Tiga perempuan Indonesia mampu berprestasi dalam bidang profesi yang didominasi oleh kaum pria. Namun diakui perlunya dukungan keluarga, terutama suami, agar bisa bertahan dalam pekerjaan 'macho'.

Ketiganya diwawancarai oleh ABC Indonesia, bertepatan dengan Hari Perempuan Sains Sedunia pada 11 Februari. Mereka menekuni bidang Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika yang lebih dikenal dengan istilah STEM.

BACA JUGA: Indonesia Tidak Termasuk 35 Negara yang Dapat Visa Gratis ke Australia

Apa yang memotivasi mereka sampai sekarang berkecimpung di bidang-bidang tersebut dan tantangan apa yang mereka hadapi selama ini?

Salah satunya adalah Prof Reini Wirahadikusumah yang baru saja dilantik menjadi Rektor perempuan pertama Institut Teknologi Bandung (ITB) 20 Januari lalu, beberapa bulang menjelang ulang tahun ITB yang ke-100 bulan Juli mendatang

BACA JUGA: Bunga Dracaena dari Sukabumi Diekspor ke Amerika, Australia, dan Kanada

Sebelum terpilih menjadi rektor, Reini adalah guru besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB dengan keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi.

Meski bagi sebagian orang dianggap terlambat, Reini menganggap sebaliknya.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Berpidato dalam Bahasa Indonesia di Parlemen Australia

"Tidak terlambat. Memang ini saatnya, [karena] sejalan dengan meningkatnya peran wanita di Indonesia dan di pendidikan tinggi pada khususnya," kata Reini kepada ABC Indonesia.

Mengisi hampir setengah jumlah total populasi di Indonesia, perempuan dinilai Reini punya potensi untuk berkontribusi besar di berbagai aspek, di antaranya bidang sains. Photo: Reini merupakan rektor perempuan pertama di Institut Teknologi Bandung yang sudah berdiri sejak 1920. Ia dilantik 20 Januari 2020. (Supplied: Reini Wirahadikusumah)

 

Meski begitu, Reini mengakui bahwa minat perempuan untuk menekuni bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika) lebih rendah daripada laki-laki.

"Bidang ini secara umum kurang menarik karena membutuhkan kompetensi yang lebih 'khusus', dan di samping itu pendapatannya (dari sisi keuangan) juga kurang seimbang."

"Ketika saya kuliah, di kelas Teknik Sipil ITB hanya ada 8 mahasiswi dari 120-an mahasiswa. Namun sekarang lebih dari 30% mahasiswa di tingkat sarjana adalah wanita. Angka ini lebih tinggi lagi di tingkat pascasarjana," kata Reini yang menyelesaikan pendidikan doktorya di Purdue University (AS).

Reini sendiri lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang punya latar belakang yang berkaitan dengan dunia STEM.

"Kakek saya dokter, ayah saya alumni Teknik Mesin ITB. Jadi tidak terlalu aneh kalau saya memilih kuliah di ITB, khususnya Teknik Sipil," kata Reini.

Setelah mulai kuliah di ITB, Reini merasa bahwa Ilmu Teknik Sipil sangat sesuai dengan kemampuannya dan relevan untuk Indonesia.

Ini yang menjadi alasan Reini terus menekuni bidang ini sampai sekarang dan di tahun 2020 sampai 2025 dia juga harus menangani kampusnya ITB sebagai rektor. Amanda Achmadi menekuni bidang arsitektur di Melbourne

Sama seperti Prof Reini, Dr Amanda Achmadi adalah salah satu dari sedikit perempuan yang memutuskan untuk menekuni bidang sains. Photo: Dr Amanda Achmadi meneruskan studi Teknik Arsitektur di University of Melbourne sebelum akhirnya menjadi dosen di sana sejak 2008. (Supplied: Dr Amanda Achmadi)

 

Lulus dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 1998, Amanda meneruskan studinya di University of Melbourne sampai akhirnya ia menerima tawaran mengajar di universitas tersebut pada tahun 2008 sampai sekarang.

Dunia arsitektur juga sudah dikenal Amanda sejak kecil dari rumah karena ayahnya yang seorang arsitek.

"Ya jadi sepertinya dari dulu itu sudah menjadi salah satu orientasi dari apa yang ingin saya lakukan dalam hidup saya," kata Amanda.

"[Pengalaman dari ayah saya] mengubah secara signifikan [orientasi] dari desainer bangunan menjadi seseorang yang mengerti bagaimana bangunan membentuk kehidupan sosial kita."

Mengawali karir sebagai arsitek, Amanda akhirnya memutuskan untuk mendalami arsitektur di luar dunia industri.

"Angkatanku lulus tahun 98, di masa krisis ekonomi. Dan pada saat itu saya jadi menyadari bahwa profesi arsitek itu sangat rentan, saya menyadari bahwa profesi arsitek itu adalah penyedia jasa dan saya tidak puas dengan hal itu." kata Amanda.

Amanda menambahkan, ada ganjalan yang ia rasakan saat harus mendalami arsitektur dalam cakupan yang sangat sempit, yang saat itu hanya tergantung pada klien yang sebagian besar kelas menengah atas.

"Baru saat melanjutkan studi, saya akhirnya menemukan jalur bagaimana saya bisa mendalami arsitektur di luar dunia profesi.

"Lebih di bidang bagaimana kita memahami arsitektur dalam arti yang lebih luas dan nggak hanya dalam artian menciptakan bangunan," tuturnya. Tengku Alia terlibat menangani transportasi di Jakarta

Antusiasme yang sama pada bidang yang teknik ini juga diceritakan oleh Tengku Alia Sandra kepada ABC News. Photo: Meski tidak berasal dari keluarga berlatarbelakang sains, Tengku Alia Sandra memiliki ketertarikan besar kepada bidang tersebut. (Supplied: Tengku Alia Sandra)

 

Di tahun 2014, Alia melanjutkan pendidikannya di Central Queensland University dan mengambil jurusan Railway Signalling and Telecommunications (Pensinyalan dan Telekomunikasi Kereta Api) .

Ia sempat mengerjakan proyek Regional Rail Link (RRL) atau Perhubungan Kereta Api Regional di Victoria, Australia dalam kelompok desain pensinyalan sebelum akhirnya kembali ke Indonesia.

Walau akhirnya mengaku jatuh cinta pada bidang yang ditekuninya, perempuan yang bertugas sebagai Kepala Departemen Teknik Jaringan Kereta (Railway Engineering Department) di proyek MRT Jakarta, Alia mengaku awalnya bercita-cita sebagai dokter.

"Cita-cita saya awalnya jadi dokter, tapi perjalanan hidup memberikan saya kesempatan untuk menjadi seorang Insinyur di bidang perkeretaan (Railway Engineer)."

Meskipun begitu, Alia melihat ada benang merah antara dokter dan Railway Engineer.

"Seorang dokter harus punya keahlian dalam mendiagnosa pasien dan menyelamatkan nyawa pasien di ruang operasi."

"Seorang pembuat jaringan kereta juga harus memastikan bahwa desain mereka aman dan tidak menyebabkan tabrakan antar kereta," kata Alia.

Berbeda dengan Amanda dan Reini, pilihan Alia untuk menekuni bidang Railway Engineering ini memang berbeda dengan pilihan anggota keluarga lainnya yang tidak berlatarbelakang teknik.

"Orangtua saya dua-duanya wirausahawan. Kakak yang pertama di bidang 'finance', yang kedua adalah wartawan dan yang ketiga insinyur," kata dia.

"Mungkin karena di keluarga bidangnya berbeda-beda, jadi terbiasa dengan perbedaan." "Melawan" stigma dan dominasi laki-laki

Merujuk pada angka peminat perempuan di bidang sains yang lebih rendah dibanding laki-laki, tak heran pekerjaan di bidang ini juga dibayangi oleh stigma atau dominasi laki-laki itu sendiri.

Tengku Alia merasakan, ada stigma bahwa perempuan tidak seharusnya menjadi insinyur di bidang teknik.

"Saya pernah hadir di rapat dengan pihak regulator untuk menjelaskan pengembangan tahap kedua MRT." Photo: Sebagai insinyur perempuan, Alia pernah merasa dibedakan dalam dunia pekerjaan karena mengenakan sepatu hak tinggi. (Supplied: Tengku Alia Sandra)

 

"Mungkin karena pada saat itu bersepatu hak tinggi, pihak regulator bilang begini: 'nanti kalau meeting berikut tim teknisnya diajak ya'. Saya jawab: 'kebetulan saya team teknisnya dan di pertemuan berikutnya saya yang akan hadir untuk menjelaskan'," cerita Alia.

Alia merasa kecewa karena dianggap tidak mumpuni hanya lantaran urusan penampilan, padahal ia sama sekali belum mengutarakan penjelasannya terkait proyek tersebut.

Sementara itu di Australia, dalam kurun waktu 10-15 tahun belakangan, Amanda Achmadi melihat ada usaha untuk menyeimbangkan representasi gender melalui strategi rekrutmen penerimaan karyawan.

Meski begitu, ia juga tak bebas dari perlakuan bias gender di kampus dari para mahasiswanya.

"Di bidang arsitektur memang kebanyakan arsitek yang terkenal adalah laki-laki, dan ini mempengaruhi orientasi mahasiswa," kata Amanda.

Amanda menambahkan, mahasiswa lebih percaya mata kuliah yang dikoordinir oleh akademisi laki-laki.

"Mereka lebih percaya bahwa akademisi laki-laki di bidang arsitektur lebih tahu dan paham prakteknya di lapangan."

"Dalam survei evaluasi mahasiswa juga ditemukan bahwa kritik terhadap akademisi perempuan lebih pedas dibanding kritik yang diterima akademisi laki-laki."

"Penilaian terhadap akademisi perempuan lebih subjektif dan ini masih menjadi isu di bidang arsitektur," tutur Amanda.

