jpnn.com - Presiden Jokowi berkunjung ke Malang, Selasa (25/7). Ia mengajak serta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk bersama-sama meninjau pabrik peluru yang dioperasikan oleh Pindad.
Kebetulan dua menteri itu membawahkan pabrik Pindad. Prabowo sebaga user, sedangkan Erick sebagai produser.
BACA JUGA: FIFA Kanjuruhan
Menurut Jokowi, alasannya mengajak Prabowo dan Erick ialah karena kedua pembantunya di kabinet itu memiliki urusan dengan pengadaan senjata di PT Pindad.
Akan tetapi, tidak ada kebetulan dalam politik. Kunjungan Jokowi adalah kegiatan politik, sehingga kebersamaan tiga tokoh itu adalah sebuah event politik.
BACA JUGA: Jabatan di PSSI & Reshuffle Menteri
Kata Roosevelt, tidak ada kebetulan dalam politik. Kalau terlihat seperti kebetulan, hal itu sengaja dirancang supaya terlihat sebagai kebetulan.
Kebersamaan segitiga itu menjadi sebuah kode keras -atau kode lunak- dari Jokowi bahwa ia memberikan endorsement kepada dua menterinya itu sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
BACA JUGA: PSSI dan Korporatisme Negara
Kebersamaan yang mesra dipamerkan ketika Prabowo menyopiri Erick Thohir, Jokowi, dan Ibu Negara Iriana, menggunakan mobil Maung buatan Pindad. Prabowo duduk di kursi sopir, sementara Erick berada di sebelahnya, sedangkan Jokowi dan Iriana di kursi belakang.
Sinyal dukungan Jokowi agar Prabowo dan Erick bersanding di Pilpres 2024 sudah ditunjukkan dalam berbagi kesempatan. Ahad pekan lalu, Jokowi sengaja mengundang Prabowo dan Erick ke Istana Bogor.
Jokowi tampak sedang mencoba menjodohkan Prabowo dan Erick dengan sesering mungkin mempertemukan dua menteri di Kabinet Indonesia Maju itu dalam satu agenda. ??
Di Malang, Jokowi mengajak dua protégé itu meninjau Pasar Bululawang. Jurnalis bertanya mengenai kemesraan segitiga itu.
Senyum Jokowi merekah saat mendengar pertanyaan tersebut. Begitu pula dengan Prabowo dan Erick Thohir yang ikut tersenyum lebar. Ketiganya terlihat bergelak tawa sambil berlalu.??
Hanya beberapa ratus meter dari lokasi pasar terjadi peristiwa yang kontras. Sekelompok ibu ahli waris korban Tragedi Kanjuruhan berusaha melakukan protes kepada Jokowi dan Erick Thohir.
Namun, upaya itu dihalang-halangi oleh petugas dari TNI dan kepolisian.?? Video yang beredar menunjukkan ibu-ibu itu dihalangi aparat TNI saat ingin bertemu dengan Jokowi.
Ibu-ibu itu tengah menunggu kehadiran Jokowi dan hendak membentangkan foto anak-anak mereka yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan. Mereka terlihat berdebat dengan aparat yang tengah mengamankan iring-iringan Jokowi.
Beberapa ibu terlihat histeris saat dihalang-halangi oleh petugas.
Gambaran yang kontras ini menunjukkan realitas yang kontras. Tragedi Kanjuruhan baru terjadi 10 bulan yang lalu, yakni pada 1 Oktober 2022.
Namun, kisah sedih itu seolah sudah terlupakan dan terkubur lama. Sebanyak 135 korban tewas itu seolah sudah terlupakan oleh publik.
Sorak-sorai dan pawai kemenangan ketika tim sepak bola Indonesia bermain mengubur semua kenangan buruk itu. Erick Thohir menjadi ketua umum PSSI dan memanfaatkan keterampilan maupun jaringan internasionalnya untuk mengatrol prestise sepak bola Indonesia, sekaligus mengerek popularitas pribadinya.
Hanya dalam beberapa bulan setelah Erick menjadi ketua umum PSSI, popularitasnya sebagai salah satu bakal calon wakil presiden meroket melewati semua pesaingnya. Survei menunjukkan popularitas dan elektabilitas Erick naik setelah Timnas Indonesia menjadi juara SEA Games, dan menjamu Timnas Argentina.
Ada ironi yang menyengat. Erick Thohir justru lebih populer dalam jabatannya sebagai ketua umum PSSI ketimbang sebagai menteri BUMN.
Erick juga terkesan mendompleng sukses Timnas Indonesia di SEA Games dengan mengadakan arak-arakan besar-besaran di Jakarta.
Ibarat pepatah ’kerbau punya susu, benggali punya nama’, PSSI menjadi kerbau perah untuk mendapatkan susu yang kemudian dinikmati oleh Erick Thohir.
Kalau ada kontribusi Erick dalam sukses itu, mungkin hanya 20 persen. Akan tetapi, Erick bisa memonopolinya sebagai sukses pribadi.
Erick Thohir menjadi ketua PSSI setelah Iwan Bule dipaksa mundur pasca-Tragedi Kanjuruhan. Erick langsung mengubur tragedi dan membuat publik sepak bola Indonesia melupakannya.
Namun, tidak demikian dengan para ibu ahli waris korban Tragedi Kanjuruhan. Ibu-ibu itu masih terus menangis karena penanganan tragedi yang tidak tuntas.
Mereka yang bertanggung jawab terhadap tragedi ini tidak dihukum secara setimpal. Para operator lapangan dihukum ringan.
Ahmad Hadian Lukita, direktur Liga Indonesia Baru yang bertanggung jawab terhadap pertandingan, sampai sekarang tidak diadili. Iwan Budianto sebagai owner Arema FC tidak tersentuh hukum.
Ibu-ibu itu pasti mewakili kesedihan dan kepedihan hati ratusan keluarga korban. Mereka menuntut agar tragedi diusut tuntas, dan rencana renovasi atas Stadion Kanjuruhan dibatalkan.
Mereka tidak ingin nantinya puluhan ribu suporter sepak bola berjingkrak-jingkrak dengan penuh sukacita di atas kuburan 135 nyawa anak-anaknya.
Sayangnya upaya unjuk rasa itu digagalkan aparat, sehingga Jokowi tidak mendengar aspirasi keluarga korban. Betapa pedih hati para ibu itu menyaksikan Jokowi dan Erick Thohir berlalu dengan gelak tawa.
Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Itulah yang selalu diingatkan oleh budayawan Milan Kundera.
Ia menulis novel ‘The Book of Laugher and Forgetting’ atau Kitab Gelak Tawa dan Lupa yang menggambarkan keangkuhan kekuasaan terhadap penderitaan rakyat.???
Setiap kejadian tragis yang memakan korban nyawa akan mudah dilupakan oleh momen-momen kegembiraan gelak tawa yang sengaja diciptakan oleh kekuasaan. Para korban hanya bisa menangis, sementara penguasa berlalu dengan gelak tawa.(***)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Erick Thohir & PSSI
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi