jpnn.com - SIAPA yang tidak kenal dengan putra bos PT Djarum, Robert Budi Hartono, yang tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia ini? Siapa lagi kalau bukan Victor Rachmad Hartono? Berbincang seputar bulu tangkis, dua jam pun serasa belum cukup!
Itu pula yang dirasakan anggota Forum Pemred Jawa Pos Group, saat diskusi hangat dengan Victor di Novotel, 14 Desember laluMereka yang mewakili sekitar 200 anak perusahaan media yang tersebar di 33 provinsi itu terkesima dengan pengalaman, pengetahuan, dan concern-nya di dunia badminton
BACA JUGA: BBM Naik! Serupa tapi Tak Sama
Olahraga yang paling berpotensi membawa Merah Putih berkibar di arena Olimpiade dan Asian Games.Olahraga dengan raket dan shuttlecock ini asal muasalnya dari Inggris, berkembang di Denmark, India, Jepang, China, Malaysia dan Indonesia
BACA JUGA: Menata Batubara agar Tetap Membara
Tapi, belakangan ini prestasi bulutangkis nasional, sedang surut dan semakin sulit menjuarai putaran Grand Prix saja.Mengapa bulutangkis semakin jauh di mata dan jauh di hati? Semakin sulit mencari bibit-bibit baru yang sanggup menjaga estafet generasi jawara? Popularitas bulutangkis juga semakin redup? Minat orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di cabang ini juga makin langka? Sementara bola basket dan sepak bola, sekalipun prestasinya tidak punya sejarah, tetapi antusiasmenya terus menggebu.
:TERKAIT Victor R Hartono memulai dengan mengajak Forum Pemred untuk bernostalgia ke masa lampau, era 70-an
BACA JUGA: Mau Jadi Menteri? Cukup Beli Dua Buku!
Acara olahraga paling ngetop kala itu hanya dua, bulutangkis dan tinju Muhamad Ali Hanya dua cabang itu yang sering liveReporter TVRI Sambas, waktu itu begitu tersohor jika mengomentari pertandingan Indonesia.“Kaki kiri di depan, kaki kanan di belakang, Rudi Hartono melakukan serve lambungKita saksikan saudara-saudara? Apa yang terjadi? Aaa…sayang sekali, dan seterusnya,” meniru laporan reporter Sambas dengan suara bariton-nya Tinju juga menjadi favourite, karena tidak banyak pilihan siaran langsung kala itu Penduduk kita, menurut versi Rhoma Irama, kala itu 135 juta, sangat fokus dengan bulutangkis dan tinju.
Sepak bola, juga sering disiarkan langsung melalui RRI (Radio Republik Indonesia), dengan gaya bertutur yang khas“Karena itu, iklim bulutangkis saat itu turut ngetop Atmosfer-nya dapat,” jelas Victor R Hartono, yang juga Chief Operating Officer (COO) PT Djarum ini Pemred-pemred yang rata-rata kepala 30-an tahun itu pun langsung connect.
Masa itu yang diingat adalah Kamera Ria, Mana Suka Siaran Niaga, Combat, Dunia Dalam Berita pukul 21.00, dan lainnya“Di kampung-kampung, ribuan klub hidup dan suasananya sangat bulutangkisSetiap kampung minimal ada satu lapangan badminton Antarkampung sendiri saling bertanding, latihan bersama, dan friendly game, tanpa diatur oleh asosiasi atau organisasi bulutangkis,” papar dia.
Ekosistem bulutangkis ibarat tumbuh bersemi secara alamiMereka dapat jam terbang, latihan, sparing partner, dan suasana kompetitif yang sehatVictor juga bercerita, sampai-sampai kalau di luar negeri, untuk mencari perwakilan tim bulutangkis, tidak terlalu sulit“Tinggal tanya saja, siapa orang Indonesia? Ah, dia pasti bisa badminton dan pasti bisa menang!” kenangnya.
Karena itu, pemain-pemain kampung muncul di mana-mana dan mereka bangga kalau direkrut oleh akademi badminton, seperti PT Djarum Kudus, Jaya Raya Jakarta, Surya Naga Surabaya, Tangkas Jakarta, PLN Bandung, dan lainnya“Pemain-pemain juara, seperti Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Rudy Hartono, saat itu pendapatannya besar.
Sekali kontrak dengan merek raket Yonnex, atau Pro Kennex, atau Carlton, sudah USD 100.000 di kantong Karena itu mereka bisa kaya dan bangga,” jelas pria yang gara-gara bulutangkis, pernah patah tulang kaki itu Bagaimana dengan sistem insentif saat ini? Apa masih bisa kompetitif? Dibandingkan dengan cabang olahraga lain? “Dulu, sponsorship langsung ke pemain, sehingga menjadi motivasi individual yang solidSekarang, harus melalui PBSI semuanya, kontrak kolektif, baru kemudian dibagikan kepada pemain, sehingga tidak 100 persen lagi.
Inilah yang mematikan spirit bulutangkis ituKedengarannya bagus, untuk pemerataan pemain, tetapi sesungguhnya ini akan mematikan,” jelas Victor Menurut dia, sistem itu harus diubah, jika ingin majuSistem itu harus dikembalikan seperti era 70-anKarena bermain bulutangkis sebagai profesi, itu harus berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang, sebelum usia 35-40 tahun.
Sebelum pensiun alias gantung raket, pemain harus sudah mempersiapkan finansial masa tuanya dengan baikIni seperti yang dilakukan oleh Tiger Wood (golf), David Becham, Zinedine Zidane (sepak bola), Roger Federer (tenis) Bagaimana dengan support pemerintah? Karena inilah yang sering dipersoalkan oleh PBSI“Ah, saya kira jangan berharap.
Pemerintah tidak mungkin mengalokasikan budget yang signifikan untuk bulutangkisTidak mungkin! Pasti lebih mementingkan membangun infrastruktur, seperti jalan, jembatan, port, dan lainnya untuk kepentingan hajat hidup orang banyakSaya kalau jadi pemerintah juga pasti begitu,” ungkap pemilik perusahaan rokok yang memiliki CSR di Bhakti Olahraga (bulutangkis), Bhakti Pendidikan (Beswan), Bhakti Lingkungan (Tree for Life), dan Bhakti Budaya ini Victor menuturkan, Indonesia tidak seperti China yang komunis dan sosialis.
Kalau di China, untuk kepentingan negara, semua bisa dilakukan“Pola pembinaan nya pun berbedaJadi, jangan pernah menyamakan dengan merekaKita lebih mirip dengan Denmark, negara yang penduduknya hanya 5 juta, tetapi pola pembinaan mereka terus berkelanjutan, sejak Morten Frost Hansen, Poul Eric Hoyer Larsen, Peter Gade, Camilla Martin, dan lain-lainJadi, model iuran membership itu paling tepat dikembangkan di Indonesia,” jelas Victor yang didampingi Rudijanto Gunawan, Head of Corporate Affair dan stafnya, Budi Dharmawan itu(don/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyongsong 2012 sebagai Tahun Kreatif
Redaktur : Tim Redaksi