jpnn.com - Wacana amendemen UUD 1945 mencuat kembali, setelah Pimpinan MPR bertemu dengan Presiden Jokowi yang menyampaikan atas rencana tersebut.
Yang perlu dipertegas adalah kebutuhan kita ke depan, bukan kembali ke naskah asli UUD 1945 sebelum amendemen.
BACA JUGA: Bamsoet Sebut MPR Siap Melakukan Amendemen UUD 1945
Para pendiri bangsa sendiri mengakui bahwa konstitusi yang mereka rumuskan sebelumnya bukanlah harga final.
Butuh berbagai penyesuaian baru sejalan dengan kemajuan zaman. Oleh sebab itu, membutuhkan adanya undang-undang dasar yang lebih relevan.
BACA JUGA: Tolak Penundaan Pemilu, Qodari Justru Dorong Amendemen UUD 1945
Salah satunya kerisauan kita atas demokrasi yang kita jalani saat ini kian berbiaya mahal.
Akibatnya rekrutmen politik tidak semata-mata mengandalkan pengabdian, integritas dan intelektualitas.
BACA JUGA: Soal RAPBN 2025, Said Abdullah: Waspadai Tren Kurang Baik di Indikator Sektor Keuangan
Padahal nilai-nilai itulah yang menjadi keandalan para pendiri bangsa mendirikan negara ini.
Hal itu bertolak belakang dengan yang kita jalani saat ini. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka, ditambah budaya politik yang belum mature, membuahkan praktik pemilu kita layaknya arena jual beli barang dagangan di pasar.
Padahal pemilu adalah arena kita mendapatkan putra-putri terbaik yang dengan sepenuh hati, pikiran cemerlang dan loyalitas pengabdian untuk bangsa dan negara.
Di negara negara paling liberal pun, pelaksanaan pemilihan masih meletakkan pergulatan gagasan sebagai kasta tertinggi dalam penentuan keputusan politik.
Sementara kita yang didasari oleh Demokrasi Pancasila memunggungi ajaran-ajarannya.
Demokrasi Pancasila itu ditegakkan atas fondasi yang kuat atas penghormatan; multikulturalisme, hak asasi manusia, penghormatan terhadap hak minoritas, keadilan sosial, penghargaan atas kejujuran, pengabdian, dan keteladanan.
Nilai-nilai itu harus tercermin sistem perwakilan kita serta praktik hidup berbangsa dan bernegara sehari-hari.
Dengan pemilu yang transaksional, hanya mereka yang bermodal ekonomi kuat, yang memiliki kemungkinan besar terpilih.
Apa daya dengan kelompok kelompok adat, yang secara basis elektoral kecil, apalagi kekuatan ekonominya.
Kelompok-kelompok seperti ini hanya menjadi bagian dari komoditas pemilu.
Padahal Demokrasi Pancasila menempatkan mereka sebagai bagian penting dari subjek keterwakilan politik. Lantas di mana makna keterwakilan minoritas?
Situasi itu harus kita sudahi. Melalui amendemen UUD 1945, kita rumuskan kembali sistem pemilu yang menjawab kebutuhan untuk melakukan reformasi politik.
Sejak awal PDI Perjuangan berkepentingan pada sistem pemilihan proporsional tertutup.
Kita tahu sistem ini ditolak karena belum adanya kepercayaan terhadap partai politik.
Opini yang berkembang, proporsional tertutup tanpa disertai reformasi partai politik muncul sangkaan kian menguatkan oligarkhisme politik pada partai politik.
Sangkaan ini bisa saya pahami. Oleh sebab itu, PDI Perjuangan juga sejalan untuk mewujudkan partai politik yang modern dengan terus berbenah diri.
PDI Perjuangan dalam pengelolaan manajemen dan aset organisasi telah tersertifikasi, sehingga menyandang sertifikasi ISO 55001:2014 dan ISO 9001:2015.
PDI Perjuangan juga menempatkan diri sebagai partai yang terbuka. Dan itu telah dilakukan oleh PDI Perjuangan dengan membuka diri bagi seluruh warga negara untuk berkiprah dan wajib menjalani jenjang kaderisasi dari pratama, madya, hingga utama.
Bagi para calon anggota legislatif dan eksekutif digembleng untuk memahami ideologi partai, visi misi dan garis perjuangan partai.
Hal itu dilakukan agar kepemimpinannya menjadi jelmaan ideologi partai untuk kepentingan rakyat.
Dari sisi keuangan partai, PDI Perjuangan juga menjadi bagian dari subjek audit BPK dan audit dari akuntan publik independen.
Pendek kata, penting untuk meletakkan pengaturan konstitusional guna mengatur sistem pemilu dan reformasi partai politik dalam rencana amendemen UUD 1945.
Dengan pengaturan itulah, akan menjadi dasar bagi pengaturan yang lebih detil dalam undang undang pemilu dan partai politik.
Poin penting lainnya dalam amendemen UUD 1945 adalah menguatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sejak amendemen keempat UUD 1945, peran MPR menjadi gamang, hanya menjadi lembaga negara yang mengurus fungsi-fungsi formal kenegaraan seperti pelantikan presiden dan wakil presiden.
PDI Perjuangan berpandangan perlunya MPR ditempatkan sebagai lembaga negara yang berwenang kembali menetapkan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Ketiadaan GBHN membuat pemerintahan lima tahunan amat bergantung orientasi pembangunan dari presiden terpilih tiap lima tahunan.
Risikonya, presiden yang berbeda orientasi, maka berpotensi menganggu kelangsungan tahapan pembangunan jangka panjang.
Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur rencana pembangunan jangka panjang, namun kewenangan pengawasan hanya ada di DPR. Padahal sistem perwakilan kita bikameral.
Dengan meletakkan kembali GBHN dalam ketatanegaraan kita, maka akan menguatkan pengawasan berbasis bikameral, yakni DPR dan DPD.
Selain itu, kedudukan politiknya juga akan lebih kuat, sebab secara bersamaan ditetapkan kembali Ketetapan MPR (TAP MPR) sebagai hirarki hukum yang berada diatas undang undang.
Dengan demikian, sumber rujukan hukum Mahkamah Konstitusi adalah UUD 1945 dan TAP MPR. Khusus penempatan TAP MPR sebagai sumber rujukan hukum oleh MK semata-mata dalam urusan pembangunan.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari