jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komite I DPD Abdul Kholik menyatakan pembengkakan anggaran pilkada bisa dihindari jika penyelenggaraannya tidak dipaksakan di era pandemi.
Kholik menjelaskan bahwa dalam skema pilkada yang dibahas di DPD, pilihan waktunya lebih tepat di tahun 2021.
BACA JUGA: Pilkada di Tengah Pandemi Berdampak pada Penilaian Stabilitas Investasi
Tahapan dimulai pada Oktober 2020, dan pencoblosan pada Maret 2021.
Ada pula opsi pilkada diselenggarakan pada September 2021 dengan awal tahapan Maret 2021.
BACA JUGA: Covid-19 dan Ancaman Kerawanan Pilkada 2020
"Diperkirakan suasana-suasana pandemi lebih terkendali, dan kemungkinan vaksin sudah mulai tersedia pada tahun depan," kata dia dalam siaran pers, Selasa (9/6).
Ia berpendapat penyelenggaraan pilkada pada 2021 akan memberikan waktu yang cukup untuk persiapan termasuk dengan menggunakan skema pandemi.
BACA JUGA: Sultan: KPU Harus Bertanggung Jawab Kalau Ada yang Kena Corona Gegara Pilkada
Jangka waktu persiapan yang cukup memungkinkan untuk dilakukan berbagai perbaikan tahapan pilkada, terutama yang berisiko tinggi karena mengharuskan pertemuan langsung.
"Terbuka peluang untuk menyederhanakan tahapan demi keamanan dan peningkatan kualitas pilkada serta penghematan biaya," ujarnya.
Salah satu tahapan yang dapat disederhanakan adalah penetapan daftar pemilih yang semula lima tahap cukup dua tahap.
Yakni, dari DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) cukup dilakukan analisis atau perbaikan oleh KPU atau Bawaslu sesuai tingkatan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap (DPT). Untuk mengantisipasi ada yang masih tertinggal dibuka ruang DPT perbaikan sampai H-7.
Terakhir, pemilih dapat menggunakan e-KTP apabila tidak masuk dalam DPT.
"Pola ini sudah sangat cukup melindungi hak pemilih dan jumlah DPT sudah dapat dijadikan acuan penetapan kebutuhan logistik pilkada," katanya.
Ia menambahkan penyederhanaan penyusunan DPT berpotensi menghemat anggaran sampai Rp 2 triliun dengan asumsi 270 daerah yang melakukan pilkada menghemat biaya antara Rp 3 miliar - Rp 7 miliar.
"Model ini akan menghilangkan coklit (pencocokan dan penelitian) yang sejatinya tidak terlalu diperlukan lagi dengan asumsi data kependudukan sudah makin baik," ungkapnya.
Apalagi di era pandemi, kata dia, pelaksanaan coklit sangat berisiko menjadi sarana penularan wabah.
“Padahal KPU maupun Bawaslu di daerah memiliki database pemilih secara berkesinambungan sebagai bahan analisis dan penyempurnaan DP4 dari Dinas Kependudukan," terangnya.
Berdasar pertimbangan tersebut DPD terus mengimbau berbagai pihak untuk meninjau kembali pilkada pada 2020, yang justru menimbulkan pembengkakan anggaran yang menyulitkan daerah.
Kholik menegaskan aspek kesehatan dan keselamatan warga harus menjadi prioritas.
“Terlebih ada ruang untuk melakukan penghematan biaya yang signifikan dan sekaligus memperbaiki tahapan demi meningkatkan kualitas penyelenggaraan pilkada," kata dia.
Seperti diketahui, penyelenggaraan pilkada di era pandemi yang direncanakan akan mulai bergulir mulai pertengahan Juni 2020, dinilai banyak kalangan berisiko menjadi salah satu sumber penyebaran wabah.
Data dari sejumlah daerah yang akan menyelenggarakan pilkada masih berjuang mengatasi penyebaran virus Covid-19. Selain itu, konsekuensi membengkaknya anggaran tidak dapat dihindari. KPU mengajukan tambahan anggaran sampai Rp 5 triliun untuk penyediaan APD dan menambah jumlah TPS. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy