jpnn.com - JAKARTA - Pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada 16 - 17 September waktu AS menjadi fokus perhatian seluruh pelaku ekonomi dan keuangan dunia. Sebab, apapun hasil pertemuan ini, bakal berdampak luas pada perekonomian global.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan, pertemuan The Fed untuk menentukan suku bunga acuan itu memang selalu membuat panas dingin pelaku pasar.
BACA JUGA: Dukung OJK Permudah Wisman Buka Rekening agar Valas Mengalir
"Ini kekhawatiran global, tidak hanya di Indonesia," ujarnya usai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara kemarin (16/9).
Mantan ekonom senior Standard Chartered Bank itu menyebut, isu seputar pertemuan The Fed saja sudah bisa membuat nilai tukar mata uang bergejolak, apalagi di detik-detik pertemuan The Fed seperti saat ini.
BACA JUGA: Ternyata, Ini yang Paling Diuntungkan di Bisnis Pulsa Token Listrik
Hal ini pula yang membuat rupiah terdepresiasi tajam dalam beberapa hari terakhir. "Jadi pelemahan saat ini bukan berarti ekonomi Indonesia mengkhawatirkan," katanya.
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) kemarin menunjukkan, nilai tukar rupiah sudah menembus 14.442 per USD, melemah 71 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya yang di posisi 14.371 per USD.
BACA JUGA: Kepercayaan kepada Presiden Tentukan Pergerakan Kurs Rupiah
Namun di pasar spot, rupiah sudah melemah lebih tajam mendekati level psikologis 14.500 per USD. Berdasar data Bloomberg, rupiah terus tertekan sepanjang sesi perdagangan. Dibuka pada level 14.406 per USD atau melemah 2 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya, rupiah terus melemah hingga akhirnya ditutup di level 14.459 setelah sebelumnya menyentuh posisi terendah di 14.462. Pelemahan 50 poin atau 0,35 persen dalam satu hari tersebut merupakan yang paling tajam di antara 13 mata uang Asia Pasifik lainnya.
Beberapa mata uang yang juga tersungkur dihajar dolar AS kemarin adalah Baht Thailand yang melemah 0,23 persen, lalu Dolar Australia 0,20 persen, Rupee India 0,12 persen, serta Yen Jepang, Yuan Tiongkok dan dolar Hongkong yang melemah tipis.
Tapi, di tengah kuatnya tekanan dolar jelang pengumuman suku bunga The Fed, masih ada beberapa mata uang yang mampu bertahan bahkan menguat terhadap dolar AS. Misalnya, Ringgit Malaysia yang mencatat penguatan signifikan 1,48 persen, Won Korea 0,87 persen, serta Peso Filipina,
Dolar Singapura, Dolar Taiwan, dan Dolar New Zealand yang menguat tipis.
Gejolak pasar keuangan global juga kian menjadi-jadi seiring munculnya laporan terbaru Bank Dunia yang meminta negara-negara berkembang untuk bersiap-siap menghadapi turbulensi keuangan, jika The Fed benar-benar menaikkan suku bunga. Laporan itu juga menyebutkan potensi gangguan aliran investasi ke negara-negara berkembang karena tersedotnya modal ke AS. Dampak lain berupa pelemahan mata uang pun tak bisa dihindari.
Fauzi mengatakan, dampak kenaikan suku bunga The Fed memang akan signifikan. Namun, dia memprediksi jika The Fed kemungkinan masih akan menunda kenaikan suku bunga pada pertemuan kali ini. "Melihat data-data ekonomi AS saat ini, peluang The Fed untuk menunda kian besar," ucapnya.
Menurut Fauzi, data perekonomian AS seperti angka inflasi, pengangguran, dan ekspor AS yang sudah menunjukkan tertekan akibat menguat tajamnya dolar. Di samping itu, beberapa bank sentral seperti Bank Sentral Eropa, Jepang, dsn Tiongkok, kini justru mengambil posisi menurunkan suku bunga untuk mendorong ekonomi.
Karena itu, jika The Fed tetap menaikkan suku bunga, maka ekspor dan daya saing ekonomi AS akan tertekan. "Saya kira The Fed akan berpikir panjang untuk mengambil risiko itu," ujarnya. (owi/gen/dee/lus)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Teknologi Ini Bisa Meningkatkan Produksi dan Kualitas Garam Rakyat
Redaktur : Tim Redaksi