Sejak mulai diluncurkan di tahun 2017, Kartu Diaspora Indonesia yang dikenal dengan nama Kartu Masyarakat Indonesia di Luar negeri (KMILN) sepi peminat karena tidak banyak yang melihat manfaatnya. Selama tiga tahun baru diterbitkan sekitar seribu KMILN Diperkirakan ada sekitar 6 sampai 8 juta warga diaspora Indonesia di luar negeri KMILN belum dirasakan manfaatnya oleh warga diiaspora
BACA JUGA: Kaum Jomblo Dapat Keringanan Selama Masa Lockdown di Melbourne
KMILN yang sudah diterbitkan sebanyak 1.032 buah, menurut angka terbaru, artinya selama hampir tiga tahun hanya satu kartu yang diterbitkan setiap hari.
Sementara jumlah warga diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia saat ini diperkirakan berjumlah antara 6 sampai 8 juta orang.
BACA JUGA: Pembatasan COVID-19 di Melbourne Ditargetkan Berakhir November 2020
Ketika diluncurkan di tahun 2017, KMILN dipromosikan agar para pemegangnya, yakni WNI yang tinggal di luar negeri atau mantan WNI yang sekarang sudah menjadi warga asing, dapat menggunakannya untuk beberapa hal, diantaranya bukti identitas saat membuka rekening di bank, membeli properti atau membuka bisnis di Indonesia.
Namun berbagai kelemahan kartu terkait landasan hukum serta kurangnya manfaat telah disampaikan dalam sebuah diskusi online yang digelar Indonesian Diaspora Network (IDN), Sabtu kemarin (5/09).
BACA JUGA: Ini Daftar Negara Teraman dari Pandemi COVID-19, Indonesia Peringkat Berapa Ya?
Dalam pemaparannya, kelompok kerja dari IDN Global yang diwakili oleh Herman Syah yang tinggal di Belanda merinci beberapa kelemahan yang mereka lihat setelah mendapat masukan dari berbagai kelompok diaspora yang tinggal di empat benua.
"KMILN ini belum berhasil memberikan fasilitas yang spesifik dan inklusif," kata Herman Syah.
"Ini juga karena batasan mengenai diaspora Indonesia yang juga tidak jelas, siapa yang masuk kategori diaspora karena ada begitu banyaknya elemen dalam hal ini," jelas Herman.
"Ada yang masih menjadi WNI, ada yang sudah berganti warga negara, ada yang sudah keturunan beberapa generasi dan bukan lagi warga negara, namun merasa masih jadi bagian diaspora." 'Bentuknya cuma secarik kertas'
Kelompok kerja IDN Global yang mengkaji KMILN juga mengatakan tujuan dari pembuatan kartu tidak sejalan dari Peraturan Presiden dengan peraturan Menteri di bawahnya.
"Di Perpres tujuannya adalah untuk memfasilirtasi agar diaspora bisa meningkatkan keterlibatan dalam pembangunan di Indonesia."
"Sementara itu di Peraturan Menteri disebutkan bahwa kartu tersebut untuk mendata dan memetakan masyarakat Indonesai di luar negeri," jelas Herman.
"Dan soal pemberian fasilitas itu tidak dijelaskan. Kedua peraturan tersebut tidak sejalan."
Dalam diskusi yang berlangsung selama 90 menit tersebut, peserta lain juga mengungkapkan beberapa pengalaman mereka berhubungan dengan kartu tersebut dan juga pemahaman yang berbeda-beda di perwakilan Indonesia di luar negeri.
"Bentuk kartunya cuma dalam secarik kertas. Tidak ada simbol Bhineka Tunggal Ika, tidak ada simbol Kemlu, tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi kalau ada masalah. Bentuknya seperti main-main saja,"
"Juga pengurusannya tidak kelas, katanya paling lambat 2 minggu baru selesai, tapi tidak ada masa waktu maksimal," demikian paparan tim kerja dalam acara diskusi tersebut.
"Ada kejadian dimana warga bertanya ke KBRI mengenai proses tersebut, namun setelah berbulan-bulan dan akhirnya ditanyakan kepada pejabat Kemlu di Jakarta baru suratnya keluar."
Dalam kesimpulannya, tim IDN mengatakan KMILN bisa jadi tidak diperlukan, jika pendataan warga Indonesia di luar negeri bisa dimasukkan ke dalam paspor.
Sehingga menurut mereka paspor sebaiknya berfungsi sebagai dokumen identitas diri di luar negeri, tapi bisa juga berfungsi seperti di KTP untuk keperluan di Indonesia dengan mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Namun IDN mengakui jika ini diterapkan, maka tidak akan memberikan solusi bagi mereka yang sudah meninggalkan status kewarganegaraan Indonesia.
Oleh karena itu, mereka memberi usulan bagi untuk melakukan amandemen terhadap UU Dasar 1945 dan UU Kewarganegaraan sehingga seseorang bisa mendapatkan dua warga negara.
"Negara seperti Filipina dan India sudah menerapkannya dan sudah merasakan manfaatnya dengan sistem dua warga negara tersebut," jelas Herman. Tanggapan Kemlu di Jakarta soal kartu diaspora Photo: Dewi Savitri Wahab, staf ahli Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri di Kemlu RI. (Foto: ABC)
Dalam tanggapannya kepada ABC Indonesia, Dewi Savitri Wahab yang sekarang menjadi Staf Ahli Menlu RI di bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia di Luar negeri mengakui masalah yang dihadapi berkenaan dengan KMILN.
"Sesuai dengan Perpres 76/ 2017 dan Permenlu 7/2017, KMILN dimasukkan untuk memberikan fasilitas kepada rekan-rekan diaspora, itu tujuan idealnya," kata Dewi Wahab kepada wartawan ABC Indonesia, Sastra Wijaya, Senin (7/09).
"Namun ternyata di tingkat pelaksanaan masih ditujukan untuk menidentifikasi dan membantu data diaspora kita."
Menurut Dewi ada kesenjangan antara harapan yang diinginkan dengan realisasi di lapangan terkait manfaat KMILN.
"Ini memang baru langkah awal dari pemerintah Indonesia untuk mulai melakukan upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia di Luar Negeri," kata Dewi yang akan segera menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Denmark.
Walau dikeluhkan kartu tersebut tidak dirasakan adanya manfaat, Dewi mengatakan sudah ada yang menggunakannya untuk membuka rekening bank di Indonesia.
"Kartu ini sudah bisa untuk membuka akun bank di Indonesia. Salah satunya di Amerika Serikat, seorang diaspora WNA pemegang KMILN sudah bisa membuka akun di Bank BNI," ujarnya yang pernah menjabat sebagai Konjen RI untuk Victoria dan Tasmania.
"Jadi pemerintah sadar ada gap [celah] dan kita terus upayakan, makan waktu, dan perlu bantuan teman-teman diaspora," kata Dewi.
"Jadi diskusi kemarin bagus untuk masukan kita." kata Dewi Wahab.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berhati-hati dengan Tawaran Kerja dan Gaji di Australia dari Para Penyalur Kerja