Tuanku Imam Bonjol pun Tobat dari Aliran ini

Rabu, 13 Januari 2016 – 19:15 WIB
Lukisan Tuanku Imam Bonjol dari Ridder de Stuers. Foto: Repro buku Sengketa Tiada Akhir.

jpnn.com - NAMA aslinya Peto Syarif. Lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol, pimpinan Perang Paderi...perang muslim lawan muslim pertama di Asia Tenggara.

Pahlawan nasional dari Minangkabau ini dianggap beraliran Wahabi. 

BACA JUGA: Antara Tjipto Mangoenkoesoemo dan Komunisme

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

Kaum Paderi mengumumkan jihad. Pemuka masyarakat yang dianggap lebih menjunjung adat daripada mematuhi perintah agama dibunuh. Rumah-rumah gadang dibakar.

BACA JUGA: Judul Asli Kitab Sejarah Majapahit itu Bukan Negarakretagama, Tapi...

Perang berkecamuk. Pada 1815, dicuplik dari artikel Oorsprong der Padaries (Eene Secte op de Westkust van Sumatra), termuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1, No. 1, 1838, berkedok perundingan damai, kaum Paderi membantai keluarga kerajaan Pagaruyung dekat Batusangkar.

Dalam peperangan ini, nama Tuanku Imam Bonjol yang paling mencuat.

BACA JUGA: Oalah Rek...Mpu Prapanca yang Legendaris itu Ternyata Nama Samaran

Pergerakan Padri

Lelaki kelahiran 1772 itu masih bernama Peto Syarif ketika Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang pulang ke Minangkabau dari Mekah.

Dia sedang berguru pada Tuanku Nan Tuo, seorang pemuka Islam yang menerapkan hukum Islam secara ketat di ranah Minang. Antara lain mengakhiri perjudian, mabuk-mabukan dan perbanditan. 

Haji Miskin cs mendatangi dan bersekutu dengan rombongan Tuanku Nan Tuo.  

"Bagi haji-haji yang baru pulang ini budaya Minangkabau tradisional tidak bisa diperdamaikan dengan ajaran-ajaran utama Islam," tulis Jeffrey Hadler dalam Sengketa Tiada Putus.

Ketiga haji ini, sebagaimana dilansir banyak literatur, membawa semangat Wahabi yang sedang naik daun di Mekah.

Ya, dalam rentangan waktu itu (akhir abad 18-awal abad 19), kaum Wahabi sedang bergolak di Mekah dan Hijaz. Mekah berhasil dikuasai. 

Di Hijaz, kaum Wahabi membakar buku. Dengan alibi berpedoman pada Quran dan Hadis, mereka menolak penafsiran tekstual. Kubah-kubah, pusara dan tempat-tempat ziarah dihancurkan.

Nah, menurut Jeffrey, kombinasi reformisme lokal dan pengaruh mirip Wahabi inilah yang kemudian dikenal sebagai pergerakan Paderi.

Mereka menumbuhkan janggut, memakai jubah dan turban, yang ditulis Raffless dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, sebagai upaya menciptakan budaya Arab di dataran tinggi Sumatera Barat.

Belanda Ambil Untung

Tuanku Imam Bonjol melancarkan peperangan agresif. Membakar kampung-kampung musuh dan membangun mesjid-mesjid.

Saking agresifnya, kaum ini melawan Tuanku Nan Tuo dan Syekh Jalaludin. Melansir Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin, keduanya diledek Rahib Tuo dan Rajo Kafir.

Pada 1821, setelah 20 tahun perang berlangsung, Belanda mulai tergoda untuk ambil keuntungan. Apalagi, sasusnya Minangkabau kaya akan emas. 

Maka ditekenlah kesepakatan antara Belanda dengan kaum adat.

Belanda menangkap Tuanku Imam Bonjol pada 1832. Ia dibuang ke Manado. Di sana, Tuanku menulis otobiografi. 

Memoar Tuanku

Naskah yang kini dikenal bertajuk Naskah Tuanku Imam Bonjol itu antara lain menceritakan, Peto Syarif berganti nama jadi Tuanku Imam Bonjol ketika mendirikan benteng di daerah Bonjol.

Benteng Bonjol makin lama makin kaya karena pasukannya menjarah kerbau, sapi, kuda, harta karun dan budak-budak dalam serbuan-serbuan yang dilakukannya sebagai rampasan perang.

Dengan harta rampasannya, Tuanku mendanai Tuanku Tambusai dan tiga pengikutnya naik haji.

Pada 1832 haji-haji itu pulang dengan berita tak terduga. Di Mekah, Wahabi telah runtuh dan syariat-syariat yang dipelajari Haji Miskin (saat itu sudah meninggal) tidak sah lagi.

Setelah merenung selama delapan hari, dia mengumumkan gencatan senjata dan berjanji tak lagi mencampuri kewenangan adat.

"Jadi pulanglah segala harta rampasan dan kembali hanyolai (ia--red) kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dan sekalian sudah tiba dalam masjid…" tulis Tuanku Imam Bonjol dalam memoarnya. 

Itulah pertaubatan Tuanku Imam Bonjol. 

Kalau perkara perang, "kavelerinya dan pengetahuannya mengenai lembah dan gunung di dataran tinggi itu tidak tersaingi, dan pasukannya terbukti mampu mengalahkan Belanda," tulis Jeffrey dalam Sengketa Tiada Akhir(wow/jppn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Kaget! Orang Belanda-lah yang Selamatkan Sejarah Majapahit


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler