Tim Transisi Jokowi-JK Diminta Bubar

Dianggap Asal Comot dan Tak Representatif

Kamis, 07 Agustus 2014 – 23:24 WIB
Joko Widodo. Foto.ist.

jpnn.com - JAKARTA - Langkah presiden terpilih Joko Widodo membentuk Tim Transisi, tidak hanya mendapat acungan jempol. Kritik pedas juga menerpa terkait komposisi tim tersebut. Ada penilaian, tim yang kini dihuni 5 orang tersebut tidak merepresentasikan kelompok pendukungnya. 

Pengamat politik dari Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Agus Riyanto menilai, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) seharusnya melibatkan partai pendukung yang berperan dalam proses pemenangannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

BACA JUGA: SIN jadi Salah Satu Indikator Efektivitas Pencegahan Korupsi

"Koalisi yang dibentuk memang tanpa syarat, akan tetapi dalam berbagai kebijakan, Jokowi harusnya sering mengajak komunikasi partai pendukungnya," ujar Agus kepada wartawan di Jakarta, Kamis (7/8).

Sebagai dosen Ilmu Politik, Agus menyarankan Jokowi menggandeng partai pendukung di dalamnya. "Sangat disayangkan, dengan komposisi saat ini, kelompok nahdliyin yang direpresentasikan oleh PKB akan kecewa. Bukan rahasia lagi, selama ini PKB yang membentengi Jokowi atas berbagai isu agama yang menyerangnya, Hanura dan PKPI juga pasti kecewa," ujarnya.

BACA JUGA: Anggota Bawaslu DKI Disangkakan Instruksikan Panwas Terima Money Politic

Agus melihat, dari sisi kapasitas dan kredibilitas, masih banyak kader PKB, Hanura, dan PKPI yang mampu duduk di tim transisi. "Banyak kader PKB, Hanura, dan PKPI yang lebih mumpuni dan berpengalaman," ujarnya.

Jika tidak ada komunikasi dengan partai-partai pendukung, Agus mengatakan posisi Jokowi-JK akan lemah di parlemen. "Kalau tidak diakomodir, ini bisa berbahaya bagi pemerintahan Jokowi-JK ke depan," kata lulusan doktor dari Universitas Gadjah Mada ini.

BACA JUGA: Polda Periksa Pelapor Karikatur Jakarta Post

Sebagai contoh, kemenangan Jokowi-JK di Jawa Timur, dan Jawa Tengah, tidak bisa dilepaskan dari peran PKB yang pasang badan untuk memenangkan Jokowi. Begitu juga daerah lain yang menjadi basis PKB. "Selama ini PKB pasang badan, andaikan tidak ada PKB di kubu Jokowi-JK, maka akan susah meng-counter isu agama yang ditujukan ke Jokowi," ujar Agus.

Diketahui, Tim Transisi ini dipimpin oleh Rini M Soemarno. Di bawah kendalinya ada empat deputi antara lain, Anies Baswedan, Hasto Kristiyanto, Andi Widjojanto, dan Akbar Faizal.

Agus membeberkan, keberadaan Rini Soemarno sebagai Kepala Staf Kantor Transisi Jokowi-JK, akan menjadi ancaman bagi solidaritas politik dan integritas moral presiden terpilih Joko Widodo. "Pasalnya, Rini Soemarno, dinilai bukanlah figur yang mampu merepresentasikan politik bersih yang menjadi harapan rakyat."

Penunjukan Rini Soemarno memimpin aktivitas Kantor Transisi, dinilai justru menjadi beban dan melemahkan Jokowi secara moral politik, karena mantan istri Didik Soewandi ini punya beban politik masa lalu, terkait dugaan keterlibatan Rini dalam kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara triliunan rupiah. 

Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang dulu dikenal dengan Rini M.S Soewandi, juga sempat diperiksa penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, terkait kasus dugaan korupsi penjualan aset pabrik gula RNI (Rajawali Nusantara Indonesia). Bahkan dalam kasus pembelian pesawat sukhoi, Rini yang pernah menjabat Presdir Astra Internasional, disebut DPR melakukan pelanggaran UU Pertahanan dan UU APBN. "Sehingga secara moral, adik mantan Dirut Pertamina dan Dirut Petral Ari Soemarno ini, bakal menjadi beban tersendiri bagi Jokowi."

Sementara Anies Baswedan, lanjut Agus, masih tergolong baru di dunia politik. Rektor non aktif Universitas Paramadina berdarah masyumi ini disebut 'penumpang gelap' dalam koalisi Jokowi-JK. Pada 2013, ia ikut konvensi presiden dari Partai Demokrat. Elektabilitasnya bahkan kalah dengan Dahlan Iskan. Karena suara Demokrat 'terjun bebas' pada Pileg Juli 2014 lalu, dan tidak mendapatkan mitra koalisi untuk mengajukan capres. Anies lalu merapat ke Jokowi-JK. "Anies tidak punya pengalaman politik riil di lapangan, apalagi di parlemen," tandas Agus.

Dari PDIP ada dua orang. Hasto Kristiyanto dan Andi Widjojanto. Hasto mantan aktivis GMNI yang belakangan namanya sering muncul di media karena saban hari mengikuti Jokowi. Sementara Andi, putra almarhum Mayjen (purn) Theo Syafi'i. Sejak ikut Jokowi, ia disebut mundur dari dosen FISIP Universitas Indonesia. "Semua mafhum, Andi Widjojanto termasuk anak muda yang 'disayangi' Mega karena menghargai jasa Theo dalam membela PDIP ketika zaman represi Orde Baru."

Yang terakhir, Akbar Faizal, politisi Partai Nasdem. Ia dinilai Agus tergolong politisi kutu loncat yang lincah dan pintar mencari peluang. Mantan aktivis HMI ini memulai karier politiknya di Partai Demokrat. Karena kalah bersaing di partai itu, Akbar pindah ke Partai Hanura dan maju menjadi caleg pada Pemilu 2009 dan ia lolos ke parlemen. Melihat karier di Hanura tidak terlalu moncer, ia kemudian bergabung ke Nasdem. Pada Pileg kemarin, Akbar kembali lolos menjadi anggota DPR.

Kelima orang tersebut dipilih Jokowi untuk menyiapkan strategi program unggulan mantan Wali Kota Solo itu, termasuk menyiapkan transisi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke pemerintahan yang baru. Namun menurut Agus, formasi tim transisi itu kesannya justru asal comot daripada pertimbangan representasi parpol pendukung, atau aspirasi politik aliran. Kesannya diam-diam karena ketua umum parpol koalisi pun tidak diajak bicara.

Agus mengatakan tim transisi lebih baik dibubarkan karena akan mengganggu komunikasi antarparpol koalisi. "Dari sisi representasi politik aliran aja gak masuk, tim transisi lebih baik dibubarkan aja," pungkas Agus. (adk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Hukum Pertanyakan Soal Pembukaan Kotak Suara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler