headbanging atau stage moshing ketika datang ke pertunjukan musik rock. Justru Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang melakukannya dalam kampanye Pilkada DKI 2017.

AHY ingin mengidentifikasikan dirinya dengan kalangan milenial. Namun, upaya itu kurang sukses.

Jokowi, harus diakui, lebih berhasil mengidentifikasikan diri dengan kalangan milenial dan penggemar rock dibanding AHY atau politisi mana pun termasuk Sandiaga Uno yang jadi lawannya pada Pilpres 2019. Tampang AHY memang lebih meyakinkan, tetapi tidak menjadi jaminan untuk bisa diterima di kalangan komunitas rocker.

Tampang Jokowi yang biasa saja justru mudah diterima karena sesuai dengan standar rata-rata tampang rakyat jelata. Di kalangan penggemar rock di Surabaya, tampang standar seperti itu diledeki sebagai tampang “roker” alias rombongan kernet.

Jokowi mengaku penggemar Metallica, semua percaya, meskipundia hanya tersenyum hahahihi  ketika diminta menyanyi satu bait lagu Metallica. Ketika masih menjadi gubernur DKI pada 2013 Jokowi menerima hadiah bas gitar dari personel Metallica Roberto Trujillo yang ketika itu mengadakan tur show ke Jakarta.

Belakangan Jokowi menyerahkan bas gitar itu kepada KPK bersama barang-barang hadiah lain yang dianggap sebagai gratifikasi.

Jokowi, mungkin, tidak baca teori-teori sosiologi Emile Durkheim mengenai solidaritas kelompok. Namun, Jokowi terbukti sangat memahami sosiologi kelompok dan paling piawai dalam mengeksploitasi solidaritas kelompok dibanding politisi mana pun.

Dalam pandangan Durkheim, solidaritas menjadi kebutuhan setiap masyarakat atau kelompok sosial. Masyarakat akan tetap ada jika dalam kelompok sosial memiliki rasa solidaritas di antara anggota-anggotanya, suatu hubungan antara individu dan kelompok yang berdasar pada moral dan kepercayaan yang dianut bersama, serta pengalaman emosional bersama.

Solidaritas yang dipegang, yaitu kesatuan, persahabatan, rasa saling percaya, muncul akibat tanggung jawab bersama, dan kepentingan bersama di antara para anggotanya.

Menurut Durkheim, solidaritas adalah perasaaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Jika orang saling percaya, mereka akan membentuk persahabatan, saling menghormati, terdorong untuk bertanggung jawab, dan memperhatikan kepentingan bersama.

Tanpa membaca Durkheim pun Jokowi jago dalam menggalang solidaritas. Oleh karena itu, wajar kalau lawan-lawan politiknya khawatir Jokowi akan bablas tiga periode, seperti yang diributkan belakangan ini. Berdirinya Sekretaris Nasional Jok-Pro membuat kekhawatiran itu makin besar.

Penambahan extra time periode ketiga bukan hal yang mustahil, karena dalam politik tidak ada hal yang mustahil. Komposisi di DPR yang sekarang didominasi koalisi pendukung pemerintah, dan oposisi yang masih sporadis membuat amendemen konstitusi lolos dengan mudah.

Wajar kalau warganet ribut dan tagar #tangkapqodari menjadi trending topic. Qodari adalah pengusaha survei pendiri Indobarometer. Dia dianggap sebagai biang kerok gagasan Jokowi tiga periode dan memasangkannya dengan Prabowo Subianto.

Jokowi sudah tegas membantah, tetapi lawan-lawan politiknya tidak percaya karena rekam jejaknya dalam hal komitmen terhadap omongannya sendiri memang meragukan.

Pada 2014 sebelum pilpres, Jokowi populer dengan ungkapan “copras capres”. Ketika ditanya wartawan apakah akan maju sebagai capres, Jokowi menjawab “copras capres”.

Namun tak lama kemudian dia jadi capres. Kali ini pun bantahan Jokowi tidak cukup meyakinkan bagi lawan-lawan politiknya.

Dalam posisinya sekarang Jokowi bisa mengamankan dukungan dari lembaga legislatif maupun parpol yang seluruhnya nyaris terkooptasi oleh rezim. Potensi penentangan terhadap extension tiga periode bisa muncul dari gerakan rakyat.

Akan tetapi, melihat track record Jokowi yang sangat piawai dalam mengeksploitasi dukungan rakyat, tampaknya dukungan untuk tiga periode itu akan dia dapat kalau dia mau.

Masyarakat demokrasi Indonesia harus ekstra-waspada. Kalau dulu di awal periode pertama Jokowi memamerkan “Salam Tiga Jari”, nanti di akhir periode kedua Jokowi bisa memamerkan salam baru, “Salam Tiga Periode”. (***)

 

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Harto


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler