jpnn.com - Handris, 44, dan Andri Supriyanto, 40, terjebak dalam situasi konflik bersenjata saat berdakwah. Apalagi di negeri orang. Bersama rombongan, keduanya hanya bisa pasrah sambil menunggu pertolongan.
ZALZILATUL HIKMIA, Jakarta
BACA JUGA: Hanya Bisa Evakuasi 134 Warga Keluar dari Marawi
”Assalamualaikum,” ujar Handris begitu keluar dari pintu kedatangan Terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) Sabtu malam (3/6).
Sambil merentangkan tangan, Handris yang mengenakan jubah abu-abu dan kopiah biru tua berjalan cepat sambil menyapa sejumlah anggota jamaah tablig yang menantinya sejak petang. Mereka berpelukan erat secara bergantian.
BACA JUGA: Kapolri Pastikan 16 WNI dari Marawi Adalah Jemaah Tablig
Handris seolah-olah ingin menyampaikan bahwa kondisinya sehat dan baik-baik saja. Dia pun tak henti-henti menebar senyum kepada mereka yang menyambutnya untuk menunjukkan rasa bahagianya karena bisa kembali ke tanah air dengan selamat.
Handris merupakan satu di antara 16 warga negara Indonesia (WNI) yang sempat terperangkap dalam situasi konflik antara kelompok bersenjata dan militer Filipina di Marawi, Filipina Selatan.
BACA JUGA: TNI Sweeping Penumpang Kapal, Perketat Perairan Nunukan
Mereka adalah anggota jamaah tablig Indonesia yang tengah menjalankan khuruj fisabilillah dengan berdakwah ke Filipina Selatan.
Terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok 10 dan kelompok 6, jamaah tablig itu berdakwah dari satu masjid ke masjid lain. Handris berada di kelompok 10.
Saat konflik pecah 23 Mei lalu, kebetulan Handris dan sembilan rekannya sedang berada di Marantao, Lanao del Sur, Filipina. Tepatnya di Masjid Inodaran Jamah, Marantao.
Lokasi itu berjarak sekitar 20 km dari Marawi. Para jemaah tablig yang berasal dari Jawa Barat tersebut baru saja tiba setelah menyelesaikan dakwah di Cebu, Filipina.
Kelompok 10 bertolak ke Filipina pada 11 Mei 2017. Dengan pesawat AirAsia, mereka tiba di Cebu, Filipina, keesokan harinya.
Mereka melakukan tablig di Masjid Abu Bakar selama beberapa hari sebelum bertolak ke Marantao. ”Ini masjid kedua. Kami kan ke Cebu dulu. Lalu ke Marawi dengan menggunakan kapal laut,” ujarnya.
Pria asli Bandung itu mengaku tak tahu-menahu soal konflik yang terjadi. Menurut dia, tiba-tiba terdengar letusan peluru saat mereka berada di dalam masjid.
Karena penasaran, mereka sempat menengok ke luar. Tapi, tak banyak informasi yang didapatkan. Sampai akhirnya ada beberapa warga yang memberikan bantuan.
Kendati begitu, mereka diminta tetap berada di dalam masjid sambil menunggu arahan selanjutnya. Sempat muncul rasa khawatir dan rindu mendalam kepada anak dan istri di rumah.
Tapi, mereka kembali berpasrah kepada Allah. Dua hari menunggu bantuan dimanfaatkan untuk terus memanjatkan doa kepada Allah SWT agar diberi jalan terbaik.
”Ya, ada tembakan. Cukup jelas. Tapi, kami di dalam. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada Allah,” tutur dia.
Itu pengalaman pertama Handris berada dalam situasi konflik saat menjalani khuruj di Filipina. Sebelumnya, pada 2013, menurut dia, kondisi sangat aman dan nyaman.
Pengalaman berpuasa di tengah konflik juga dialami kelompok 6 yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Meski berada sekitar 120 km dari Marawi, tepatnya di wilayah Sultan Naga Dimaporo, kondisi mencekam begitu terasa.
Rombongan yang diketuai Andri Supriyanto itu harus tertahan di masjid selama beberapa hari gara-gara konflik bersenjata.
Dalam kondisi yang mengancam tersebut, dia hanya menanamkan kepada diri sendiri bahwa niat baik akan diberi yang terbaik pula oleh Sang Pencipta.
”Hari pertama kejadian, kami sudah di masjid. Jadi, kami hanya dari dalam masjid mendengar baku tembak. Kami tidak bisa keluar lagi. Tetapi, kami dijaga pihak kepolisian Filipina,” ungkapnya.
Pengalaman yang luar biasa itu tak henti-henti membuat Andri berucap syukur saat mendarat di bandara.
Dia turut menyampaikan rasa terima kasih bagi pemerintah, terutama Konjen RI Berlian Napitupulu beserta tim evakuasi.
”Pemerintah kita melakukan evakuasi dua rombongan di lokasi yang berbeda dengan taruhan nyawa mereka. Tidak pakai pengawalan. Alhamdulillah, Allah SWT memudahkan semuanya sehingga sampai dengan begitu cepat,” ungkapnya dengan rasa haru.
Dari kejadian itu, pria yang mengenakan jubah putih tersebut mengaku mendapat banyak pelajaran. Terlebih soal rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang besar, tak peduli apa agama dan sukunya, tetap saling membantu.
”Hari ini Allah SWT telah tunjukkan sebuah bangsa yang besar. Karena masya Allah, Konjen kita ini bukan muslim, tetapi begitu Indonesia,” tutur pria berkacamata itu sebelum kembali dibawa ke dalam bandara.
Proses evakuasi yang tak mudah tersebut dibenarkan Konjen RI Davao Berlian Napitupulu. Diperlukan waktu hingga tiga hari sejak 29 Mei 2017 untuk mengevakuasi 16 jemaah tablig tersebut. Apalagi, ada tim yang bergerak sendiri tanpa pengawalan militer.
Tim itu ditugaskan untuk menjemput enam WNI yang berada di Sultan Naga Dimaporo. Meski lokasi cukup jauh dari pusat konflik, ancaman serangan tak bisa disepelekan. Karena itu, tiga anggota tim sangat berhati-hati dalam penjemputan.
Beda dengan empat anggota tim yang berangkat ke Marantao, tim yang mengambil rute Iligan City–Maria Christina–Pantar–Marawi City–Marawi–Pantar–Maria Christina–Iligan City–Languindingan Airport itu mendapat pengawalan ketat militer.
Tapi, bukan berarti tak ada ancaman. Sebab, saat tim sudah berada di perbatasan Marawi untuk menuju Marantao, tengah berlangsung pertempuran antara militer dan kelompok separatis. Hujan peluru begitu jelas terdengar.
”Makanya, mereka mengaku merinding dan deg-degan. Sempat menangis haru saat kembali bertemu karena memang tidak ada kawalan,” ujarnya.
Selain itu, banyak hambatan bagi tim untuk bisa menemukan rombongan. Antara lain, gangguan komunikasi antartim karena jaringan yang buruk.
”Namanya juga daerah konflik. Tidak konflik saja, jaringan telepon di sana susah,” ungkapnya.
Belum lagi banyaknya pos pemeriksaan sepanjang jalur menuju lokasi. Karena itu, tim harus menghabiskan waktu cukup lama untuk melalui satu per satu checkpoint yang ada.
Untung, pemerintah sudah menjalin kerja sama yang baik dengan otoritas setempat. ”Hingga akhirnya kedua tim dan rombongan bertemu dan tiba di Davao,” ujarnya dengan lega.
Ditemui dalam kesempatan yang sama, Abdullah Awang, salah seorang penjemput, mengaku bersyukur karena rekannya bisa kembali dengan selamat.
Meski sejak awal dia mengetahui bahwa seluruh jemaah tablig berada dalam kondisi baik dari komunikasi yang terjalin.
”Alhamdulillah, di sana mereka dibantu masyarakat setempat. Kami percaya, karena kami selalu datang dengan baik, maka akan diterima dengan baik,” paparnya.
Dia menjelaskan, para jemaah tablig memang sengaja pergi ke Filipina untuk melaksanakan dakwah. Negara pimpinan Rodrigo Roa Duterte itu bukan satu-satunya yang dituju.
Dakwah juga pernah dilakukan ke Australia, India, Kanada, dan negara-negara lain. Biasanya, daerah yang dituju akan disesuaikan dengan bujet yang dimiliki tiap jamaah.
Mereka berangkat secara berkelompok. Maksimal, satu kelompok terdiri atas 10 orang. Mereka akan berdakwah dengan mengenalkan agama Islam.
Proses khuruj fisabilillah tersebut biasa dilakukan dalam waktu 40 hari hingga 4 bulan. Karena itu, terkait dengan belum tuntasnya khuruj yang dilakukan 16 orang tersebut, Abdullah menyatakan bahwa pihaknya akan merundingkannya lagi untuk mencari solusi yang pas buat mereka.
”Nanti dimusyawarahkan, apakah pindah ke yang aman atau bagaimana,” tuturnya.
Adapun Handris menjelaskan bahwa dirinya telah membeli tiket pulang pada 7 September 2017. Menurut rencana, dia menjalani khuruj selama empat bulan di negeri itu.
”Awal berangkat, kami memang mau silaturahmi. Belajar dari masjid ke masjid,” tandasnya. (*/c11/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Imigrasi Pastikan 16 WNI dari Marawi Hanya Jemaah Tablig
Redaktur : Tim Redaksi