Top, Eka Pratiwi Meski Tunanetra Tapi Jadi Sarjana dan Cum Laude Pula

Jumat, 26 Agustus 2016 – 05:05 WIB
PANTANG MENYERAH: Eka Pratiwi Taufanti bersama Rektor Udinus Edi Noer Sasongko (paling kiri), dosen, dan Muhammad Taufik Hidayat, ayahnya. Foto: Abdul Mughis/Jawa Pos Radar Semarang

jpnn.com - Terlahir sebagai penyandang tunanetra tak membuat Eka Pratiwi Taufanti pasrah pada keadaan yang ada. Ia justru memiliki tekad kuat untuk bisa menimba ilmu hingga jenjang perguruan tinggi.

ABDUL MUGHIS, Semarang

BACA JUGA: Kaya Potensi Bahari, Sitaro Andalkan Produk Kerakyatan

SEMANGAT bagi penyandang disabilitas ini dalam mewujudkan mimpinya sungguh luar biasa. Keterbatasan fisik tak menyurutkan tekad Eka Pratiwi Taufanti untuk menggapai cita-cita hingga akhirnya lulus perguruan tinggi dengan predikat cum laude dan menyandang gelar sarjana.

Eka memang berasal dari keluarga sederhana di Losari, Brebes. Ayahnya, Muhammad Taufik Hidayat adalah pensiunan tentara. Sedangkan ibunya, Emma Hermawati adalah penjual nasi.

BACA JUGA: Naik Haji dari Tabungan Hasil Jualan Daun Pisang Selama 20 Tahun

Namun, Eka membulatkan tekadnya untuk menimba ilmu di Semarang. Warga Desa Babakan RT 4/RW 5  di Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, itu  lantas kuliah di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang.

Eka memilih Udinus yang dikenalnya sebagai kampus berbasis teknologi informasi (TI). Berbekal dukungan kedua orang tua, ia nekat terjun di tengah kampus modern tersebut.
”Sempat minder. Pertama kali di Semarang pernah terpikir nanti pasti orang di kota pinter-pinter. Sempat bingung, di awal kuliah saya tidak punya laptop,” kata Eka kepada Jawa Pos Radar Semarang usai acara wisuda ke-57 Udinus di Hotel Patrajasa Semarang, Rabu (24/8).

BACA JUGA: Inilah Bangunan Kantor Penjajah Belanda saat Menguasai Jambi

Namun, ia mengaku yakin bahwa Tuhan akan memberi jalan. Meski memiliki keterbatasan sebagai tunanetra, Eka terus meniti hari-hari dengan semangat dan ketekunan dalam belajar di jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Udinus.

”Mahasiswa lain awalnya gumun (heran, red) saat melihat saya. Mereka cuma ngeliatin, mau bantu gimana enggak tahu caranya. Tapi setelah mengenal, teman-teman welcome dan perhatian. Sangat menghargai dan tidak membeda-bedakan. Kami sering berdiskusi bersama,” ujarnya.

Meski tunanetra, Eka mengikuti proses belajar di kelas normal. Namun demikian, kata dia, Udinus dan para dosen mendukung kebutuhan bagi mahasiswa tunanetra.

”Dosen menyediakan modul materi atau bahan perkuliahan berbentuk soft file, kemudian diproses menggunakan aplikasi di laptop. Materi dari teks ditransfer menjadi suara,” tutur gadis kelahiran Brebes, 16 November 1991 ini.

Tentu saja Eka harus berusaha ekstrakeras demi memahami materi kuliah. Sebab, proses belajarnya berarti dua kali ketimbang mahasiswa biasa. Selain mendengarkan penjelasan dosen, ia harus mentransfer materi dari teks ke bentuk suara.

”Ya, susahnya kadang dibutuhkan scan terlebih dulu. Agar bisa dibuka menggunakan aplikasi Open Book sehingga bisa didengarkan,” katanya.

Kesabarannya menikmati setiap proses kuliah menginspirasi ide untuk menuangkan gagasan tentang konsep belajar efektif bagi penyandang tunanetra. Selama ini, penyandang tunanetra biasanya hanya menggunakan sistem braille. Namun huruf braille cenderung tidak menyediakan banyak buku atau materi yang tersedia.

”Saya akhirnya berusaha menuangkan ide dan gagasan tentang pemanfaatan Podcast layar sentuh di ponsel Android dengan metode listening,” bebernya

Podcast merupakan media digital yang terdiri atas serangkaian episodik audio, video radio, PDF, atau file ePub secara online menggunakan perangkat mobile. ”Sehingga ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris bagi tunanetra dengan memanfaatkan teknologi digital,” katanya.

Tak terduga, gagasan yang dituangkan ke dalam bentuk inovasi karya ilmiah esai itu mengantarkan Eka terbang dalam kompetisi ilmiah World Blind Union Regional Asia Pasific di Hong Kong pada 2014 silam. Eka terpilih sebagai salah satu dari dua orang yang mewakili Indonesia dalam ajang bergengsi tersebut.

”Saya mempresentasikan di sana. Gagasannya simpel banget sih, cuma bagaimana memanfaatkan teknologi menggunakan aplikasi di android. Tujuannya, sebagai peningkatan kemampuan bahasa Inggris bagi tunanetra secara efektif,” terangnya.

Ketekunannya tidak sia-sia. Kurun waktu empat tahun atau delapan semester, Eka mampu menyelesaikan studinya. Bahkan ia berhasil menyandang predikat cumlaude dengan meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,74.

Ia menjadi salah satu di antara 14 wisudawan terbaik, dari total 741 wisudawan. ”Saya nggak nyangka bisa terpilih menjadi salah satu wisudawan terbaik,” ujar wanita yang bercita-cita menjadi dosen ini.

Dia mengaku telah ditawari oleh Rektor Universitas Dian Nuswantoro, Dr Ir Edi Noer Sasongko, MKom, untuk menjadi dosen. Namun demikian, setelah wisuda S1, ia hendak melanjutkan ke jenjang S2 terlebih dahulu.

”Dulu saya bercita-cita menjadi guru. Sempat pesimistis. Namun setelah mendapat support dari banyak orang, saya semakin terpompa untuk lebih bersemangat. Apalagi Udinus menawarkan kesempatan untuk itu,” katanya. (*/aro/ce1/jpg/ara/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... 48 Tahun Hidup Tanpa Kartu Identitas, Sukaesih Hidup Lontang-Lantung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler