jpnn.com - Kaum muslim mengenal istilah ‘’Doa Sapu Jagat’’, satu doa yang bisa menyapu semua urusan dunia dan akhirat. Doa itu sederhana dan pendek, intinya minta kebaikan di dunia dan akhirat.
Dengan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, semua urusan akan selesai. Itulah sebabnya doa itu disebut sapu jagat, karena dengan sekali sapu seluruh urusan di jagat dan akhirat akan selesai.
BACA JUGA: KPU: Ini Semacam Doa Sapu Jagat
Di kalangan pengamat hukum belakangan muncul istilah ‘’undang-undang sapu jagat’’, satu undang-undang yang bisa menyapu semua urusan. Satu kali pukul semua urusan beres. Satu kali angkut, semua persoalan bisa diselesaikan.
UU sapu jagat itu adalah sebutan yang agak meledek bagi UU 11/2020 mengenai Cipta Kerja, atau yang lebih terkenal dengan sebutan UU Omnibus Law. Undang-undang ini menjadi salah satu produk hukum yang paling kontroversial sepanjang sejarah pemerintahan demokratis di Indonesia pascareformasi.
BACA JUGA: Apa Iya Twit Jumhur Bisa Picu Demo Rusuh Tolak Omnibus Law?
Secara terminologi, omnibus berasal dari bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal.
Omnibus law adalah metode pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. RUU Cipta Kerja hanya salah satu bagian dari omnibus law.
BACA JUGA: Haris Azhar: Omnibus Law untuk Investor Mana, Saya Bingung
Omnibus law mengangkut banyak undang-undang penting seperti UU tentang Cipta Kerja, UU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Undang-undang ini juga dianggap sebagai bentuk kemunduran yang mementahkan hasil perjuangan reformasi. Undang-undang ini dinilai sebagai sebuah setback yang membawa Indonesia mundur kembali ke era sentralisasi ala Orde Baru.
Undang-undang ini antara lain mencabut kewenangan daerah untuk mengeluarkan perizinan dan mengembalikannya kembali semua kewenangan itu kepada pemerintah pusat. Semangat reformasi yang memberikan otonomi kepada daerah seolah-olah lenyap dalam sekejap tersapu undang-undang sapu jagat itu.
Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, semua kekuasaan memusat dan tersentralisasi di tangan Presiden Soeharto. Dengan kekuasan yang sentralistik itu Soeharto bisa melakukan apa saja tanpa ada perlawanan yang berarti.
Dengan kekuasaan yang terpusat itu Soeharto menjadi despot yang berkuasa penuh tanpa kontrol. Kekuatan oposisi sudah dimatikan, karena dalam sistem despotik Orde Baru tidak ada tempat lagi bagi oposisi. Oposisi formal dari partai politik juga sudah loyo karena dikebiri.
Partai politik terkooptasi menjadi bagian dari rezim. DPR yang mestinya menjalankan fungsi check and balance berubah menjadi lembaga stempel yang kerjanya cuma mengangguk-angguk dan menyetujui semua kemauan rezim.
Cicil society dari kalangan kelas menengah--yang secara tradisional menjadi sumber kekuatan demokrasi yang bisa mengontrol kekuasan—secara sistematis dilemahkan menjadi bagian dari korporatisme negara.
Para pengusaha dari kalangan kelas menengah yang mandiri bisa menjadi sumber demokratisasi yang potensial. Para pengusaha yang mempunyai kemampuan entrepreneurship profesional akan menjadi independen karena tidak bergantung kepada proyek-proyek pemerintah.
Dalam sistem Orde Baru kelas menengah ini dimandulkan dan dibuat bergantung kepada kekuasaan. Alih-alih menjadi entrepreneurship yang mengandalkan kewirausahaan, kalangan pengusaha kelas menengah lebih sering mengandalkan proyek pemerintah dan lebih sibuk menjadi pemburu rente atau rent seeker.
Potensi kekuatan kelas menengah dari kampus juga dilumpuhkan secara sistematis. Suara-suara kritis dari mahasiswa dengan mudah dibungkam melalui program normalisasi kehidupan kampus. Dewan mahasiswa yang menjadi wadah gerakan mahasiswa dibubarkan dan diganti dengan format baru yang tidak memungkinkan mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Media massa yang bisa menjadi pilar keempat yang mengontrol demokrasi juga dipatahkan kakinya sehingga menjadi lumpuh. Rezim Soeharto mengontrol media dengan ketat melalui Departemen Penerangan yang mewajibkan semua media mempunyai surat izin penerbitan pers. Dengan mekanisme ini media massa tersandera nyawanya dan kehilangan kebebasan untuk melakukan kontrol sosial.
Kekuasaan yang mutlak akan melahirkan korupsi yang mutlak. Begitu bunyi adgium Lord Acton. Korupsi di era despotik Orde Baru terjadi secara mutlak karena tidak ada kontrol yang efektif.
Korupsi yang sudah meluas menjadi makin parah karena adanya kolusi dan nepotisme. Kekuasaan yang sentralistik melahirkan korupsi yang sentralistik juga.
Gerakan reformasi mahasiswa 1998 membongkar otoritarianisme dan despotisme Orde Baru itu. Era reformasi ditandai dengan desentralisasi kekuatan politik yang lebih besar ke daerah dalam bentuk otonomi daerah.
Para kepala daerah--yang sebelumnya hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat—menjadi otonom dan punya kewenangan yang lebih besar.
Partai politik yang terbelenggu memperoleh kebebasannya kembali. Lembaga DPR menjadi lebih powerful sebagai kekuatan penyeimbang eksekutif. Kalangan kampus memperoleh kembali kebebasan akademik, dan mahasiswa bisa leluasa kembali menyuarakan berbagai aspirasi politiknya.
Media massa memperoleh berkah besar karena dibebaskan dari kontrol pemerintah. Era kebebasan pers yang benar-benar liberal dinikmati oleh media pada masa-masa awal reformasi. Media nyaris bisa memberitakan apa saja tanpa batas. Puluhan ribu media baru bermunculan karena surat izin sudah tidak diperlukan lagi.
Penyakit kronis Orde Baru akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, dihentikan melalui pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang menjadi super body yang punya kekuatan ekstra dalam memburu para koruptor. KPK menjelma menjadi ‘’ghost buster’’ pemburu hantu yang paling ditakuti oleh koruptor.
Hasil-hasil perjuangan reformasi yang penuh darah dan air mata itu itu pelan-pelan mulai digerogoti hingga menjadi keropos. DPR sudah kehilangan daya kritisnya dan kembali menjadi rubber stamp, lembaga tukang stempel kebijakan pemerintah.
Partai-partai politik dilanda band wagon effect, beramai-ramai melompat naik ke band wagon kekuasaan dan menyisakan sedikit partai oposisi yang lunglai tidak berdaya. Kehidupan kampus kembali mengalami normalisasi seperti era despotisme lama. Para pemimpin kampus kehilangan independensi dan kebebasan akademik, para mahasiswa kehilangan kebebasan untuk mengekspresikan aspirasi politiknya.
Hasil-hasil perjuangan reformasi satu demi satu mengalami pelemahan sistematis. KPK yang menjadi momok para koruptor sudah berhasil dijinakkan.
KPK bukan lagi menjadi super body yang punya kekuasaan pemberantasan korupsi ekstra, karena KPK sudah terkooptasi menjadi bagian dari korporatisme negara.
Otonomi dan desentralisasi yang menjadi ruh reformasi, pelan-pelan digerogoti. Puncaknya terjadi ketika pemerintah memaksakan pemberlakuan undang-undang sapujagat Omnibus Law. Dengan undang-undang itu kewenangan perizinan yang semula terdesentralisasi di daerah disedot kembali menjadi sentralisasi ke pusat.
Undang-undang sapujagat Omnibus Law dengan segala aturan turunannya telah menjadikan pemerintah pusat kembali powerful. Di antara sedemikian banyak penumpang dalam omnibus law yang paling banyak jadi sorotan publik adalah UU Cipta Kerja.
Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, UU Cipta Kerja dinilai oleh para aktivis serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
UU Cipta Kerja adalah paket yang dampaknya dianggap paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia. Inilah yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak UU Cipta Kerja dan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perjuangan kalangan buruh memperoleh sebagian kemenangan setelah MK menyatakan bahwa sebagian undang-undang itu tidak konstitusional. Pemerintah diwajibkan melakukan perbaikan dalam dua tahun. Kalau tidak, maka undang-undang sapu jagat itu akan dibatalkan.
Bagi kebanyakan orang awam keputusan MK itu nanggung atau malah membingungkan.
Namun, yang paling penting adalah bahwa sebagian hasil perjuangan reformasi bisa direbut kembali melalui keputusan MK itu.
Keputusan ini bisa menjadi pintu masuk untuk mendobrak rezim despotisme baru yang sekarang membajak dan menghancurkan hasil-hasil reformasi. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror