Tolong Disimak, Indonesia Memiliki Problem dalam Ekosistem Informasi

Sabtu, 06 Februari 2021 – 23:44 WIB
Ilustrasi melawan hoaks. Grafis: Rahayuning Putri Utami/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika menyebutkan, pandemi COVID-19 menunjukkan Indonesia memiliki problem ekosistem informasi.

Ia mengatakan, keberadaan hoaks dan misinformasi yang masif selama pandemi, hanya refleksi dari belum cukup kuatnya ekosistem informasi.

BACA JUGA: Inilah Hal yang Perlu Dibangun Agar Tidak Terdampak Hoaks Selama Pandemi

Menurut dia, ekosistem yang lemah disebabkan beberapa faktor. Misalnya sikap pemerintah tidak konsisten dalam penanganan pandemi dan sikap masyarakat yang menolak fakta.

"Di sisi lain ada polarisasi di masyarakat yang menyebabkan orang cenderung memilih percaya pada apa yang ingin dipercaya. Jadi post truth," kata Wahyu, dalam diskusi virtual dalam rangka kegiatan Hari Pers Nasional 2021, Sabtu (6/2).

BACA JUGA: Mabes Polri Buru Pelaku Penyebar Hoaks Jakarta Lockdown 12 Februari

Berkaitan dengan hoaks dan disinformasi, Wahyu membeberkan riset yang dilakukan Reuters di Oxford, Inggris.

Dalam riset itu, ujar Wahyu, menunjukkan peningkatan luar biasa di awal pandemi, terkait dengan hoaks dan disinformasi.

BACA JUGA: Miris, Penyebar Hoaks Vaksin Sinovac Ternyata Pegawai Honorer

Menurut dia, riset Reuters mencatat sebanyak 60 persen persoalan selama pandemi terkait kemunculan disinformasi. Sisanya yakni membuat ulang informasi sesat atau hoaks.

Sebagai catatan, klasifikasi disinformasi yakni menyampaikan pesan, tetapi tidak diletakkan dalam konteks yang tepat.

"Seperti tadi ada hoaks lockdown di Jakarta pada Sabtu Minggu, yang menyisipkan link berita dari sebuah media daring. Namun, pengantarnya keliru, link-nya betul. Jadi orang cenderung tidak baca link-nya, tetapi membaca teks yang menyertai link itu, padahal itu bentuk disinformasi yang berbahaya," ujar Wahyu.

Dia melanjutkan, sebanyak 20 persen persoalan disinformasi banyak disumbang oleh influencer atau orang yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Sementara 80 persen disinformasi disumbang orang kebanyakan.

Namun, cakupan pengaruh disinformasi para influencer ini cukup besar dibandingkan orang kebanyakan. 70 persen pembicaraan disinformasi ruang publik disumbang oleh influencer. "Keluasan pengaruhnya sangat dominan hampir 70 persen," beber dia. (ast/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler