jpnn.com - Adagium lama di kalangan tentara berbunyi, ‘’Old soldier never die, they just fade away’’, serdadu tua tidak pernah mati, mereka hanya menghilang.
Di Indonesia, ungkapan itu dipelesetkan menjadi ‘’Old sodier never die, they become politicians,’’, serdadu tua tidak pernah mati, mereka menjadi politisi.
BACA JUGA: Temuan Adian Napitupulu Soal Infrastruktur Era Jokowi vs SBY, Mas AHY Perlu Tahu
Ada lagi plesetan lainnya, ‘’Old soldier never die, they become businessman’’, serdadu tua tidak pernah mati, mereka menjadi pengusaha.
Pelesetan itu menyindir jenderal-jenderal di Indonesia yang setelah pensiun ramai-ramai terjun ke politik.
BACA JUGA: SBY Curhat soal Skenario Jahat, PKS Malah Optimistis Bakal Berkoalisi dengan Demokrat
Banyak juga para jenderal yang setelah pensiun menjadi pengusaha.
Di zaman Orde Baru, tentara menjadi pengusaha tanpa menunggu pensiun dulu.
BACA JUGA: SBY Munculkan Narasi Penjegalan Capres 2024, Bagaimana Poros PKS - Demokrat - NasDem?
Para jenderal itu sengaja diterjunkan ke politik dan sengaja diterjunkan ke bisnis, untuk mengelola usaha-usaha strategis untuk menambah pundi-pundi operasional tentara.
Pekan ini jagat politik Indonesia ramai setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden Ke-6 RI, mengatakan akan turun gunung menghadapi Pemilu Presiden 2024.
SBY mengaku harus turun gunung karena ada indikasi bahwa pemilu akan direkayasa supaya hanya diikuti oleh dua pasangan calon saja, itu pun calon yang direstui oleh rezim yang berkuasa.
Selama ini, SBY sudah ‘’naik gunung’’ setelah purnatugas sebagai presiden. Dia lengser keprabon dan madeg pandito dengan menjadi ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Jabatan yang diemban SBY sangat powerful dan menentukan, sehingga praktis SBY masih memegang kontrol penuh terhadap partainya.
Jadi, SBY tidak pernah benar-benar madeg pandito dalam artian menyingkir naik ke gunung dan bertapa sebagai seorang pandito.
SBY tetap aktif sebagai politikus dan menempati posisi tertinggi di puncak gunung partai yang didirikannya.
Pernyataan turun gunung SBY ini mendapat respons panas dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang merasa tersentil oleh SBY.
PDIP merasa bahwa SBY secara langsung telah menyerang kredibilitas PDIP sebagai partai yang berkuasa.
Saling lontar serangan pun berseliweran.
PDIP dituduh curang, sebaliknya PDIP menuduh Partai Demokrat juga curang ketika menjadi partai penguasa pada periode 2004-2014.
Pernyataan SBY menjadi puncak perseteruan perang dingin antara kedua partai yang sudah berjalan hampir dua dekade.
Setelah lengser pada 2014, SBY mewariskan tongkat estafet kepada putra mahkota Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Di sisi lain, Megawati Soekarnoputri, Presiden Ke-5 RI dan Ketua Umum PDIP, juga menyiapkan tongkat estafet untuk putri mahkota Puan Maharani.
Perang dingin SBY versus Megawati berlangsung sejak pilpres 2004, ketika SBY bisa mengalahkan Megawati yang ketika itu menjadi petahana.
SBY menjadi menteri di kabinet Presiden Megawati pada 2002 sampai 2004.
Megawati menawari SBY untuk menjadi running mate pada Pilpres 2004, tetapi SBY menolak dengan alasan ingin berkonsentrasi pada tugas kementerian.
Akan tetapi, ternyata diam-diam SBY menyiapkan diri maju sendiri sebagai calon presiden dengan mendirikan Partai Demokrat.
Partai kecil yang didirikan SBY kemudian menjadi kendaraan yang membawa SBY mengalahkan Megawati dengan PDIP yang sudah meraksasa.
Hubungan dua orang itu pun putus dan nyaris mustahil untuk direparasi.
Megawati memosisikan diri sebagai oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY.
Selama itu, Megawati membawa PDIP sebagai partai oposisi yang konsisten mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah SBY.
Salah satu yang paling fenomenal adalah penentangan keras PDIP terhadap kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak).
Ketika itu Megawati, Puan Maharani, dan Hasto Kristiyanto, sekjen PDPI, menangis menyesali kebijakan yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Konsistensi PDIP membawa hasil gemilang dengan menjadi juara pada Pemilu 2014 dan sekaligus menobatkan petugas partai Joko Widodo sebagai presiden.
Giliran Partai Demokrat yang menjadi oposisi.
Selama 2 periode pemerintahan Jokowi, Partai Demokrat berada di luar koalisi pemerintahan.
Perseteruan pribadi SBY versus Megawati mewaris kepada para putra mahkota.
Beberapa upaya islah sudah dilakukan.
AHY sudah beberapa kali sowan kepada Megawati dan bertemu dengan Puan Maharani.
Mereka berfoto wefie dan terlihat ketawa-ketiwi.
Akan tetapi, di balik itu perseteruan tetap berjalan.
Selama SBY dan Megawati masih memenang kekuasaan partai, selama itu pula perseteruan akan terus berlangsung.
Perseteruan terbuka akan terjadi pada Pilpres 2024.
Bisa jadi ini adalah perseteruan terakhir kedua tokoh bangsa itu.
Karena itu, dua-duanya akan all out habis-habisan.
Pertempuran terbuka itu bisa menjadi perang bubat, perang puputan, atau perang baratayudha, habis-habisan sampai titik darah penghabisan.
Garis demarkasi sudah ditarik.
SBY akan berkoalisi dengan confidante lama, Jusuf Kalla, bersama Surya Paloh.
Mereka akan menjadi ‘’the three musketeers’’ menghadapi koalisi lawan.
The Three musketeers sangat mungkin akan mengusung duet Anies Baswedan dan AHY.
Di sisi lain, Megawati mati-matian menyiapkan putri mahkota untuk maju ke palagan 2024.
Pertempuran akan keras dan dahsyat.
Politikus Fahri Hamzah mengkritik turun gunung ala SBY, dan menyebut bahwa bangsa Indonesia kehilangan bapak bangsa karena politik praktis.
Cuitan Fahri langsung disantap oleh netizen yang menyindir bahwa Indonesia sudah hampir 20 tahun kehilangan ibu bangsa.
Netizen itu menyindir Megawati yang terus berpolitik praktis pascapurna tugas sebagai presiden.
Fenomena Indonesia memang selalu khas, tidak ada presedennya di dunia.
Di Amerika Serikat, mantan presiden tidak berpolitik praktis, dan lebih memilih sebagai bapak bangsa yang tidak memihak kepada salah satu kekuatan partai politik.
Para mantan presiden lebih banyak menyibukkan diri sebagai pembicara di forum-forum nasional maupun internasional, atau mendirikan lembaga sosial untuk perdamaian dan kemanusiaan.
Kendati demikian, ketika suasana dianggap genting para mantan presiden itu bisa juga turun gunung dan melibatkan diri dalam politik praktis.
Pada Pilpres Amerika 2019, Presiden ke-44 Barack Obama dari Partai Demokrat turun gunung membantu Joe Biden menghadapi Donald Trump.
Ketika itu, Trump dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi Amerika karena kebijakan politiknya dianggap fasis.
Obama pun ikut berkampanya menyerang Trump.
Presiden Ke-41 George Bush senior juga ikut turun gunung untuk menyelamatkan Partai Republik dari Donald Trump, yang dikhawatirkan akan membajak partai dan membelokkannya dari nilai-nilai republikan.
Meskipun sesama Partai Republik, tapi Bush tidak setuju dengan kebijakan Trump yang nasionalistis-ekstrem.
Turun gunung para presiden Amerika itu hanya situasional dan terbatas.
Beda dengan di Indonesia yang all out dan total.
Di Amerika mungkin cocok dengan ungakapan ‘’Old presidents never die, the just fade away’’. Presiden tua tidak mati, mereka hanya menghilang.
Ungkapan di Indonesia beda lagi. ‘’Old presidents never die, they fight each other’’, presiden tua tidak pernah mati, mereka bertarung satu sama lainnya. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hasto PDIP: Kecurangan Itu Terjadi Saat Rezim Pak SBY, Bukan Era Presiden Jokowi
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror