Tingwe

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 15 Desember 2021 – 13:38 WIB
Tembakau kering yang menjadi bahan baku rokok. Foto/ilustrasi: Ara Antoni/JPNN.Com

jpnn.com - Cukai rokok naik 12 persen. Para perokok melawan beleid itu dengan perlawanan budaya yang khas, yaitu kembali ke cara merokok tradisional dengan ‘’ngelinting dewe’’ atau tingwe, yaitu merokok dengan melinting tembakau sendiri.

Kenaikan pajak rokok ini diperkirakan bakal mengancam sektor-sektor yang bermata rantai dengan produksi rokok. Distribusi bahan baku tembakau dari petani bakal merosot, pekerja pabrik rokok terancam diberhentikan, dan pada akhirnya akan berdampak pada kenaikan pengeluaran konsumen rokok.

BACA JUGA: Asosiasi Petani Tembakau Tiap Tahun Resah

Rentetan korban terakhir akan dirasakan oleh para buruh rokok di berbagai sentra industri rokok seperti Kediri, Malang, Kudus, Yogyakarta, dan beberapa daerah lain.

Dampak yang sama juga dirasakan oleh daerah-daerah penghasil tembakau seperti Jember, Madura, Temanggung, Lombok, Deli, dan beberapa daerah lainnya.

BACA JUGA: Pekerja SKT Menanti Perlindungan dari Kenaikan Cukai Tembakau pada 2022

Merosotnya konsumsi rokok pabrikan akan mengurangi produksi yang kemudian berimbas pada pengurangan tenaga kerja.

Puluhan ribu buruh rokok akan kehilangan pekerjaan. Daerah-daerah sentra industri rokok pabrikan seperti Kediri dan Kudus selama ini menyerap sampai 60 persen tenaga kerja lokal.

BACA JUGA: Perjuangkan Nasib, Petani Tembakau Siap Gelar Aksi Damai ke Istana

Penurunan produksi bisa menyebabkan pengangguran massal yang bakal membawa dampak sosial serius.

Perlawanan dilakukan dengan beragam cara. Beberapa daerah melakukan demo terbuka. Kebijakan ini dianggap sebagai wujud perang kapitalisme global melawan tradisi lokal yang sudah membudaya berabad-abad.

Rokok bukan sekadar konsumsi, tetapi sudah menjadi bagian dari budaya.

Kenaikan cukai selalu dibarengi dengan kampanye yang mendiskreditkan rokok kretek, yang dianggap sebagai biang segala penyakit mematikan. Kampanye ini dianggap sebagai titipan negara-negara kapitalis internasional yang tidak mampu menembus pasar rokok tradisional.

Kampanye ini menjadi bukti sikap hipokrit dan mendua negara-negara maju.

Di satu sisi mereka menggalakkan perdagangan bebas. Namun, diam-diam melalukan proteksionisme dengan menerapkan berbagai pembatasan. Penerapan cukai rokok dan kampanye negatif terhadap rokok adalah bagian dari sikap hipokrit itu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi ujung tombak kebijakan liberalisme pasar ini. Ia menjadi ekonom liberal yang ditugaskan oleh Presiden Jokowi untuk mencari setiap lubang pajak yang bisa menghasilkan uang.

Berbagai jenis pajak yang mungkin menghasilkan uang akan diburu oleh Sri Mulyani. Industri rokok yang masif sudah lama menjadi incaran Sri Mulyani untuk mendapatkan tambahan pemasukan pajak.

Setiap kali muncul kenaikan cukai rokok, setiap kali pula muncul perlawanan terbuka. Namun, dalam setiap kali pertempuran itu perlawanan rakyat selalu kandas.

Kali ini masyarakat konsumen rokok melakukan perlawanan dengan cara yang berbeda. Tidak secara frontal, tetapi dengan perlawanan budaya melalui gerakan tingwe.

Tingwe sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat perokok dalam waktu yang sangat lama. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan budaya itu dikenal. Namun, aktivitas tingwe diperkirakan sudah muncul sejak budaya rokok muncul di Nusantara berabad-abad yang lalu.

Tingwe adalah aktivitas melinting rajangan tembakau, menggunakan kertas, klobot, atau daun nipah, dengan campuran beberapa bahan lain seperti cengkeh. Lintingan itu kemudian dinikmati dengan cara dibakar dan diisap.

Ada juga budaya menginang untuk menikmati tembakau, dengan cara mengunyah bersama sirih dan kapur. Cara ini menjadi praktik luas di pedesaan Jawa dan juga menjadi budaya di Sumatra, Kalimantan, sampai ke Papua.

Cara menikmati tembakau secara tradisional ini pelan-pelan tergeser dengan munculnya produk rokok pabrikan yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda.

Rokok tingwe yang kurang praktis pelan-pelan mulai ditinggalkan. Budaya menginang juga mulai banyak ditinggalkan karena penjajah Belanda melakukan kampanye aktif agar masyarakat meninggalkan budaya menginang yang dianggap kotor.

Di mata penjajah, kebiasaan mengunyah sirih dan pinang dan tembakau meninggalkan kotoran menjijikkan, karena aktivitas mengunyah sirih, pinang dan tembakau itu meninggalkan jejak air liur berwarna kemerahan yang diludahkan di sembarang tempat.

Pabrik-pabrik rokok lokal mulai bermunculan di banyak tempat. Distribusi tembakau tak lagi sekadar tembakau rajangan. Para penikmat tembakau memiliki alternatif lain untuk menikmati tembakau.

Jika sebelumnya mesti melinting sendiri, sekarang bisa menikmati rokok kretek instan. Tinggal ambil dari kotak rokok, bakar, lantas isap.

Mulanya sekadar industri rumah tangga, industri kecil yang dikerjakan di halaman rumah pemilik usaha, rokok produk dalam negeri kemudian tumbuh menjadi industri besar yang menguasai pasar nasional. Ini terjadi usai ramuan produk rokok kretek yang terdiri dari campuran tembakau dan cengkeh ditemukan di Kudus pada akhir abad ke-19.

Sejak saat itu, hingga hari ini, perlahan-lahan rokok kretek merangkak naik produksi dan penjualannya. Hingga pada akhirnya, pada periode 70-an, produk rokok kretek mulai merebut pasar rokok nasional yang sebelumnya dikuasai rokok putihan.

Puncaknya, hari ini rokok kretek menguasai lebih dari 90 persen pangsa pasar Indonesia.

Kejayaan rokok kretek benar-benar dimanfaatkan oleh negara untuk ikut ambil keuntungan dari bisnis ini. Cukai diterapkan terhadap produk rokok, termasuk rokok kretek.

Praktis dengan hanya ongkang-ongkang, tiap tahun negara bisa mendapat banyak pemasukan dari cukai rokok. Setiap tahun pula, negara menaikkan angka cukai rokok dengan bermacam skema.

Meski demikian, produk rokok tetap laris di pasar nasional. Rokok kretek memiliki penggemar setia dengan cakupan yang merata dan luas, dengan varian produk yang beragam menyesuaikan selera pasar.

Sekarang cukai rokok kembali dinaikkan. Kali ini dengan kenaikan sampai 12 persen. Tingkat kenaikan ini sangat tinggi karena biasanya kenaikan berkisar di bawah 10 persen.

Mungkin Sri Mulyani sudah putus asa mencari akal untuk mendapat tambahan pemasukan kas negara. Sangat mungkin juga ada pesan sponsor, supaya harga rokok menjadi mahal sehingga konsumen rokok kretek berkurang.

Apakah para penikmat rokok akan menyerah oleh keputusan ini? Tidak akan segampang itu. Para perokok sudah cukup hafal dengan berbagai kebijakan kenaikan harga rokok, dan para perokok selalu punya cara untuk menyiasatinya.

Salah satu bentuk perlawanan yang muncul sekarang adalah lewat gerakan tingwe yang mulai gencar dilakukan.

Gerakan ini merupakan gerakan perlawanan ekonomi melalui perlawanan budaya. Gerakan tingwe menjadi wujud perlawanan budaya lokal menghadapi budaya global.

Gerakan kembali ke rokok tingwe juga menjadi sebentuk gerakan politik pasif yang dilakukan oleh para perokok. Mereka melakukan perlawanan ‘’passive resistence’’ karena tidak mampu menghadapi kekuatan negara yang masif.

Dengan perlawanan pasif ini para perokok akan mempunyai posisi tawar yang tinggi, karena gerakan ini pasti akan mengurangi pendapatan negara dari pajak rokok.

Posisi tawar para perokok, yang selama ini lemah karena digencet oleh berbagai kebijakan kenaikan cukai, akan kembali menguat ketika gerakan tingwe sudah menjadi gerakan nasional yang meluas.

Dengan perlawanan pasif ini para perokok akan menjadi kekuatan penekan (pressure group) yang diperhitungkan.

Pemasukan negara lewat cukai akan menurun drastis karena para perokok lebih memilih rokok tingwe yang harganya terjangkau. Bersamaan dengan itu kalangan petani tembakau juga terbantu, karena produk tembakau masih tetap terserap ke pasar melalui aktivitas tingwe.

Hidup, Tingwe! (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Tingwe   cukai rokok   rokok   Cak Abror  

Terpopuler