jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrsi Indonesia (TPDI) sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi No.143/PUU-XXI/2023 tanggal 21 Desember 2023 dan
“Putusan MK No.143/PUU-XXI/2023 tanggal 21 Desember 2023 berpotensi melahirkan kekacauan dan bernuasan politik elektoral Pilpres 2024,” kata Petrus Selestinus dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (28/12/2023).
BACA JUGA: Yusril: Putusan MK Nomor 90 Tidak Melanggar Norma Etik Hukum
Koordinator TPDI sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus (kedua kiri) bersama anggota Perekat Nusantara Jemmy Mokolensang (tengah), Carrel Ticualu (kiri), Pascalis Da Cunha (kedua kanan), dan Fransiskus R Delong (kanan) saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (28/12/2023) untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi No.143/PUU-XXI/2023 tanggal 21 Desember 2023. Foto: Friederich Batari/JPNN.com
BACA JUGA: Ditanya Mahasiswa soal Etika, Anies Singgung Lagi Putusan MKMK
Dalam jumpa pers tersebut, hadir juga sejumlah advokat yang tergabung dalam Perekat Nusantara, yaitu Carrel Ticualu, Pascalis Da Cunha, Jemmy Mokolensang, Pitri Indrianingsih, dan Fransiskus R Delong.
Petrus menjelaskan Prof Dr. Yusril Ihza Mahendra, dkk selaku Kuasa Hukum Elly Engelbert Lasut (Bupati) dan Moktar Arunde Parapaga (Wakil Bupati), Kabupaten Kepulauan Talaud, sebelumnya telah mengajukan Permohonan Uji Materiil atas ketentuan Pasal 201 Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota Menjadi UU terhadap Pasal 18 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (7) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
BACA JUGA: Golkar: Jokowi Tak Pernah Beri Arahan Perpanjang Masa Jabatan Presiden
Dalam Permohonan Uji Materiil dimaksud dalam Perkara No. 62/PUU-XXI/2023, Yusril menegaskan bahwa Pemohon memahami MK sebelumnya telah beberapa kali melakukan pengujian atas ketentuan pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016, sebagaimana tertuang dalam beberapa putusan, yaitu :
a. No.55/PUU-XXI/2019, Obyek Pengajuan Ketentuan pasal 201 ayat (7) dan ayat (9), dengan batu uji pasal 1 ayat (2), pasal 4 ayat (1), pasal 22E ayat (1), pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UUD 45.
b. No. 67/PUU-XXI/2021, Obyek Pengajuan Ketentuan pasal 201 ayat (7) dan ayat (8), dengan batu uji pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28I ayat (2) UUD 45.
c. No. 81/PUU-XXI/2022, Obyek Pengajuan Ketentuan pasal 201 ayat (7), batu uji pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 45.
d. No. 37/PUU-XXI/2022, Obyek Pengajuan Ketentuan pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11). Batu Uji Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 45.
e. No. 95/PUU-XXI/2022, Obyek Pengajuan Ketentuan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8), Batu Uji Pasal 22E ayat (1) UUD 45.
“Semuanya memiliki substansi yang sama, yaitu periodisasi masa jabatan yang terkurangi akibat berlakunya Ketentuan Pilkada Serentak pada tahun 2024,” ujar Petrus.
Namun demikian, kata Petrus, belum ada satupun yang menguji Ketentuan Pasal 201 Ayat (5), sebagaimana dimohonkan dalam Perkara Uji Materiil Nomor 62/PUU-XXI/2023.
“Hasilnya ternyata sama, yaitu MK menolak Permohonan Uji Materiil No. 62/PUU-XXI/2023 yang dimohon Yusril Ihza dkk,” ujar Petrus.
Politik Elektoral
Petrus juga menyoroti Perkara Permohonan Uji Materiil yang diajukan oleh Gubernur Maluku Drs. Murad Ismail dkk.
Perkara No.143/PUU-XXI/2023, yang dimohon untuk diuji adalah Ketentuan Pasal 201 Ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016, di mana Gubernur, Bupati, Wali Kota dan Wakilnya hasil Pilkada tahun 2018 menjabat sampai 2023, oleh MK dalam putusannya No.143/ PUU-XXI/2023, tanggal 21 Desember 2023, mengabulkan sebagian dan menyatakan Pasal 201 Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 yang semula menyatakan Gubernur, Bupati, Wali Kota dan Wakil hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampsi tahun 2023 bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan dan pelantikan 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati satu bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara secara serentak secara nasional tahun 2024.
“Dengan demikian norma Pasal 201 Ayat (5) UU No.10 Tahun 2016 hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati satu bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara secara serentak secara nasional tahun 2024,” ujar Petrus.
Menurut Petrus, Putusan MK ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan berupa bongkar pasang kebijakan pembentukan UU dan bermotif politik elektoral untuk 2024, sehingga satu Putusan Perkara, yaitu Perkara No. 143/PUU-XXI/2023 harus menabrak 6 Putusan lain yang amarnya sama.
“Hal ini membuktikan bahwa MK sudah menjadi alat kekuasaan dampak dinasti sebagaimana Putusan MK No. 99/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 lalu,” ujar Petrus.
Oleh karena itu, Petrus meminta Mendagri tidak mengeksekusi putusan MK ini agar tidak menimbulkan kekacauan dalam pemerintahan. Sebab Pejabat pelaksana tugas yang sudah dilantik telah kehilangan jabatan strategis lainnya sebelum jadi Plt Gubernur, Bupati dan Wali kota.
“Ini beraroma politik elektoral Pilpres 2024,” tegas Petrus.(fri/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari