DALAM kondisi tergolek lemas, Adnan Buyung Nasution meminta secarik kertas. Dengan spindol merah di meja sebelah bed tempat berbaring, pria yang seluruh rambutnya telah memutih tersebut lantas menuliskan sesuatu.
--------------
ILHAM WANCOKO-BAYU PUTRA, Jakarta
--------------
Beberapa menit kemudian, Buyung menyerahkan kertas itu kepada pengacara Todung Mulya Lubis yang menjenguknya. Isinya adalah sederet kalimat tegas, namun disusun dengan huruf-huruf yang terlihat agak gontai. Terkadang ada kata yang hurufnya ditulis tidak lengkap.
Sepertinya, pengacara dan pejuang HAM senior tersebut menguatkan diri menulis. Itu hari keduanya (20/9) di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta karena sakit jantung dan gangguan fungsi ginjal.
BACA JUGA: Kisah Pramono Anung: Lengket sama Jokowi, tapi Masih Tidur Bertiga dengan Anaknya
"Jagalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin tertindas". Demikian isi tulisan tangan Buyung di secarik kertas yang diserahkan kepada Todung tadi.
Bagi Todung, pesan tersebut memperlihatkan betapa kepedulian seniornya itu terhadap penegakan hukum dan masyarakat kecil tak pernah padam. Sampai hari-hari terakhirnya, dalam kondisi fisik yang sudah sangat menurun sekalipun.
BACA JUGA: Inilah Sapi Kurban yang Dipesan Jokowi, Berapa Harganya?
Todung ingat, saat menjenguk pendiri LBH tersebut kali terakhir sebelum masuk RS (12/9), dirinya masih diajak berdiskusi mengenai bagaimana upaya membantu masyarakat kecil. Bahkan, saat itu Buyung merancang pertemuan yang diagendakan Rabu (23/9) dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, dan Todung sendiri.
"Pertemuan itu membahas perjuangan. Kami janjian bertemu, tapi Bang Buyung keburu dipanggil Tuhan," ungkap Todung saat ditemui di rumah duka di kawasan Lebak Bulus, Jakarta.
BACA JUGA: Pernah Tanding dengan Daud Jordan, Petinju Kepri Ini Bilang Cino Itu...
Buyung meninggal kemarin pukul 10.15 WIB di RSPI dalam usia 81 tahun. Riwayat kesehatannya memperlihatkan, setelah mengalami gagal ginjal sejak Desember 2014, dalam beberapa bulan terakhir dia diharuskan cuci darah.
Selain itu, di tubuh pria yang terlahir dengan nama Adnan Bahrum Nasution tersebut sudah terpasang delapan ring. Anggota DPRS/MPRS 1966–1968 itu juga pernah sekali menjalani operasi bypass jantung.
Buyung meninggalkan seorang istri, yakni Tengku Sabariah Sabaroedin, dan tiga anak: Maully Donggur Rinanda Nasution, Rasyid Alam Perkasa Nasution, dan Pia Ariestiana Rinanda Nasution. Juga 11 cucu dan 5 cicit. Di antara tiga anaknya itu, Rasyid dan Pia mengikuti jejaknya menjadi pengacara. Sedangkan anak pertama almarhum, Iken Basya Rinanda Nasution, lebih dulu menghadap Tuhan. Rencananya, Buyung dimakamkan di samping pusara Iken di TPU Tanah Kusir, Jakarta, hari ini (24/9).
Buyung mendirikan LBH pada Oktober 1970. Pemicunya adalah pengalamannya semasa menjadi jaksa. Dia kerap melihat warga yang pasrah dan tidak berdaya saat diadili. Akhirnya, setelah lulus S-2 dari Universitas Melbourne, Australia, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum 2007–2009 itu mendapatkan ide untuk membentuk LBH. Namun, konsekuensinya, dia harus terlebih dulu menanggalkan posisinya sebagai jaksa.
Karena keseriusannya, upaya mendirikan LBH tersebut bahkan didukung Soeharto, presiden saat itu. Soeharto membantu dengan memberikan sepuluh sepeda motor jenis vespa. Buyung mendirikan LBH bersama Nono Anwar Makarim dan Mar'ie Muhammad. Pada 1980 LBH naik status menjadi YLBHI.
Sepanjang karirnya, ada sejumlah kasus besar yang pernah ditangani Buyung. Antara lain kasus "Cicak-Buaya" Bibit-Chandra dan kasus korupsi proyek Hambalang yang menjerat Anas Urbaningrum. Yang terbaru, nama Buyung masuk dalam daftar pengacara yang membela koleganya, O.C. Kaligis.
Perjalanan panjang Buyung di dunia hukum sebagai jaksa, pengacara di LBH, dan pendiri firma hukum terpandang Adnan Buyung & Associates itulah yang membuatnya dekat dengan banyak kalangan. Itu pula sebabnya, kepergiannya mengundang ribuan pelayat untuk bertakziah ke rumah duka kemarin.
Tampak begitu banyak tokoh hukum yang turut datang untuk berbelasungkawa. Di rumah duka, jenazah Buyung berada di ruang tengah. Ketika Jawa Pos bertakziah, tampak Tengku Sabariah Sabaroedin, sang istri, tengah tersedu di dekat jenazah.
Tidak jauh dari istri almarhum, terlihat pengacara senior Muhammad Assegaf yang berkali-kali juga meneteskan air mata. Dia mengusap pipi yang basah dengan sapu tangan merah gelap. Saat berbincang dengan Jawa Pos, suara Assegaf -yang beberapa kali bekerja sama dengan Buyung dalam penanganan kasus-terdengar serak. Dia kerap menghentikan pembicaraan karena tak kuat menahan kesedihan.
Assegaf menceritakan, ada gagasan-gagasan almarhum yang diwariskan kepada semua penegak hukum. Sebulan lalu, misalnya, saat bertemu dengannya, Buyung tampak begitu gembira. Senyumnya merekah dan mereka mengobrol panjang lebar. Padahal, saat itu Buyung baru saja selesai cuci darah di RSPI.
Sejurus kemudian, Buyung meminta Assegaf mendekat. "Muh (sapaan akrab Assegaf, Red), titip Lembaga Bantuan Hukum ya. Saya sekarang sudah siap untuk kondisi terburuk," bisik Buyung kepada sang kolega. Assegaf mengaku kaget ketika itu. "Saya tak pernah mengira itu seperti dia pamitan kepada saya," katanya.
Assegaf menuturkan, kepergian Buyung adalah kehilangan besar bagi dunia hukum Indonesia. Namun, secara ideologis dan semangat, Buyung akan hidup selamanya.
"Jejak-jejak Buyung ada di mana-mana. Di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas. Di Kejaksaan Agung juga begitu, banyak yang dididik Bang Buyung," tuturnya.
Bambang Widjojanto adalah salah seorang junior dan anak didik Buyung di LBH. Bahkan, Bambang-lah dulu yang menggantikan kedudukan Buyung sebagai ketua Dewan Penyantun YLBHI. "Kita kehilangan tokoh besar dalam bidang hukum," ujarnya.
Bambang mengenang, suatu hari Buyung pernah memprotes sikap KPK dalam suatu kasus. Protes Buyung ketika itu begitu keras. Tapi, BW -sapaan akrab Bambang Widjojanto- yang sudah sangat mengenal mentornya tersebut bisa memahami."Bang Buyung ini semua ya diprotes. Dia sosok yang pemberani," ucapnya.
Nyali Buyung yang tak pernah surut itu pernah membuat dirinya menjadi salah satu sosok yang sangat kritis kepada rezim Orde Baru. Dia, misalnya, pernah menjadi pembela Jenderal H.R. Dharsono yang didakwa terlibat kasus subversif.
Karena itulah, BW menganggap Buyung yang turut menjadi pendamping KPU dalam sengketa Pemilu 2014 sebagai sosok teladan. Sebab, dia contoh penegak hukum yang tidak koruptif. "Sosok seperti itu sudah jarang saat ini," ujarnya saat keluar dari rumah duka.
BW menuturkan, secara tersirat ada titipan dari Buyung, yakni menjaga keadilan dan kemanusiaan. "Itu yang saya dapat selama belajar dari Bang Buyung. Saya yakin ada saatnya muncul Buyung-Buyung lainnya," tutur dia.
Kesaksian serupa tentang kiprah Buyung dalam penegakan hukum disuarakan mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Bagir menyatakan terakhir berkomunikasi dengan rekan kuliahnya di Universitas Indonesia itu beberapa bulan lalu. Saat itu Buyung datang ke Dewan Pers guna membicarakan aturan untuk crane.
"Dia masih bersemangat membicarakan berbagai aturan yang dirasa tidak pas untuk masyarakat. Salah satunya soal crane yang rencananya disamakan dengan kendaraan biasa," ujarnya.
Saat itu Buyung begitu kukuh agar crane tidak disamakan dengan kendaraan di jalanan. Bagir yang juga ketua Dewan Pers mengatakan, dari masalah tersebut, bisa dilihat tingginya kepedulian alumnus Universitas Utrecht itu kepada masyarakat.
Beda lagi kenangan dan kesaksian Abdul Rahman Saleh. Dia mengatakan, saat dirinya masih menjadi jaksa agung, sempat beberapa kali Buyung memprotesnya. Kalau tidak salah terkait dengan keputusan menahan seorang tersangka. "Saya disurati secara resmi. Padahal, kami ini satu almamater," ujarnya.
Namun, seperti yang diajarkan sebagai penegak hukum, Buyung saat itu bertahan dengan dalilnya. Abdul Rahman juga begitu. "Walau teman, kami tetap profesional. Akhirnya, memang tersangka ini tidak beres dan Adnan Buyung mengakuinya. Saya lupa soal kasus apa," jelasnya.
Di tengah berbagai kesibukannya di dunia hukum itu, Buyung toh tak pernah sampai menomorduakan keluarga. Istri, anak-anak, dan cucu mengenangnya sebagai sosok yang penuh perhatian dan humanistis. Hal yang paling disukainya adalah menghabiskan waktu untuk momong cucu.
"Ya, sebelum sakit, beliau memang suka pergi sama cucu-cucunya," ujar putra kedua Buyung, Maully Nasution.
Adnan Buyung Nasution juga meninggalkan kesan tersendiri bagi Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie. Pada 1989-1990 Jimly dan Buyung sama-sama melakukan riset doktoral di Belanda meski berbeda almamater.
Jimly kala itu berkuliah di Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan Rechtenfaculteit Rijksuniversiteit dan Van Vollenhoven Institute Leiden. Sedangkan Buyung kala itu di Universitas Utrecht. Jimly menceritakan, saat kali pertama datang ke Leiden, Belanda, dirinya berjumpa dengan Buyung yang lebih dahulu melakukan riset.
Buyung yang terkenal kritis pun langsung mencecar dia dengan pertanyaan. "Saya langsung ditanya ini disertasi apa gunanya buat bangsa dan negara. Padahal, dia belum baca," kenangnya saat ditemui di kantor DKPP kemarin.
Sehari sebelum Buyung meninggal, Jimly sempat membesuknya di RSPI. Saat itu, ungkap dia, Buyung masih bisa berkomunikasi meskipun suaranya tidak keluar. "Cuma, saya tahu dia mau ngomong, mau salaman begitu, saya dahului (menyalami, Red)," lanjut mantan ketua MK tersebut.
Saat Jimly membesuk, kondisi Buyung sudah cukup lemah. "Saya tanya ke dokter, komplikasi jantung, ginjal, dan itu sudah lama sekali," ujarnya. Karena itu, dia meminta semua pihak bisa menerima kenyataan.
Satu hal yang menurut Jimly dipegang teguh oleh Buyung adalah prinsip kejujuran. "Apa yang dia pikirkan tentang keadilan benar-benar dilakukan, bukan hanya retorika," tambahnya. Idealismenya tinggi dan dia tidak ragu mengungkapkan kritik secara frontal. Karena itu, Jimly pun mafhum apabila banyak yang berseberangan dengan Buyung.
Hal senada dirasakan Mendagri Tjahjo Kumolo. Dia menyatakan, dua pekan lalu Buyung menelepon dan bersurat kepada dirinya, meminta waktu untuk bertemu. Tjahjo lalu berinisiatif mendatangi Buyung, tidak menunggu dia datang ke kantornya.
Buyung dan Tjahjo lalu mengobrol di teras belakang kediaman sang pengacara kondang. Buyung, terang Tjahjo, banyak bercerita seputar karirnya sebagai jaksa maupun aktivis. "Beliau kemudian mengajak saya berdiskusi soal permasalahan pengacara senior Bapak O.C. Kaligis," ucapnya.
Tjahjo mengungkapkan mengenal Buyung lewat almarhum Taufiq Kiemas. Buyung pun sempat bercerita tentang kedekatannya dengan Kiemas dan perhatian yang diberikan mantan ketua MPR itu. "Waktu ketemu, beliau masih semangat dan memberikan nasihat kepada saya untuk terus mengabdi kepada masyarakat," tambahnya. (*/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Suasana Haru Pemakaman Mantan Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Restu Mulya, Ayah...
Redaktur : Tim Redaksi