Sudah sebulan terakhir ini Marsianus Glenn Muhu giat berlatih bernyanyi bersama ratusan orang lainnya dalam kelompok paduan suara.

Meski sudah terbiasa bernyanyi, penampilan Glenn kali ini istimewa karena ia akan bernyanyi dalam misa yang akan dipimpin oleh Paus Fransiskus, sebagai bagian dari kunjungannya ke Indonesia.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Paus Fransiskus Serukan Pesan Persaudaraan, Keadilan Sosial, dan Toleransi

"Saya enggak menyangka dan terpikir sebelumnya ... kalau untuk umat Katolik, kayaknya mungkin ini sesuatu yang langka ya," kata Glenn Muhu kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Menurut Glenn, jumlah peserta paduan suara yang akan mengiringi jalannya misa tak kurang dari 600 orang yang terdiri dari pemenang Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) dan unsur-unsur lainnya seperti Kantor Waligereja Indonesia (KWI).

BACA JUGA: Pengumuman untuk Umat Katolik: Panitia Tidak Menjual Tiket Masuk Misa Akbar Bersama Paus Fransiskus

Ia menambahkan ada sekitar tiga belas lagu yang akan dinyanyikan dalam misa tersebut.

Tapi ini bukan pertama kalinya Glenn bertemu dengan pimpinan tertinggi gereja Katolik.

BACA JUGA: Di Istana Negara, Paus Fransiskus Bicara soal Penguasa yang Memaksakan Visi

"Tahun 1989 kebetulan saya ikut jadi pagar betis di gereja Taman Mini, ... waktu itu saya masih SD, Paus Yohanes Paulus II menanam pohon di depan gereja, saya jadi anak-anak yang menyambut dengan melambaikan bendera," kata Glenn mengenang pertemuan dengan Paus terdahulu, 35 tahun yang lalu.

"Saya berharap kedatangan Paus ini bisa membawa damai untuk kita semua, [negara] yang perang-perang itu bisa damai semua." 

Diperkirakan sekitar 86.000 umat Katolik akan menghadiri misa di Stadion Utama dan Stadion Madya Gelora Bung Karno Jakarta yang digelar pada 5 September 2024.

Mereka yang akan hadir di misa dipilih melalui sistem undian, baik melalui paroki gereja maupun sekolah.

Florentina Kezia Louise Ferdinand, siswi SMP Charitas Jakarta mengaku senang ketika tahu namanya ada di daftar 50 siswa sekolah yang berkesempatan bertemu Sri Paus.

"Aku seneng banget, tapi di satu sisi aku sedih karena temanku enggak ikut ... senang bisa ketemu langsung, karena biasanya cuma lihat di video atau materi presentasi, jadi 'wow' banget buat aku."

Jika diberi kesempatan berbicara langsung ke Paus Fransiskus, ada satu pesan yang ingin disampaikan siswi berusia 14 tahun ini.

"Aku cuma mau bilang: Paus, di sini tuh kenapa toleransinya kurang banget?'" 

"Aku hidup di lingkungan yang muslim-nya banyak, dan rumahku tuh persis di sebelah musala ... suatu hari di lingkungan aku ada sembahyang [umat Katolik], kebetulan jadwalnya di rumahku, terus pas lagi sembahyang kan pintunya terbuka dan tiba-tiba ada segerombolan anak cowok teriak 'kafir! kafir!' begitu."

"Padahal kalau mereka lagi azan di musalanya, kami biasa-biasa saja, jadi waktu mereka bilang 'kafir, kafir' itu aku sakit banget."

Christina Purwaningsih, ibunda Kezia juga punya harapan senada dari kedatangan Paus.

"Semoga kalau kami mau beribadah, tidak dipersulit. Kalau kami mau sembahyangan lingkungan, juga dipermudah ... terus membangun rumah ibadah, khususnya gereja, kalau bisa dipermudah izinnya, jangan dipersulit."

Menurut SETARA Institute for Democracy and Peace, pada tahun 2023 terjadi 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Angka ini naik dari 175 peristiwa yang terjadi di tahun 2022.

Lembaga Inclusive Indonesia juga mendata bahwa sepanjang Maret-Mei 2024 ini saja, tercatat ada enam peristiwa diskriminasi dan persekusi terhadap agama minoritas.

Tapi bukan hanya umat Katolik  yang ingin menyampaikan uneg-unegnya sebagai warga minoritas kepada Paus, pemeluk Kristen Protestan juga menaruh harapan besar kepada sosok yang dianggap berpengaruh di dunia itu.'Karena sepertinya kami sendirian'

Gabriella Pardede, perempuan berusia 25 tahun yang akrab dipanggil Gaby, adalah jemaat POUK (Persekutuan Oikumene Umat Kristen) Tesalonika di Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten.  

Kalau Glenn Muhu pernah dua kali bertemu Paus, Gaby sudah pernah dua kali dipersekusi.

Ia berharap kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia bisa menolong mereka yang selama ini dipersekusi seperti jemaat POUK Tesalonika.

Gaby pertama kali mengalami persekusi saat masih di sekolah Minggu, pada tahun 2008. Usianya saat itu masih sembilan tahun.

Ia tidak pernah menyangka enam belas tahun kemudian akan kembali mengalami persekusi, tepat sehari sebelum hari raya Paskah pada bulan Maret lalu.

Gaby mengatakan saat itu ia bersama delapan orang pemuda jemaat POUK sedang mempersiapkan ibadah paskah di dalam gedung yayasan yang baru.

"Hanya ada satu gitar, tidak ada pengeras suara, kami hanya berdoa dan latihan bernyanyi di dalam gedung," kata Gaby.

Tiba-tiba menurut Gaby, masuklah seorang majelis gereja POUK bersama dengan sekitar sepuluh orang lainnya ke dalam gedung sambil merekam.

 "Mereka kemudian bilang, tidak boleh ada kegiatan apa pun di tempat ini ... dan di luar gedung ternyata sudah ada lebih banyak orang lagi, sekitar tiga puluh orang."

"Aku takut banget, karena di sekeliling aku teriak 'bakar! hancurin aja!' ... aku jadi takut beribadah di hari Minggu, sangking traumanya kami akan dipersekusi lagi," tutur Gaby dengan suara bergetar.

Warga dan perwakilan tokoh agama Islam juga menolak perayaan Natal 2023 jemaat POUK Tesalonika di gedung yayasan, setelah sebelumnya mereka dilarang mendirikan gereja di lingkungan Tukang Kajang dengan alasan bisa membawa pemurtadan.

Sejak berdiri pada tahun 1995, jemaat POUK Tesalonika tidak punya tempat ibadah tetap dan selalu berpindah-pindah.

 "Kami enggak tahu harus minta tolong ke siapa untuk saat ini ... dan Paus kan tokoh berpengaruh di dunia yang didengar."

"Mungkin kalau Paus melihat kondisi kami, kami akan diperhatikan."

Pendeta jemaat POUK Tesalonika, Michael Siahaan, juga menyimpan keinginan yang sama, meski ia sadar Paus adalah pemimpin gereja Katolik, sementara jemaatnya adalah pemeluk Protestan yang berada di bawah naungan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

"Tiga puluh tahun kami berada di komplek itu, tapi kami tidak bisa beribadah dengan tenang ... kami mau Paus sampaikanlah kerinduan hati kami, kami cuma ingin dekat kepada Tuhan untuk kesalehan hidup kami, tapi itu pun dilarang ... kami ingin punya tempat ibadah yang permanen, itu yang ingin saya sampaikan pada Paus."

"Kami juga membutuhkan tindakan lebih lanjut dari PGI untuk mau mendampingi kami karena kami sepertinya sendirian."'Iman, Persaudaraan, dan Bela Rasa'

'Faith, Fraternity, and Compassion' atau Iman, Persaudaraan, dan Bela Rasa adalah tema kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.

"Iman itu keyakinan akan Tuhan yang senantiasa menyertai, dan iman itu menghasilkan persaudaraan, dan persaudaraan itu akhirnya menghasilkan semangat bela rasa, kolaborasi, dan solidaritas dengan mereka yang menderita," ujar juru bicara Panitia Kunjungan Paus ke Indonesia, Romo Thomas Ulun Ismaya.

Romo Ulun mengatakan tema khusus yang dibawa Paus dalam kunjungan ke Indonesia adalah kemanusiaan dan bagaimana kita bisa berkolaborasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

"Ia selalu mengungkapkan mengenai masalah lingkungan hidup, pengungsi, dan kemiskinan, yang saya yakin ada konsiderasi khusus mengapa ia memilih untuk mengunjungi Indonesia dalam keadaannya yang terbatas."

Meski menyebut secara umum kerukunan antar umat beragama Indonesia sudah baik, Romo Ulun tidak menampik masih ada "letupan dan percikan intoleransi di sana-sini" karena kurangnya dialog untuk mengenal perbedaan sehingga rasa persaudaraan di masyarakat cenderung kurang.  

Ia juga mengatakan sudah ada sejumlah lembaga untuk menjembatani kesalahpahaman lintas agama, seperti Forum Komunikasi Umat Beragama, tapi jika belum bisa membuahkan hasil maka perlu kehadiran negara untuk menjadi jembatan.

"Percikan itu salah satunya mungkin disebabkan oleh kurangnya rasa persaudaraan di akar rumput, ... dan yang kedua, dialog dan toleransi juga harus dibangun bukan hanya di akar rumput, tapi dari hadirnya negara yang menjamin kemerdekaan memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaannya masing-masing."

Romo Ulun menambahkan, bagi umat Katolik Indonesia, kunjungan Sri Paus adalah kunjungan bapak kepada anak-anaknya, sementara untuk mereka yang bukan pemeluk Katolik, ini adalah kunjungan seseorang kepada sahabat-sahabatnya.

Secara khusus ia mengajak umat Katolik untuk menyambut Paus bukan hanya secara pribadi, tapi juga menyambut gagasan-gagasannya, misalnya "memuliakan Tuhan dengan menjaga lingkungan hidup."

Di Indonesia, umat Katolik hanya berjumlah sekitar 10 juta orang atau tiga persen dari total populasi, tapi menurut Romo Ulun bukan berarti mereka "kerdil" atau "inferior", dan justru bisa melakukan banyak hal.

"Umat Katolik enggak banyak, tapi semoga hasilnya signifikan karena gereja kita 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia, jadi semoga umat Katolik semakin bagus dalam hidup bermasyarakat," pungkasnya. 

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Azan Magrib Lewat Running Text TV, PBNU Dukung Kemenkominfo

Berita Terkait