Pemberitaan soal kemungkinan bebas bersyarat salah satu pelaku bom Bali, Umar Patek, telah menjadi perhatian media di Indonesia dan Australia.

Umar Patek mengaku telah direhabilitasi dan menjalani program deradikalisasi di penjara dan mengatakan akan berkomitmen membantu pemerintah Indonesia dalam program ini.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Nasib 13 Nelayan Indonesia yang Ditangkap di Papua Nugini

"Saya ingin membantu pemerintah untuk mengedukasi orang-orang tentang isu ini, untuk generasi milenial dan mungkin narapidana teroris di penjara," katanya.

Kami juga bertanya kepada dua mantan teroris yang pernah melakukan program ini.

BACA JUGA: Sektor Wisata Pasifik Kekurangan Pekerja karena Banyak yang Pindah ke Australia dan Selandia Baru

Apa itu program deradikalisasi?

Pada dasarnya, program deradikalisasi adalah program yang dijalankan oleh beberapa instansi untuk menetralisir paham radikal yang dimiliki oleh para napi teroris.

Dyah Ayu Kartika, peneliti dari the Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Jakarta mengatakan secara umum ada dua lembaga yang mengadakan program deradikalisasi di dalam lapas, yakni BNPT dan Detasemen khusus antiteror (Densus).

BACA JUGA: Polisi Bantah Kekerasan dalam Kematian Aktivis Trans Asal Peru Saat Bulan Madu di Bali

Dyah mengatakan program BNPT meliputi identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi yang dilakukan, baik di Pusat Deradikalisasi maupun dengan mendatangi lapas-lapas, dan melakukan pendampingan.

"Menurut penuturan para napi yang didatangi di lapas, sifatnya tidak intensif, biasanya berbentuk ceramah."

Sementara program deradikalisasi yang digelar Densus lebih menyasar napi teroris di penjara dengan keamanan maksimal dan supermaksimal.

"Mereka menyasar tokoh-tokoh, dan biasanya lebih personal pendekatannya mengingat mereka yang menangkap teroris ini, sehingga mereka tahu persis profilnya, personality-nya seperti apa, dan bisa didekati dengan cara seperti apa." Seperti apa program dijalankan?

Sofyan Tsauri awalnya adalah seorang polisi yang terpapar paham radikalisme, kemudian menjadi teroris setelah ia bergabung dengan Al-Qaeda pada tahun 2002.

Dikenal dengan nama Abu Ayas atau Abu Jihad, ia berperan sebagai pemasok senjata dan melatih ratusan orang untuk dikirim berjihad ke Palestina sebelum ia ditangkap pada tahun 2010 dan divonis sepuluh tahun penjara.

Sofyan bebas bersayarat pada tahun 2015 setelah mengikuti program deradikalisasi di penjara.

"Ada kunjungan-kunjungan Densus dan BNPT ke lapas yang kemudian membuka dialog dan diskusi mengenai pemahaman radikal kami dan paham kebangsaan."

Sofyan mengatakan ada juga sejumlah pelatihan ilmu-ilmu terapan yang dilakukan di lapas yang membekas dan ikut membuka matanya, mulai dari manajemen konflik sampai persepsi empati.

"Saya jadi paham bahwa masalah sosial di masyarakat itu tidak hitam-putih, ada kompromi dan akomodasi dalam mengatasi perbedaan masyarakat, sementara sebagai teroris dulu saya merasa saya berpikir secara eksakta, … pokoknya kalau saya benar kamu salah, dan sebaliknya."

Selain itu, Sofyan mengatakan ada juga tokoh-tokoh agama yang didatangkan dan memberikan perspektif baru soal praktik beragama dan toleransi. Tidak semua program tepat sasaran

Hendro Fernando alias Abu Jasyi bergabung dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berafiliasi ke ISIS tahun 2014, sebelum ia ditangkap tahun 2016, sehari setelah teror bom Thamrin Jakarta.

Ia divonis 6 tahun 2 bulan atas tindak pidana terorisme karena memasok senjata api, merekrut dan memberangkatkan ratusan warga negara Indonesia ke Suriah, dan berperan dalam pendanaan MIT.

Sama seperti Sofyan, ia juga menjalani program deradikalisasi saat ditahan, sebelum mendapat remisi dan keluar penjara setelah menjalani 4 tahun 10 bulan masa tahanan.

Namun, Hendro mengatakan tidak semua program deradikalisasi yang didapatnya dinilai tepat sasaran.

"Saat saya ditahan di Lapas Gunung Sindur, misalnya. Pihak Badan Pemasyarakatan langsung datang dengan ideologi Pancasila, padahal ketika itu saya masih sangat tertutup, ideologi saya masih kuat dan radikal … akhirnya saya resisten."

Hendro mengatakan baru saat ia dipindahkan ke Lapas Nusa Kambangan, ia mengalami deradikalisasi.

"Di sana ada program yang namanya ‘Safari Dakwah’ yang diinisiasi densus tiga kali seminggu, dan dibawakan oleh napi teroris yang sudah kembali setia pada NKRI tapi masih ditahan."

Pendekatan melalui sesama napi teroris ini menurut Hendro lebih mengena dalam proses deradikalisasi.

"Saya merasa suasananya lebih cair dibanding kalau bertemu dengan petugas dari BNPT atau Kementerian Agama sehingga saya merasa nyaman bertukar pikiran."

Selain banyak bertanya, Hendro juga kerap meminta buku-buku bacaan, sampai akhirnya ia mengenal dan memahami ilmu agama di luar ISIS. Merah, kuning, hijau

Sejak ditangkap sampai menjalani hukuman, para napi teroris terus dinilai oleh berbagai instansi.

Dyah menjelaskan, para napi teroris biasanya diklasifikasikan oleh densus ke kategori merah, kuning, dan hijau.

Merah adalah napi teroris yang masih ekstrem, berpaham radikal, dan dinilai tidak kooperatif, sementara hijau adalah mereka yang sudah berbalik dan kooperatif dan biasanya sudah menarik ektremismenya dengan berikrar setia pada NKRI.

"Kategori dipakai untuk menentukan mereka akan ditempatkan di lapas yang seperti apa, program apa saja yang akan diberikan, dan hak-hak apa saja yang bisa diberikan kepada mereka."

Seiring dengan program deradikalisasi, diharapkan status mereka akan berangsur berubah dari merah ke hijau.

"Itu bisa terlihat dari jawaban-jawaban di pertanyaan assessment. Misalnya, dulu kalau ditanya siapakah tokoh idola Anda, saat saya masih radikal teroris, jawabannya Osama atau jihadis lainnya, tapi setelah ikut program, jawabannya KH Hasyim Azhari yang ikut berjuang untuk Indonesia," tutur Sofyan yang setelah bebas kini aktif berdakwah dalam konteks deradikalisasi.

Status ini juga menjadi insentif bagi para napi yang berubah dari merah ke hijau.

"Mereka tidak lagi ditempatkan di sel isolasi, diperbolehkan bertemu dengan tamu selain keluarga, dan lain sebagainya," kata Hendro. Perlu dikomunikasikan lebih baik kepada dunia

Profesor Greg Barton, peneliti Politik Islam Global di Deakin University mengatakan ada konsensus sekarang bahwa fokus pada deradikalisasi ide seseorang kurang penting, dibanding melepaskan atau 'disengaged' mereka dari jaringan di mana mereka pernah terlibat, termasuk dalam kasus Umar Patek.

"Deradikalisasi di sini benar-benar dipahami dalam istilah deradikalisasi kognitif, mengubah ide seseorang. Dan itu mungkin saja terjadi, tetapi butuh waktu. Dan sulit untuk dipaksakan."

"Dari apa yang Umar Patek katakan [tentang dia yang dideradikalisasi], Anda harus mempertanyakan pemikiran dia sekarang seperti apa, tetapi kelihatannya dia telah berhasil melepaskan diri dari jaringan lamanya ... dan kalau pun dia mencoba untuk terlibat kembali, ia berada di bawah pengawasan, jadi risikonya tidak terlalu tinggi."

Profesor Barton mengapresiasi program deradikalisasi yang dilakukan di Indonesia, tetapi perlu perbaikan dalam mengkomunikasikan hal tersebut dengan publik internasional, termasuk Australia yang terdampak langsung peristiwa Bom Bali.

"Saya memahami logika bagaimana pentingnya arti Patek mengikuti upacara pengibaran bendera ... karena jika seseorang masih menolak NKRI dan mengatakan itu bukan negara yang sah, ini pertanda mereka masih punya pandangan politik yang ekstrem," ujarnya menambahkan ini bisa diartikan sebagai persiapan untuk dibebaskan.

"Tetapi dalam hal mengkomunikasikannya kepada publik internasional hanya dengan mengatakan 'jangan khawatir tentang pembuat bom ini karena ia sekarang sudah mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan', ini yang mungkin tidak masuk akal untuk mereka." Bagaimana dengan kemungkinan 'kambuh'?

Sama seperti Sofyan yang dulu bebas bersyarat, Umar Patek juga nanti akan menjalani wajib lapor dan terus diawasi aktivitasnya.

"Saya dulu selama tiga tahun, dari 2016 sampai 2019, wajib lapor setiap bulan kepada lapas."

Selain itu, Sofyan mengatakan ada petugas dari BNPT dan Densus yang datang secara berkala ke kediamannya untuk melihat langsung aktivitasnya setelah bebas.

Sepanjang 2011 sampai 2021, IPAC mencatat ada setidaknya 850 orang napi teroris yang dibebaskan, baik karena masa hukumannya sudah selesai maupun bebas bersyarat.

Muhamad Syaiqullah, peneliti dari Universitas Indonesia, mengatakan angka mereka yang kemudian kambuh menjadi residivis teroris kecil sekali yakni hanya kurang dari lima persen.

“Yang harus diingat adalah proses deradikalisasi tidak boleh berhenti hanya sampai seseorang membacakan ikrar setia pada Indonesia … karena ada kasus terorisme yang pelakunya sudah ikrar setia pada NKRI ternyata melakukan lagi aksi terorisme di Filipina.”

Seberapa besar kemungkinan Umar Patek akan kembali aktif di jaringan lamanya, Syaiqullah mengatakan itu tergantung dari seberapa besar usaha Pemerintah Indonesia dalam melanjutkan program deradikalisasi di luar lapas.

“Umar Patek perlu terus didampingi saat sudah berada di luar lapas agar sustainable deradicalisation terus berjalan, bisa melalui pembinaan Balai Pemasyarakatan atau pelibatan stakeholder melalui pendekatan wawasan kebangsaan, agama, dan wirausaha.”

"Ini menjadi pekerjaan rumah bersama, bagaimana program atau seperti apa program deradikalisasi di luar lapas yang efektif bagi Umar Patek, dan seperti apa tolak ukurnya."

Beberapa mantan napi terorisme seperti Hendro mendapat dukungan finansial untuk berwirausaha burung dan telur puyuh dari yayasan yang dibiayai oleh Densus.

Sementara itu Dyah menilai para napi teroris yang sudah berikrar setia pada Indonesia biasanya secara otomatis dianggap sudah berkhianat pada jaringannya.

“Di Jemaah Islamiyah, kalau sudah terekspos dengan kepolisian, mereka akan dinon-aktifkan, dan di jaringan pro ISIS, sudah berikrar pada setia pada Indonesia itu benar-benar dibenci dan ditolak.”

Namun, Dyah mengaku masih banyak orang yang skeptis pada program deradikalisasi ini.

"Tetapi khusus untuk Umar Patek, selain ia sudah terus dilibatkan oleh BNPT beberapa tahun belakangan, kita juga harus ingat bahwa pemerintah Indonesia baru saja memberikan status WNI kepada istrinya [sebelumnya warga negara Filipina] atas permintaan Patek … ini semacam kartu truf loyalitas Umar Patek pada Indonesia."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Polisi Indonesia Gagalkan Pengiriman TKI Ilegal ke Kamboja

Berita Terkait