Ujian Nasional Dihapus, Diganti Sistem Penilaian Berbobot Penalaran

Rabu, 11 Desember 2019 – 05:29 WIB
Siswa SMA mengerjakan Ujian Nasional. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kemendikbud memastikan Ujian Nasional alias UN akan dihapus dan sudah disiapkan penggantinya.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan Ujian Nasional akan diganti dengan sistem penilaian yang mengedepankan penalaran.

BACA JUGA: BSNP: Ujian Nasional Tidak Ada dalam UU Sisdiknas, Harus Dievaluasi

"UN yang sekarang mungkin dominan ke arah konten, misalnya ujian sejarah itu ingat tahun, nama pahlawan dan sebagainya, kalau matematika bagaimana mengingat rumus dan penerapannya. Nanti akan diganti dengan sistem penilaian yang mengedepankan penalaran," ujar Totok dalam diskusi di Jakarta, Selasa (10/12).

Dijelaskan, hal ini karena kompetensi yang dibutuhkan pada masa depan adalah kompetensi yang mengedepankan penalaran.

BACA JUGA: UN Dihapus, Indra Tantang Jokowi Tutup Seluruh Bimbel

Bagaimana bentuk soal ujian pengganti UN? Dikatakan, untuk bentuk sistem penilaiannya sendiri bisa pilihan ganda atau esai.

"Kami belum tahu bentuknya seperti apa, belum sampai ke arah situ. Masih dalam tahap pembahasan," kata dia.

BACA JUGA: Ketum IGI: UN jadi Ladang Bisnis, Nadiem Makarim Berani Menghapusnya?

Totok menegaskan bahwa untuk 2020, UN tetap diselenggarakan. Penggantian sistem penilaian tersebut dilakukan setelah UN 2020.

Pada sistem penilaian yang baru tersebut, soal yang ada beragam. Ada yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, dan ada juga yang mudah.

"Kalau dalam teori penilaian, kesulitan selalu ada. Ada yang mudah dan ada yang sulit, " kata Totok yang juga Plt Dirjen Dikdasmen Kemendikbud tersebut.

Tujuannya untuk menangkap kemampuan siswa yang beragam. Hal tersebut tidak bisa tercapai jika soal yang diberikan semuanya mudah atau semuanya sulit.

Sebelumnya, Kemendikbud telah menambah jumlah soal yang membutuhkan penalaran tinggi dalam soal UN dalam beberapa tahun terakhir.

Namun Totok mengaku hal itu tidak efektif, karena daya pikir tingkat tinggi harus dilakukan dengan mengubah budaya. (antara/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler