Wak Ong, Jalan Panjang di Kesunyian

Melawan untuk Kebenaran

Senin, 19 September 2016 – 13:53 WIB
Wak Ong. Foto: Dok. Hujan Tarigan.

jpnn.com - PRIA itu sudah tak benar-benar muda lagi. Pendengarannya pun sudah tak berfungsi. Namun untuk ukuran pria setengah abad, lelaki itu masih dapat dikatakan gagah. Wak Ong hanyalah seorang pedagang ayam yang mewarisi keberanian luar biasa.

Hujan Tarigan - Medanbagus/RMOL (Jawa Pos Grup)

BACA JUGA: Turki, Pemandu Wisata Berbahasa Indonesia dan Mukidi

Sehari-hari, lelaki 54 tahun itu hidup dalam kesunyian. Dalam kesunyian itu, demi menafkahi hidup keluarga, dia menjalankan bisnis potong ayam yang diwarisi ayahnya, Bendaharo Katung.

Cacat fisik yang diderita Wak Ong bukan penghalang bagi keberaniannya. Baik keberaniannya meneruskan usaha keluarga, ataupun keberaniannya dalam hal menegakkan kebenaran.

BACA JUGA: Di Pucuk-pucuk Tebing Ini Dulu Para Anggota GAM Bersembunyi

Lelaki yang sempat menjadi aktifis mahasiswa di Jakarta pada masanya ini, setia mengobarkan perlawanan kepada setiap bentuk kejahatan. Hal itu pula lah, yang mengantarkannya kepada ketulian 15 tahun silam.

15 Tahun Silam...

BACA JUGA: Melihat Cara Turkish Airlines Memanjakan Penumpang

Wak Ong pulang kampung dengan perasaan rindu dendam. Tak lama setelah kejatuhan rezim Soeharto, Wak Ong memutuskan berhenti berpetualang. Lelaki yang telah mencecahkan kaki ke hampir setiap tempat di Indonesia ini akhirnya menghentikan perantauannya dan memilih menetap untuk meneruskan usaha keluarga yang diwarisi Bendaharo Katung di Binjai. 

Bendaharo Katung bukan orang biasa. Pada masanya, ayah dari Wak Ong ini pun cukup dikenal. Sebagai generasi awal di Kampung Bonjol, Bendaharo Katung disegani sebagai orang yang dituakan. 

Meninggalkan Pariaman sejak meletusnya perang Sisingamangaraja, Bendaharo Katung kecil dibawa serta orangtuanya melintasi gugusan Bukit Barisan. Di Meulaboh, Katung kecil pun harus hidup dalam era pergolakan revolusi. 

Pertempuran pula yang akhirnya membawa Bendaharo Katung ke tanah Langkat pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Di tempat ini, Katung membesarkan putra-putrinya.

Maka, dari riwayat perjalanan hidup sang ayah, Wak Ong yang merupakan anak terakhir dari 10 bersaudara ini pun melanjutkan kisah dan riwayat hidup keluarga besarnya. 

Melanjutkan riwayat keluarganya bisa juga dilakukan dengan meneruskan apa yang sudah ada. Dari sekian banyak hal, meneruskan usaha potong ayam adalah upaya meneruskan kisah keberadaan Bendaharo Katung di Kota Binjai.

Maka di pasar Tavip lah, Wak Ong memutuskan akan mengakhiri petualangannya. Lebih dari 15 tahun lalu, Wak Ong memulai usaha keluarga yang sempat diambil alih oleh janda abang keduanya.

Hidup lebih damai ternyata dirasakan di kampung halaman sendiri. Pelan-pelan, usaha baru yang digeluti Wak Ong mulai membuahkan hasil. Kehidupan ekonominya mulai merangkak stabil seiring dengan dimulainya era pemerintahan baru. 

Sayang, di era itu, banyak lahir jagoan-jagoan pasar yang kehilangan induk semang. Kekuasaan berganti, demikian pula dengan preman yang merupakan penggerak roda kekuasaan, ikut berganti. 

Suatu kali, 15 tahun yang lalu, seorang anak muda mendatangi lapak tempat Wak Ong berdagang ayam. Dengan pongah, anak muda itu memungut uang preman kepada Wak Ong. 

15 Tahun lalu, Wak Ong yang baru saja memulai kehidupan baru, diundang untuk kembali kepada kehidupannya semasa di perantauan. Darah Wak Ong menggelegak. Kesabaran sudah habis. Maka dengan satu dua jurus dia rubuhkan anak muda itu. 

Dengan sebilah pisau pemotong ayam, Wak Ong melampiaskan kemarahan. Sang preman pun lari lintang pukang sambil menahan perih di pahanya karena sabetan pisau Wak Ong.

"Preman baru, dia tak kenal saya," desis Wak Ong.

Besoknya, sekumpulan anak muda mendatangi Wak Ong yang tengah memotong ayam. Dengan bringas mereka mengejar dan menghajar Wak Ong. Mereka sukses membalaskan dendam. Sementara wak Ong, sejak itu, kesehatan telinganya kian memburuk. 

"Telinga ini tak lagi bisa mendengar karena perbuatan sekelompok anak muda yang kehilangan kesadaran," kata Wak Ong.

15 tahun silam, adalah adalah awal jalan kesunyian bagi Wak Ong. Pasalnya, sejak pengeroyokan itu, Wak Ong benar-benar tak bisa mendengar. 

15 tahun silam, adalah awal jalan kesunyian bagi Wak Ong. Karena sejak itu, dia memusuhi obat-obatan terlarang yang telah membuat anak-anak muda yang mengeroyoknya menjadi kesetanan.

15 Tahun silam, di dalam keheningan yang dialaminya, Wak Ong memulai pergerakannya, yakni memusuhi narkoba. 

Wak Ong dan Jihadnya

Jalan sunyi kian akrab ditapaki Wak Ong. Kehidupan di dunia yang hening mulai mesra dirasakannya. Wak Ong semakin tawaduq, dan meresapi hakikat hidup. 

Bila malam tiba, Wak Ong yang sudah tak lagi bisa membedakan kesunyian malam dan kesunyian diri ini selalu terkenang kehidupannya di masa lampau. Masa ketika dia produktif berpetualangan dari tempat ke tempat. Menghabiskan masa muda dengan upaya pencarian jati diri dan eksistensi. Masa muda yang penuh api dan mempesona. Masa muda, dimana hanya ada "aku" dan tiada yang lain. Masa muda seorang pendekar pilih tanding.

"Ketika dia masih bisa mendengar, itu berarti ketika dia masih muda, sehat dan kuat. Semua kenal dengan dia," Demikian Burhanuddin, Kepala Lingkungan IV, Kelurahan Setia mengawali kisah Wak Ong. 

"Kami takut, kalau Wak Ong sudah kehabisan sabar. Dia ini tak suka obat-obatan. Preman yang tak suka obat-obatan tepatnya. Agak lucu memang. Sebelum tiba di puncak kemarahan, biasanya Wak Ong hanya diam saja. Dia terus diam. Sampai suatu titik, dia akan mengamuk sampai kehilangan kesadaran. Pokoknya marah sehebat-hebatnya lah. Kalah orang mabuk obat itu," lanjut Burhanuddin, atau biasa dikenal sebagai Mak Etek oleh warga.

Kalau sudah demikian marah, biasanya Wak Ong hanya akan sadar bila Mak Etek datang dan berkata padanya, "Wak Ong, kau memang gila!" 

"Wak Ong, gila kau! Nah kalau sudah begitu, parang di tangannya pun jatuh. Wak Ong pasti tertawa dan sadar," kata Mak Etek sambil tertawa.

Di dalam kesunyiannya, Wak Ong memulai jihadnya. Kegilannya dia tunjukkan dengan memusuhi peredaran narkoba di lingkungannya. 

"Sehari-hari dia jual ayam potong. Sederhana. Tak ada yang dipusingkannya. Sepanjang ini hidupnya hanya untuk tersenyum dan memerangi narkoba," lanjut Mak Etek. Sungguhpun Wak Ong berjalan di kesunyian, namun ternyata jalan itu tak benar-benar sunyi.

"Kita ngomong begini, nggak dengar dia itu. Kita maki atau puji, dia tetap tersenyum dan ketawa. Karena itu kami sayang padanya," kata Mak Etek.

Sayang itu menjadi-jadi, tatkala Wak Ong memproklamirkan diri sebagai penentang peredaran narkoba di lingkungannya.

"Dia korbankan uangnya sendiri demi membiayai perjuangannya. Dia cetak kaos kampanye anti narkoba. Dia buat spanduk dan karangan bunga yang berisi ajakan untuk meninggalkan narkoba," sambung Mak Etek dengan nada lemah.

"Tak pernah saya temui ada orang bodoh seperti ini. Yang mengorbankan keselamatannya sendiri, menghabiskan uangnya sendiri demi melawan narkoba," lanjut Mak Etek.

Maka sayang warga pun bertambah-tambah. Demikian pula Badan Kenaziran Mesjid Amal. Jamaah mesjid siap menjadi pagar hidup bagi Wak Ong. 

"Wak Ong sudah membuat kami bangun. Sudah waktunya kami berdiri bersamanya. Mengawal kebersihan kampung kami. Wak Ong tak sendirian, dia punya kami. Kami akan melindunginya. Jihad melawan narkoba!" seru Mak Etek.

Kelahiran Wak Ong

Binjai adalah sebuah kota perniagaan. Siapapun akan datang dan singgah di tempat itu. Kota yang hari jadinya diperingati setelah meletusnya perang Sunggal pada 17 Mei 1872 kini dipenuhi beragam etnis.

Bisnis produk dan jasa telah menjadikan Kota Binjai sebagai Shanghai-nya Indonesia.

Tak kaget, Kota Binjai sampai hari ini pun masih menjadi magnet bagi para jago-jago.

Di Kota inilah Wak Ong lahir dan besar. Lingkungan kontras membantunya memahami hidup. Di rumah, Wak Ong diajarkan mengaji. Di pasar, Wak Ong belajar menguasai bandar. 

Kekerasan bukan barang asing bagi Wak Ong. Sejak remaja, dia sudah akrab dengan adat istiadat yang berlaku di jalanan. Bergelut adalah hobinya. Hobi kebanyakan remaja-remaja kota perdagangan.

Hobinya itulah yang mengantarkannya kepada gelar yang kini dialamatkan padanya. "Itu nama dari seorang tokeh cina. Dulu Wak Ong ini bandal sekali. Berantam aja kerjanya. Dia digelari Ong. Sama cina-cina di sini," ujar Mak Etek.

Sungguhpun seorang crossboy, Wak Ong muda sudah membenci narkoba.

"Jaman ganja, Wak Ong tak mau ikut-ikut pakai. Jaman putaw, jaman sabu, tak pernah. Wak Ong bilang, kalau pun dia harus mati, dia mau mati dalam keadaan bersih tanpa narkoba," kata Mak Etek sambil tertawa.

"Bagi Wak Ong, narkoba itu dosa kedua terbesar setelah menduakan Tuhan. Kurang lebih efeknya sama. Menduakan Tuhan," kata Mak Etek.

Mewarisi Ruh Zakse

Irwansyah lahir di Binjai, 2 Mei 1963. Lelaki yang kini kita kenal sebagai Wak Ong ini sempat menjadi Resimen Mahasiswa di Universitas Kristen Indonesia, Cawang. Sebagai anak bontot dari Bendaharo Katung, Wak Ong diharapkan nantinya akan meneruskan usaha keluarga yang sebelumnya sempat diidamkan Bendaharo Katung jatuh kepada anak sulungnya, Zainal.

Malang, Zainal berumur pendek. Dunia pergerakan membuatnya hanyut dan terseret air bah revolusi pada 1966 silam.

Siapa Zainal?

Semasa kecil, wartawan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) itu dikenal sebagai Enang. Lahir di Binjai pada 4 Januari 1938. Semasa hidup, Enang aktif di Gerakan Pemuda Sosialis.

Tahun 1959, Enang ikut dalam delegasi Sumatera Utara ke Kongres Pemuda. Setelah kongres berakhir, Enang sempat ingin tinggal di Bandung. Namun angin membawanya tiba di Jakarta dan masuk Fakultas Sejarah Universitas Indonesia. Di tempat itulah, Enang yang dikenal kawan-kawannya di Binjai, tenar sebagai Zainal Zakse.

"Zakse itu singkatan. Z itu Zainal, A itu Abidin, K itu Katung, nama ayah kami. S itu Sikumbang, marga kami dan E itu Enang," kata Wak Ong.

Wak Ong hanya mendapatkan kisah sosok abangnya yang gugur bersama Arief Rahman Hakim itu dari penuturan orang tua atau saudaranya yang lain.

"Ketika saya lahir, Zainal Zakse sudah di Jakarta," kata Wak Ong.

"Saya mendapatkan nukilan kisahnya dari orang tua dan saudara," kata adik bungsu Zainal Zakse ini.

Pada tanggal 1 Oktober 1966 para mahasiswa memperingati gugurnya Pahlawan Revolusi dengan memancangkan lukisan para pahlawan itu di muka Istana. Namun, keesokan harinya lukisan-lukisan itu disingkirkan oleh pasukan pengawal istana. 

Tentu saja tindakan pengawal istana itu menyinggung perasaan para mahasiswa. Mereka kemudian mencoba masuk ke lapangan sekitar Monumen Nasional untuk meminta kembali lukisan para pahlawan Revolusi. 

Akan tetapi suasana berubah menjadi panas. Pasukan pengawal Istana mengejar-ngejar para mahasiswa dan bahkan di beberapa tempat terjadi tindakan kekerasan.

Bentrokan juga terjadi di gedung RRI. Para mahasiswa dikejar-kejar termasuk orang-orang yang ada disekitarnya. Saat itulah, Zainal Zakse, aktivis yang sekaligus wartawan itu disudutkan ke pagar besi di dekat RRI oleh beberapa anggota pasukan pengawal istana. 

Walaupun sudah mengatakan bahwa ia adalah wartawan, tetapi saja dihantam popor senjata yang beralaskan besi dan ditusuk dengan sangkur. 

Menurut kisah yang didapat Wak Ong, abangnya kemudian dilarikan RS Bersalin Budi Kemuliaan, kemudian ke RS Cipto Mangunkusumo. Setelah itu diterbangkan ke negeri Belanda untuk upaya penyembuhan. namun agaknya, di Belanda lah si Enang telah berjanji untuk menutup matanya.

"Saya menyampaikan kabar. Seperti abang saya. Kabar yang saya sampaikan hari ini adalah, jauhi narkoba! Perangi!" kata Wak Ong.

Meringkus Bandar

Wak Ong hanya punya keyakinan. Selagi kekuatan yang dititipkan Tuhan kepadanya digunakan untuk menolong orang lain, maka kebaikan akan selalu bersamanya.

"Kita disuruh Tuhan untuk menjadi manusia yang berguna bagi orang lain," kata Wak Ong. "Sekarang, saya tidak takut untuk melaksanakan perintah Tuhan itu. Saya mau menyerahkan diri saya untuk memerangi peredaran narkoba," kata Wak Ong.

Kampanye Wak Ong yang terus berdakwah melawan peredaran narkoba tentu saja mendapatkan perlawan. Ancaman pun kerap diarahkan kepadanya. Keselamatannya benar-benar terancam. 

Namun, Wak Ong yang menghidupkan nilai-nilai filsafat Minang di dalam dirinya mempedomani ungkapan "Takuruang di lua, tahimpik di ateh" sudah menyerahkan hidup matinya kepada Tuhan.

Bukannya surut ke belakang, Wak Ong yang kerap mendapat ancaman malah semakin gila. Pada Awal Mei lalu, Wak Ong menyergap transaksi ganja yang dilakukan di lingkungan rumahnya. 

Sekelompok anak muda lari tunggang langgang setelah diserang Wak Ong sendirian. Pedagang ayam yang telah mengalami cacat pendengaran itu mengawasi gerak-gerik sekelompok anak muda. Kemudian, dengan tangkas, Wak Ong membekuk sang Bandar. 

Tentu saja Wak Ong mendapat perlawanan. Lelaki yang tak lagi muda ini harus berjuang sendirian mempertahankan hidupnya sekaligus membekuk buruannya. 

Alkisah duel dimenangkan veteran preman itu. Sang Bandar pun diringkus beserta barang buktinya. Wak Ong kemudian menyerahkan bandar dan barang bukti tangkapannya kepada BNN Kota Binjai.

Tentu saja, tindakan keberanian Wak Ong mendapat ganjaran dari BNN Kota Binjai.

Senin (9/5) Kepala BNN Kota Binjai AKBP Safwan Khayat memberikan langsung penghargaan kepada pria yang belakangan populer dan jadi buah bibir karena keberaniannya meringkus dan berduel dengan seorang pemuda yang mengedarkan narkoba.

"Kita terus dukung pemberantasan narkoba, dan kita sangat bangga atas apa yang di lakukan oleh Wak Ong," ujar Safwan di Kantor Kelurahan Setia.

Jalan Sunyi yang Tak Benar-benar Sunyi

Kerinduan warga akan kemerdekaan dari narkoba pelan-pelan semakin mewujud.

Jalan sunyi yang selama ini dilalui Wak Ong ternyata tak benar-benar sunyi. Jutaan rakyat Indonesia merindukan mimpi yang sama seperti mimpi Wak Ong.

Dukungan untuk gerakan Wak Ong terus mengalir. Selain warga di lingkungannya serta BNN Kota Binjai, Rumah Sakit Bidadari pun membantu wak Ong agar bisa kembali mendengar. 

Lewat Sahabat Medanbagus, Dr. Firmansyah yang terharu dengan perjuangan Wak Ong memberikan pengobatan gratis kepada pendengaran Wak Ong serta memberikan alat bantu dengar untuk memudahkan Wak Ong berinteraksi.

Selain itu, Kampung Kuliner dan Arabika Rooftop sebagai tepat bertemunya berbagai komunitas dan aliran bersedia membantu Wak Ong. Ahmadi, manajemen Kampung Kuliner pun siap membantu sosialisasi lawan narkoba. (RMOL)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dimas Drajat Curhat Usai Pertandingan, Ibunda pun Menangis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler