jpnn.com, JAKARTA - Perusahaan manajemen aset Janus Henderson membeberkan data utang pemerintah global yang terus menanjak.
Janus Henderson menyebut utang pemerintah global akan naik 9,5 persen tahun ini ke rekor USD 71,6 triliun.
BACA JUGA: 3 Alasan Sri Mulyani soal Utang Pemerintah yang Menggunung
Tingginya utang itu didorong oleh utang Amerika Serikat, Jepang, dan China.
Janus Henderson memerinci utang pemerintah global mencapai rekor USD 65,4 triliun dolar AS pada 2021, padahal pada Januari 2020 mencapai USD 52,2 triliun.
BACA JUGA: Pemerintah Pengin Beli Pesawat Tempur Pakai Skema Utang, DPR Bilang Begini
"Utang China naik tercepat dan terbesar dalam bentuk tunai, naik seperlima atau USD 650 miliar pada tahun lalu," tulis Janus Henderson dalam laporannya, Rabu (5/4).
Laporan itu menyebut pemerintah-pemerintah di seluruh dunia telah meningkatkan pinjaman sejak pandemi Covid-19 meletus dua tahun lalu.
BACA JUGA: Soroti Pemindahan IKN, Andi Akmal Sentil Pemerintah Soal Pangan dan Utang
Pemerintah-pemerintah di dunia mencoba melindungi ekonomi mereka dari kejatuhan.
"Di antara ekonomi besar dan maju, Jerman mengalami peningkatan terbesar dalam persentase, dengan utangnya meningkat sebesar 15 persen, hampir dua kali lipat kecepatan rata-rata global," ungkapnya.
Menurut Janus Henderson, utang pemerintah telah meningkat tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, tetapi faktor yang meringankan adalah biaya pembayaran utang yang rendah.
Tingkat bunga efektif pada semua utang pemerintah dunia turun menjadi 1,6 persen tahun lalu dari 1,8 persen pada 2020, biaya pembayaran utang turun menjadi USD 1,01 triliun.
Pemulihan ekonomi global yang kuat memacu rasio utang terhadap PDB global meningkat menjadi 80,7 persen pada 2021 dari 87,5 persen pada 2020, tambah laporan itu.
Namun, saat ini biaya utang dapat meningkat tajam, perkiraan perusahaan manajemen aset, memperkirakan beban bunga global meningkat hampir 15 persen dengan basis mata uang konstan menjadi 1,16 triliun USD pada 2022.
"Dampak terbesar akan dirasakan di Inggris berkat kenaikan suku bunga, dampak inflasi yang lebih tinggi pada sejumlah besar utang terkait indeks Inggris, dan biaya untuk menghentikan program pelonggaran kuantitatif (QE)," laporan tersebut mengatakan.
Data laporan itu menyebut ketika suku bunga naik, ada biaya fiskal yang signifikan terkait dengan pelonggaran QE. Bank-bank sentral akan mengkristalkan kerugian pada kepemilikan obligasi mereka yang harus dibayar oleh pembayar pajak. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul