Angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia sudah mencapai angka 100 ribu dan diperkirakan akan terus bertambah.
Sementara di seluruh dunia, COVID-19 sudah membunuh hampir 5 juta jiwa.
BACA JUGA: 3 Trik Jitu Atasi Efek Samping Vaksin Covid-19
Walau demikian, masih ada banyak orang yang menolak untuk percaya pada angka tersebut.
Bahkan banyak pula yang menuduh rumah sakit sengaja meng-COVID-kan pasien, karena mereka tak percaya COVID-19.
BACA JUGA: Indonesia Sudah Mencatat 100 Ribu Kematian di Masa Pandemi COVID-19
Dokter relawan dan tim penanganan COVID-19 di Jakarta, dr. Muhamad Fajri Adda'i yang memiliki akun Instagram @dr.fajriaddai membantu menjawab pertanyaan berikut: Apa itu 'di-covid-kan'?
Menurut dr Fajri, istilah "di-covid-kan" merujuk pada kecurigaan bahwa seseorang yang meninggal dengan sebab yang tidak diketahui, tapi mendapat vonis meninggal karena COVID-19.
BACA JUGA: Gadis 11 Tahun di Surabaya Mendadak Yatim Piatu, Pascakeluarga Meninggal Akibat Covid-19
"Motifnya banyak, disangka atau dikira motif ekonomi," kata dr Fajri.
"[Mereka berpikir] tenaga kesehatan mencari untung ... gambaran besarnya lagi, COVID sudah [menjadi] konspirasi, berarti ada pihak yang sengaja membuat seseorang [terkena] corona supaya nyari untung."
Menurut penelusuran ABC Indonesia, istilah "di-covid-kan" mulai dipakai oleh beberapa media nasional pada awal Juli 2020.
Menurut data dari Google, pencarian kata "dicovidkan" terbanyak adalah di bulan Juli 2021.
Menurut dr Fajri, istilah ini semakin terpupuk di masyarakat setelah dipakai oleh "pejabat tinggi di ring 1" Indonesia akhir tahun lalu.
Karena suburnya penggunaan istilah ini di kalangan masyarakat, beberapa rumah sakit sampai harus membantah tuduhan meng-COVID-kan pasien dari warga.
Salah satunya adalah RSUD dr. Iskak Tulungagung, Jawa Timur yang harus mengeluarkan surat pernyataan pada situsnya.
"Stigma rumah sakit meng-covid-kan pasien sama sekali tidak benar. Itu tidak benar sama sekali, tidak mungkin rumah sakit meng-covid-kan pasien," bunyi surat tersebut.
"Ribuan nakes dan tenaga kesehatan selama ini berjuang sebagai garda terdepan dalam penanggulangan wabah ini secara langsung. Mereka yang menghadapi pasien terpapar dan berisiko ikut tertular." 'Dicovidkan': hoaks atau fakta?
Penelusuran ABC Indonesia belum menemukan laporan rumah sakit yang terbukti meng-COVID-kan pasien.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) juga membantah laporan tersebut melalui acara temu media daring mereka 20 Juni lalu.
"Ada aturan yang kuat, ketat sekali pasien itu ditentukan diagnosa sebagai COVID. Rumah sakit harus melampirkan banyak sekali dokumen pendukung untuk menyampaikan bahwa ini COVID-19," ujar Sekretaris Jendral Persi Lia Gardenia Partakusuma.
Dokter Fajri mengatakan bila ada yang mengklaim rumah sakit sengaja meng-COVID-kan pasien, mereka harus menunjukkan bukti.
"Sebaiknya kecurigaan tersebut dibuktikan di meja hijau. Kita tidak bisa cuma ngomong di media, atau mendengar saja, terus bilang 'setuju'," ujarnya.
Menurutnya, masalah komunikasi antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien mungkin menjadi penyebab kesalahpahaman terkait jenazah COVID-19.
"Apalagi lagi outbreak besar, kemungkinan besar proses komunikasinya tidak akan seefektif [dulu]," katanya. Mengapa tertular COVID-19 bisa menyebabkan kematian?
Jawabannya, karena COVID-19 dapat menyebar ke semua organ dengan cepat, ujar dr Fajri.
"[Bila] ada di ginjal, bisa menyebabkan peradangan, di pankreas dia merusak sel pankreas, bahkan bisa menimbulkan new-onset [atau] orang tidak sakit gula tiba-tiba sakit gula karena COVID karena merusak pankreas," katanya.
Selain itu, ada juga penyebab kematian COVID-19 lainnya, namanya badai sitokin.
Ini terjadi ketika tubuh melepaskan terlalu banyak sitokin ke dalam darah dalam jangka waktu yang sangat cepat sehingga membuat sel imun justru menyerang jaringan dan sel tubuh yang sehat.
"Sistem imun kita yang menyembuhkan [COVID-19]. Dalam seminggu pertama, sistem imun kita berjuang dalam melokalisir virus," katanya.
"Tapi, masuk di minggu kedua, virusnya memang jatuh, betul virusnya berkurang, tapi sistem imunnya berlebihan. Makanya ada badai sitokin."
Menurut laporan CDC, lebih dari 80 persen kematian akibat COVID-19 terjadi pada mereka yang usianya lebih dari 65 tahun, sementara 45 persen pada mereka di atas 45 tahun.
Syok septik dan kerusakan banyak organ akibat radang paru-paru kronis supuratif merupakan sebab kematian paling umum, menurut penelitian pada jenazah COVID-19 di Jerman Februari tahun ini.
Pasien yang mereka teliti memiliki penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit jantung iskemik, dan obesitas. Apakah jenazah COVID-19 masih bisa menularkan virus?
Menurut organisasi forensik Amerika Serikat, National Association of Medical Examiners (NAME), "risiko menularkan COVID-19 melalui droplet setelah meninggal dunia dianggap minim", namun mungkin saja terjadi.
"Dalam kasus COVID-19, kekhawatiran penularan antara orang yang sudah meninggal dengan hidup belum terbukti," bunyi keterangan persnya tahun lalu.
Penularan namun mungkin terjadi, karena petugas forensik sering bertemu dengan keluarga jenazah dan berkontak dengan cairan tubuh.
Dokter Fajri mencontohkan risiko penularan COVID-19 saat jenazah dimandikan.
"Walaupun metode penularan COVID melalui cairan atau melalui sentuhan rendah dibandingkan droplet atau airborne, tetap bisa nularin," katanya.
"Itulah mengapa [jenazah harus dibungkus] berlapis-lapis ... dengan sosio-budaya di Indonesia yang mana kalau pasien meninggal itu dikerubutin ... dipeluk-peluk, itu kan risiko tinggi." Mengapa hoaks lebih mematikan dari COVID-19?
Banyak pihak mengatakan yang lebih mematikan saat ini sebenarnya adalah informasi yang salah, ketimbang virusnya.
"Sangat betul. Hoaks itu berbahaya banget," ucap dr Fajri.
"Di Wuhan itu satu orang [bisa] menularkan COVID terhadap dua sampai tiga orang ... kalau hoaks, satu orang bisa menularkan satu juta informasi salah dalam waktu sepersekian detik."
Ini karena kondisi penderita COVID-19 yang seharusnya bisa ditangani lebih cepat, jadi terlambat karena mereka percaya pada hoaks sehingga enggan ke rumah sakit.
Salah satu kejadiannya pernah dilaporkan ABC Indonesia tentang seorang bapak di Bandung, Jawa Barat, yang meninggal karena COVID-19 setelah "termakan oleh hoaks" bahwa rumah sakit meng-COVID-kan pasiennya.
Karena percaya pada hoaks tersebut, ia menolak untuk dibawa ke rumah sakit.
"Itu lebih mematikan. Kebayang kalau satu juta orang itu cuek. Wah," kata dr Fajri. Jadi apa kriteria pasien meninggal karena COVID-19?
Ada tiga poin menurut Kementerian Kesehatan RI: Jenazah suspek dari dalam rumah sakit sebelum keluar hasil swab, termasuk pasien DOA (Death on Arrival) rujukan dari rumah sakit/fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik sebelum dan setelah autopsi klinis dan medikolegal bila diperlukan penegakan sebab kematian Jenazah pasien dari dalam rumah sakit yang telah ditetapkan sebagai kasus konfirmasi/probable COVID-19 Jenazah dari luar rumah sakit, yang memenuhi kriteria konfirmasi/suspek COVID-19, baik sebelum dan setelah autopsi klinis dan medikolegal bila diperlukan penegakan sebab kematian
Dokter Fajri mengatakan jenazah yang mengembalikan hasil positif tes antigen juga sudah bisa dinyatakan meninggal karena COVID-19.
"Jadi misalnya orang meninggal, demam, batuk, pilek, sesak, terus meninggal belum sempat di PCR, kemudian antigen positif, ya udah itu bisa dibilang COVID," kata dr Fajri.
Bagaimana dengan orang yang meninggal dunia sebelum hasil tes PCR keluar?
"Misalnya orang demam, parunya khas banget COVID, sesak banget, kan ini jelas COVID ... tapi sampai meninggal PCR belum keluar, apakah bisa dibilang COVID?"
"Ya probable."
Menurutnya, penting bahkan bagi kasus 'probable' untuk dipulasarkan sesuai protokol COVID "karena jenazahnya jelas bisa menularkan" virus corona.
"Walaupun dia gak batuk, bisa ada banyak yang ketularan karena cairannya," katanya.
Intinya, lebih baik berhati-hati daripada tertular.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dokter Reisa Broto Menyebut 10 Daerah, 5 di Jatim, 2 Jateng