Tapi di sisi lain, dalam proyek "travelling studio" yang digagasnya tahun lalu, Amanda mencatat bahwa sebagian besar peminatnya adalah mahasiswa perempuan dan tangguh di lapangan.

Ini yang membuat Amanda optimistis melihat masa depan perempuan di bidang sains dan teknik. Photo: Proyek 'travelling studio' Amanda diminati lebih banyak perempuan. (Supplied: Amanda Achmadi)

  Keluarga sebagai 'support system'

Tinggal menetap di Melbourne Australia, Amanda merasakan betul bagaimana karirnya tak lepas dari dukungan penuh suami karena semua keluarganya yang lain tinggal di Indonesia.

Apalagi sebagai akademisi, Amanda kerap terbang ke luar kota untuk keperluan konferensi atau kunjungan studi lainnya.

"Pernah dalam satu perjalanan tugas, anak saya sakit. Suami akhirnya harus mengambil cuti untuk merawat anak saya," kata Amanda.

Rektor ITB Reini Wirahadikusumah juga menggarisbawahi peran keluarga yang sangat krusial dalam karirnya. Photo: Reini Wirahadikusumah melihat peran penting keluarga dalam perjalanan karirnya. (Supplied: Instutut Teknologi Bandung)

 

"Keluarga adalah support system saya."

"Saya berkarir bukan untuk diri sendiri, secara ekonomi pun, suami saya sudah mencukupi, namun untuk masyarakat dan memberi contoh kepada anak-anak untuk berkarya maksimal, menjadi orang yang bermanfaat," kata Reini.

Karena itulah Reini merasa tidak keberatan jika ia merasa sedikit lebih sibuk atau lelah karena tugas yang diembannya.

Ini tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan dan dialami Tengku Alia yang bekerja di MRT Jakarta.

Sadar memiliki latar belakang dunia yang berbeda, Alia selalu menceritakan apa yang ia kerjakan ke pasangan dan keluarganya.

Tujuannya supaya mereka mengerti dan paham akan apa yang ia kerjakan.

"Karena keluarga buat saya nomor satu, jadi mereka yang pertama kali harus tahu apa yang saya kerjakan," kata Alia.

"Kebetulan saya belum punya anak. Tapi suatu hari nanti jika saya punya anak, saya yakin anak-anak saya bisa mengerti bidang yang saya tekuni ini dan mereka akan bangga," tambahnya. Optimistis di bawah bayang-bayang bias gender Photo: Tengku Alia melihat adanya 'bias di bawah alam sadar' terhadap perempuan dalam dunia STEM. (Supplied: Tengku Alia Sandra)

 

Saat diminta untuk meneropong peluang perempuan Indonesia di bidang STEM di masa datang, Alia optimistis.

Menurut Alia, perlakuan berdasarkan gender sebenarnya hanya bias di bawah alam sadar yang seharusnya tidak menghentikan langkah perempuan di bidang Sains.

"[Harapannya] adalah agar tidak ada lagi 'unconscious bias' (bias di bawah alam sadar) dan perempuan tidak lagi dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan 'macho'."

Optimisme yang sama juga disampaikan Reini, dengan sedikit catatan khusus untuk pemerintah.

"Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi, misalnya dengan membuka day care (tempat penitipan anak) yang berkualitas, di lokasi yang dekat dengan pemukiman, memberdayakan tenaga wanita juga. Jadi konsepnya dari ibu untuk ibu," kata Reini.

"Tetapi wanita perlu lebih memberanikan diri, bekerja lebih taktis, pandai membagi waktu, tentunya dibantu oleh suami yang sepaham," tambah Reini. Photo: Amanda Achmadi di tengah aktivitas travelling studio yang digagasnya. (Supplied: Amanda Achmadi)

 

Di tengah banyaknya isu perempuan dan bidang STEM yang belum selesai, Amanda mengingatkan agar para perempuan yang dianggap berhasil di bidang ini untuk tetap rendah hati.

"Para perempuan yang berhasil harus lebih berhati-hati saat menempatkan pengalamannya sebagai patokan untuk berkata: 'if I can make it, you can make it'. "

"Sebaiknya kita juga menyadari apa yang membuat segala sesuatu itu menjadi mungkin, karena apa yang tersedia dan saya miliki, belum tentu dimiliki mayoritas perempuan," kata Amanda.

Contohnya misalnya, jumlah cuti melahirkan berbeda-beda di tiap negara dan tidak universal.

"Dalam mempresentasikan diri sebagai penyintas di bidang ini, kita bisa menjadi sedikit arogan dengan mengabaikan kenyataan bahwa kita hidup dalam ketidaksetaraan gender di masyarakat, sehingga seruan untuk hak-hak dan kesempatan yang setara harus terus dilakukan," tutup Amanda.

Simak artikel-artikel menarik lainya dari ABC Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Akhiri Puasa Bicara, Anggota Bali Nine Ajukan Tuntutan ke Jokowi

Berita Terkait