Usia Kian Muda, Bukan Sekadar Berhenti Menstruasi

Minggu, 19 Oktober 2014 – 00:48 WIB
ilustrasi. FOTO: ist

jpnn.com - DULU seorang perempuan mengalami masa menopause pada usia 48–51 tahun. Namun, belakangan banyak perempuan yang mengalami menopause dini pada usia kurang dari 40 tahun. Pola hidup dan tingginya aktivitas menjadi salah satu pemicu.

Tidak sedikit yang merasakan tahap berhentinya masa datang bulan itu sebagai momok. Kecemasan hidup atau stres pun melanda. Padahal, perempuan bisa tetap bahagia pada masa menopause itu. Termasuk kala berhubungan intim dengan pasangan.

BACA JUGA: Angka Kematian Ibu di Surabaya Tertinggi

Di Kota Surabaya, berdasar hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perempuan mencapai 1,4 juta jiwa. Di antara angka itu, mereka yang berusia lebih dari 40 tahun mencapai 426 ribu orang. Tentu, tidak bisa langsung disebut semua perempuan berusia lebih dari 40 tahun itu pasti mengalami menopause. Sebaliknya, mereka yang kurang dari 40 tahun bukan tidak mungkin mengalami masa itu.

Menurut Prof Dr dr Budi Santoso SpOG (K), spesialis kandungan konsultan endokrinologi RSUD dr Soetomo, fase menopause dini itu bak fenomena gunung es. Banyak yang menyadari mereka berhenti menstruasi pada usia relatif muda. Namun, mereka mengira hal itu terjadi secara alami. Padahal, ada pemicunya.

BACA JUGA: Usia Kian Muda, Bukan Sekadar Berhenti Menstruasi

’’Yang datang ke rumah sakit sedikit. Dalam seminggu hanya satu sampai dua pasien baru,’’ ucap dokter yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Unair tersebut.

Dia menyatakan, sebagian besar perempuan mengalami menopause dini karena penyakit lain. Misalnya, pasien kanker serviks yang juga berusia muda. Pasien kanker serviks yang menjalani operasi pengangkatan rahim secara otomatis akan mengalami menopause dini. Sebab, ovariumnya sudah tidak menghasilkan hormon estrogen.

BACA JUGA: Bahaya Mengonsumsi Obat Tidur

Begitu pula perempuan yang terdiagnosis kanker ganas lain yang juga harus menjalani radioterapi dan kemoterapi. Biasanya mereka juga mengalami menopause dini. Sebab, pengobatan sitostatika seperti radioterapi dan kemoterapi itu menghantam indung telur sehingga merusak ovarium. ’’Untuk pasien kanker, sekarang juga banyak yang berusia muda. Jadi, itulah yang dimaksud menopause dini sebagai diagnosis akibat,’’ papar dokter yang juga berpraktik di RSIA Kendangsari tersebut.

Selain diagnosis akibat, banyak perempuan yang mengalami menopause dini karena menderita penyakit-penyakit sindrom metabolis. Misalnya, diabetes melitus atau hipertensi. ’’Efek sampingnya tidak secara langsung, tetapi bisa berdampak terjadinya menopause dini,’’ jelas Budi.

Dia mencontohkan, ada salah seorang pasiennya yang masih berusia 19 tahun. Karena mengidap diabetes melitus tipe 1 sejak usia 13 tahun, salah satu efek samping yang dialami ternyata menopause dini pada usia yang masih belia tersebut.

Penyebab lain menopause dini, lanjut Budi, juga terbilang sangat bervariasi. Misalnya, kecelakaan yang mengharuskan pengangkatan kedua ovarium. Bisa juga disebabkan penyakit autoimun. Yakni, daya tahan tubuh menyerang tubuh sendiri seperti penyakit lupus.

Bila sudah mengalami menopause dini, Budi biasanya memberikan pilihan kepada pasien untuk menjalani terapi substitusi hormon. Ada dua jenis hormon yang biasa digunakan untuk terapi pengganti hormon estrogen dan progesteron. Jika pasien masih mempunyai rahim, terapi yang tepat adalah pemberian hormon estrogen dan progesteron. Bagi pasien yang sudah tidak memiliki rahim karena operasi, diperlukan hormon estrogen saja.

’’Untungnya, dengan kemajuan teknologi sekarang, kualitas hidup tetap bisa dipertahankan melalui terapi sulih hormon ini,’’ ucapnya. Dengan pemberian terapi, keluhan yang dialami perempuan penderita menopause dini seperti kekeringan pada vagina dan pengeroposan tulang setidaknya bisa berkurang.

Tapi, terapi sulih hormon tentu juga akan diberikan selama pasien tidak mempunyai kontraindikasi. Misalnya, pasien kanker payudara. Yang jelas, terapi sulih hormon tidak akan berefek samping jelek berlebih.

Menurut Budi, hormon estrogen memang bagaikan dua mata pisau. Bisa memberikan keuntungan dan kerugian. ’’Tapi, kalau sejauh ini buktinya sering memberikan keuntungan, kenapa tidak dicoba saja?’’ ujarnya.

Dia menambahkan, bila perempuan mengalami menopause pada usia normal, angka harapan hidupnya makin tinggi. Dia mencontohkan, kalau seseorang mengalami menopause mulai usia 50 tahun, angka harapan hidup perempuan itu mencapai usia 75 tahun. Sebab, berdasar catatan medis, seseorang bisa hidup tanpa hormon estrogen selama 25 tahun. Karena itu, bagi mereka yang mengalami menopause dini dan tidak menjaga kesehatan, potensi harapan hidupnya akan menurun.

Spesialis kandungan RSUD dr Soetomo dr Sri Ratna Dwiningsih SpOG (K) menambahkan, gejala yang paling sering dialami pasien menopause dini adalah nyeri saat berhubungan badan. Sebab, lendir di organ intim perempuan berkurang. Selain itu, tulang terasa ngilu karena kepadatan massa tulang menurun (osteoporosis). Juga, keputihan berulang yang tidak kunjung selesai, padahal sebetulnya sudah diobati.

Ratna juga menceritakan, ada beberapa pasien menopause dini yang dirawat dalam beberapa waktu terakhir ini. Yakni, seorang perempuan 38 tahun yang tidak pernah haid setelah melahirkan anak sekitar 3,5 tahun lalu. Yang bersangkutan tidak pernah menggunakan kontrasepsi. ’’Awalnya hanya bilang tidak menstruasi. Namun, setelah saya tanya-tanya, ternyata banyak keluhan yang mirip gejala menopause dini,’’ imbuhnya.

Ada kasus lain yang dialami perempuan 32 tahun dengan gejala yang sama. Dia sudah menikah, namun belum mempunyai anak. Apa penyebabnya? Ratna menyebut idiopatik alias belum diketahui penyebab pastinya. Untuk mengetahuinya, harus dilakukan screening mendetail.

Menurut dia, para perempuan yang mengalami keluhan seperti itu biasanya datang ke poli kandungan atau poli endokrinologi. Di RSUD dr Soetomo sudah ada poli menopause. Namun, poli tersebut hanya dikunjungi pasien-pasien yang mengalami menopause secara normal.

’’Yang harus dipahami perempuan yang mengalami menopause dini adalah menjaga kesehatan,’’ ucap perempuan yang juga supervisor dari Poli Menopause RSUD dr Soetomo tersebut.

Dia mengungkapkan, intinya, perempuan yang mengalami menopause dini telah kehilangan hormon estrogen yang selama ini memberikan banyak manfaat untuk tubuh. Misalnya, menjaga kepadatan tulang sehingga mencegah terjadinya osteoporosis serta menjaga kesehatan jantung.

Ratna juga menyatakan, pemberian terapi sulih hormon bagi orang yang didiagnosis menopause dini dilakukan atas pertimbangan kesehatan. Bukan supaya bisa memiliki anak lagi. Dengan terapi itu, keinginan dan kemampuan untuk berhubungan intim tidak berkurang. ’’Jadi, kembali lagi pada menjaga kualitas hidup,’’ tegasnya. (ina/c5/hud)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kurang Zat Besi saat Hamil Berisiko Anak Autisme


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler