Trump Bakal Akui Jerusalem Ibu Kota Israel

Sabtu, 02 Desember 2017 – 06:35 WIB
Donald Trump. Foto: AP

jpnn.com, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump seperti tak pernah lelah memprovokasi masyarakat negara lain untuk membencinya.

Setelah sukses memancing kemarahan Inggris lewat video provokatif yang disebarkannya, Trump sekarang berencana mencari masalah dengan negara-negara muslim.

BACA JUGA: Rekonsiliasi Palestina Terancam Gagal

Dia sedang mempersiapkan pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Rencananya, pengakuan itu dilakukan pada Rabu (6/12) mendatang.

Namun, masih belum pasti siapa yang akan mengutarakannya. Antara Trump atau wakilnya, Mike Pence, yang akan melawat ke Israel pertengahan bulan ini.

BACA JUGA: Giliran Mantan PM Mesir Mengaku Disekap Uni Emirat Arab

Langkah tersebut pasti memicu kemarahan Palestina. Sebab, mereka sejak lama berencana menjadikan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara.

Saat ini, Jerusalem terbagi menjadi dua, yaitu Jerusalem Barat dan Timur. Saat perang Israel-Arab pada 1948–1949, negara yang kini dipimpin Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu itu berhasil menguasai Jerusalem Barat.

BACA JUGA: UEA: Al Jazeera Mesin Pencetak Teroris, Layak Dibom

Israel menguasai dan menduduki Jerusalem Timur dalam perang Timur Tengah yang berlangsung pada 1967. Pendudukan itu tidak diakui secara internasional.

Selama ini, negara-negara di dunia tidak pernah memberikan pengakuan bahwa Jerusalem adalah ibu kota Israel. Para presiden sebelum Trump juga menegaskan bahwa urusan ibu kota harus ditetapkan dalam negosisasi perdamaian antara Israel dan Palestina.

Namun, pemerintah AS berdalih bahwa redaksional pernyataan tersebut akan diupayakan tidak memicu amarah. Ada pertimbangan bahwa selain mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel, mereka memasukkan pernyataan bahwa Palestina nanti tetap bisa menjadikan Jerusalem Timur sebagai ibu kota.

”Bagaimana pernyataan itu dikeluarkan sangatlah penting,” ujar David Makovsky, pengamat politik di Washington Institute for Near East Policy.

Dia menegaskan, memperhalus pernyataan dengan memisahkan Jerusalem Timur dan Barat tidak akan terlalu berdampak. Kemarahan dan kericuhan akan tetap terjadi.

Hal senada diungkapkan pejabat senior di Center for a New American Security Ilan Goldenberg. Menurut dia, risiko adanya protes yang meluas di Timur Tengah terbuka lebar. Gedung-gedung diplomatik milik AS akan menjadi sasaran.

Mike Pence yang berencana melawat ke Israel dan Mesir untuk membahas masalah keamanan Iran dan negosisasi damai Israel-Palestina juga tidak luput dari sasaran protes.

Rencana pengakuan itu dibahas dalam rapat penasihat keamanan di Gedung Putih pada Senin (27/11). Trump yang awalnya direncanakan hadir dalam rapat selama 15–20 menit malah ikut hingga sekitar satu jam.

Pembahasan utama dalam rapat tersebut adalah jadi atau tidaknya memindahkan kantor Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pemindahan itu merupakan janji kampanye Trump saat mencalonkan diri sebagai orang nomer satu di AS.

”Belum ada keputusan yang dibuat untuk masalah (pemindahan) itu,” ujar Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert pada Kamis (30/11).

Berdasar sumber CNN, Trump akhirnya hanya menandatangani surat yang menegaskan bahwa kantor kedutaan akan tetap di Tel Aviv hingga Juni mendatang.

Keputusan itu diambil dengan pertimbangan pembicaraan damai antara Israel-Palestina yang digagas menantunya, Jared Kushner, bisa berjalan.

Meski begitu, Trump tetap memerintahkan para penasihat dan ajudannya untuk membuat rencana jangka panjang relokasi kedutaan di Israel.

Presiden AS setiap enam bulan harus membuat keputusan apakah kedutaan besar di Israel tetap di Tel Aviv atau pindah ke Jerusalem.

Itu sesuai dengan undang-undang yang ditandatangani mantan Presiden Bill Clinton pada 1995. Isinya, AS harus merelokasi kedutaan dari Tel Aviv ke Jerusalem kecuali presiden menundanya dengan alasan keamanan.

Keinginan Trump memindahkan kedutaan besar itu ditentang Menteri Pertahanan James Mattis dan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson.

Sebab, hal tersebut akan menempatkan staf dan diplomat di Timur Tengah serta negara-negara muslim lainnya dalam bahaya. Pemindahan itu akan memicu kemarahan umat muslim dunia. (Reuters/AP/CNN/sha/c21/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 14 Hari Misterius di Riyadh, Apa yang Sebenarnya Terjadi?


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler