jpnn.com - JAKARTA - Pakar pendidikan dari Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto Prof Fauzi angkat bicara terkait kemungkinan ujian nasional yang telah dihapuskan, berpeluang kembali diberlakukan bagi para siswa untuk dinyatakan lulus sekolah.
Dia menilai hal tersebut sesuatu yang biasa saja, yakni berdasarkan hasil kajian.
BACA JUGA: Prihatin Kondisi Bangsa, Forum 2045 dan Guru Besar akan Gelar Simposium Nasional
"Melihat perkembangan pendidikan, ini tentu memang kebijakan itu ada saatnya dievaluasi. Dahulu, kebijakan menghapus UN juga berdasarkan hasil kajian dan evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan yang salah satunya adalah terkait UN," ujar Dekan Fakultas Tarbiah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Saizu itu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (5/11).
Menurutnya, ketika itu UN menjadi instrumen yang melahirkan kultur pendidikan yang serba instan, sehingga aktivitas belajar serba berorientasi pada skor atau nilai UN, sehingga pada akhirnya siswa maupun guru lebih intens untuk belajar soal-soal ujian.
BACA JUGA: Kuota PPDB SMA/SMK Jateng Ditambah, Pakar Pendidikan Memberi Apresiasi
Oleh karena itu, pendidikan menjadi sangat tereduksi oleh praktik-praktik yang sangat praktis dan pragmatis untuk semata-mata mengejar skor UN, sehingga proses pendidikan menjadi tidak bermakna pada pembentukan manusia karena lebih berorientasi pada pencapaian skor.
"Sehingga yang terjadi, pembelajaran atau pendidikan yang ada di sekolah atau lembaga pendidikan itu cenderung hanya formalitas saja, sehingga yang terjadi anak-anak lebih intens les, kursus, try out, mengerjakan soal-soal daripada pendidikan yang substantif," katanya.
BACA JUGA: Tonton Taufik Rachman Sebut Try Out Nasional Akan Digelar Secara Online dan Berhadiah
Dia menilai kondisi tersebut menjadi alasan menghapus UN dengan semangat melahirkan pendidikan yang lebih berorientasi pada proses dan hasil, sehingga terbentuk manusia dengan identitas yang lebih substantif sebagai manusia yang terdidik.
Namun, setelah sekian tahun, perlu dilakukan kajian secara mendalam terhadap penerapan kembali UN.
"Dalam pikiran saya memang hari ini dengan tiadanya UN, realitas yang dihadapi motivasi belajar anak-anak menjadi kurang terarah. Orang tua dan para pendidik menjadi kurang kuat dalam mendorong dan menciptakan iklim belajar yang lebih sportif, lebih sungguh-sungguh, dan lebih kerja keras," katanya.
Dia mengatakan hal itu merupakan realitas yang sering kali dikeluhkan oleh banyak pihak karena anak-anak mungkin berpikir semuanya naik kelas dan semuanya akan lulus.
Selain itu, standardisasi pendidikan harus jelas dan salah satu instrumen untuk memenuhinya berupa asesmen, ujian, atau penilaian, sehingga akan diketahui mutu pendidikan dan capaian hasil belajar yang dimiliki oleh peserta didik.
Oleh karenanya, wacana penerapan kembali UN perlu dilakukan melalui kajian secara komprehensif, mendalam, dan dengan skema yang jelas, sehingga kebijakan tersebut tidak semata-mata langsung diubah kembali.
Dia mengharapkan ketika hasil kajian menyimpulkan bahwa UN menjadi salah satu instrumen yang perlu dilakukan kembali, jangan sampai pelaksanaannya kembali seperti sebelumnya.
Di mana memunculkan kultur belajar yang tidak positif sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pihak, sehingga muncul kebijakan menghapusnya.
"Pada prinsipnya, kebijakan evaluasi, kemudian diterapkan kembali, itu bukan merupakan hal yang tabu di dunia pendidikan. Tetapi setiap perubahan itu harus diimbangi dengan peningkatan dalam segala bidang," katanya.
Prof Fauzi lebih jauh mengatakan ketika UN kembali diterapkan, pemerintah harus betul-betul mengawal ketersediaan dan ketercukupan standardisasi pendidikan secara keseluruhan.
Misalnya, standardisasi guru karena dengan adanya UN akan ada penyeragaman, sehingga standardisasi guru harus benar-benar dikuatkan.
Standardisasi guru itu di antaranya mutu guru, pendidikannya, pelatihannya, hingga kesejahteraannya. Karena dengan target tuntutan yang sama dan bersifat nasional, manakala orang-orang yang terlibat dalam proses tidak dalam skema standar yang sama, hasilnya juga tidak akan positif dan akan tetap terjadi disparitas.
Bahkan, PR yang masih dihadapi saat sekarang berupa kesenjangan mutu pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, antarsekolah swasta, serta antara sekolah di kota dan sekolah di desa.
"Oleh karena UN merupakan sistem evaluasi nasional yang sangat membutuhkan prasyarat kesetaraan dalam hal pemerataan mutu tadi, pemerataan mutu pendidikan juga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian mengenai rencana penerapan kembali UN," kata Prof Fauzi. (Antara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siswi Dipaksa Lepas Bra sebelum Ujian Nasional, Orang Tua Murka, Polisi Turun Tangan
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang