jpnn.com - jpnn.com - Majelis hakim Pengadilan Tndak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan pidana penjara selama 4,5 tahun kepada Irman Gusman. Majelis hakim menyatakan mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu terbukti menerima suap sebesar Rp 100 juta dari pengusaha Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi.
Irman dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. "Menyatakan terdakwa Irman Gusman terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan alternatif pertama," kata Ketua Majelis Hakim Nawawi Pamulango saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/2).
BACA JUGA: Percayalah, KPK Tak Berhenti di Choel
Selain itu, majelis juga memerintahkan Irman membayar denda Rp 200 juta. Tapi apabila denda itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya JPU meminta ke majelis hakim agar menjatuhkan hukuman penjara selama tujuh tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan.
BACA JUGA: KPK Isyaratkan Tersangka Baru E-KTP
Namun, hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan kepada senator asal Sumatera Barat itu. Sebab, hakim mencabut hak politik kepada Irman selama tiga tahun setelah pidana pokok selesai.
Majelis hakim dalam memutus juga memiliki pertimbangan yang memberatkan hukuman. Antara lain karena Irman mencederai amanat yang diberikan sebagai ketua DPD RI, tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tidak mau mengakui perbuatannya.
BACA JUGA: Ada Filosofi Khas di Gedung Baru KPK, Nih Penjelasannya
"Hal-hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, menyesali secara mendalam perbuatannya, dan memiliki tanggungan keluarga" kata Hakim Nawawi.
Irman dinyatakan terbukti menerima suap sebesar Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi. Hakim Ansyori Saifuddin mengatakan, saat petugas KPK mendatangi rumah dinas ketua DPD pada 16 September 2016, Irman awalnya mengaku tidak mengetahui isi bungkusan yang dibawa Memi.
Namun, Sutanto mengakui memberikan bungkusan. Irman kemudian menyuruh istrinya mengambil barang di lantai atas rumahnya.
"Bahwa menurut ahli jika ada deal dapat dikategorikan sebagai suap. Tapi bila tidak deal, maka dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Majelis berkesimpulan Irman sebagai ketua DPD RI menerima hadiah uang Rp 100 juta di rumah terdakwa. Majelis berpendapat unsur menerima hadiah telah terpenuhi," kata Hakim Ansyori.
Suap diberikan karena Irman membantu pengurusan distribusi kuota gula impor di wilayah Sumatra Barat. Irman bersedia membantu memi dengan meminta kesepakatan fee Rp 300 perkilogram.
Irman kemudian menghubungi Dirut Bulog Djarot Kusumayakti agar Bulog menyuplai gula ke wilayah Sumatra Barat melalui Divre Bulog Sumbar. Irman merekomendasikan Memi sebagai pihak yang dipercaya untuk mendistribusikan gula. Lantaran jabatan Irman sebagai ketua DPD, maka Djarot menyanggupinya.
"Perbuatan Irman yang seharusnya menerima aspirasi masyarakat telah memengaruhi Djarot Kusumayakti. Lalu menerima uang Rp 100 juta. Perbuatan itu secara nyata bertentangan dengan tugas dan kewajibannya. Unsur melakukan atau tidak melajukan dalam jabatan anyg bertentangan dengan kewajibanny telah terpenuhi," papar Hakim Ansyori.
Atas vonis itu,JPU KPK Lie Setyawan menyakan pikir-pikir. Demikian pula dengan Irman yang pikir-pikir untuk menerima vonis atau mengajukan banding.
"Saya konsultasi dengan penasihat hukum. Terima kasih atas putusan Yang Mulia. Kami butuh berpikir-pikir, Yang Mulia, mudah-mudahan dalam waktu yang dekat kami bisa putuskan," kata Irman. (Put/jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Tak Masalah jika Emirsyah Satar Membantah
Redaktur : Tim Redaksi