jpnn.com, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) melancarkan kritik tajam untuk Kartu Prakerja. Salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo saat pilpres lalu ini dinilai terlalu dipaksakan pelaksanaannya.
Oleh karena itu, HIPMI menununtut agar pemerintah segera menghentikan sementara program tersebut hingga dilakukan evaluasi ulang yang prosesnya dilaksanakan dengan lebih transparan serta tidak terburu-buru.
BACA JUGA: Mountrash Tawarkan Kemudahan Bagi Pendaftar Kartu Prakerja
"Tahun 2020 ini adalah tahun krisis bagi semua orang, lapangan pekerjaan pun berkurang. Sangat disayangkan Pemerintah terlalu memaksakan untuk meluncurkan program Kartu Prakerja di situasi seperti ini," ucap Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI, Anggawira, dikutip dari keterangan resminya pada Jumat (8/5).
Pemaksaan itu menurutnya mengakibatkan adanya ketidaktransparanan bahkan memunculkan asumsi terjadinya potensi maladministrasi. Mekanisme pelatihan daring/ online dalam program Kartu Prakerja sendiri menjadi sebuah pertanyaan besar bagi publik.
BACA JUGA: HIPMI Minta Program Kartu Prakerja Dihentikan Sementara
Sementara, hingga kini tidak keterbukaan perihal bagaimana proses pelibatan Skills Academy (Ruang Guru), Tokopedia, Bukalapak, Sekolahmu, Pintaria, Pijar Mahir, Sisnaker, dan Maubelajarapa sehingga dapat menjadi platform digital yang terpilih sebagai mitra Pemerintah.
"Ada ruang gelap dalam pengelolaan dana APBN untuk pelatihan daring sebesar Rp 5,6 tiliun. Sampai saat ini belum ada transparansi bagaimana alokasi dana, berapa yang dibayarkan kepada delapan lembaga mitra Pemerintah tersebut," tegasnya.
BACA JUGA: SMK Ponpes dan Sekolah Vokasi Sangat Terbantu dengan Program Kartu Prakerja
Selain itu, sudah banyak keluhan karena video pelatihan daring tersebut berisi materi yang cukup menggelikan seperti cara memasak dan memancing, apalagi ini program pemerintah dengan anggaran triliunan. Padahal kontrol pemilihan dan kualitas materi yang disampaikan menjadi faktor kunci dalam sebuah pelatihan baik daring maupun tatap muka.
Anggawira menegaskan, materi pelatihan harus memenuhi standar Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Jika tidak, kecil kemungkinan perusahaan akan menerima pelamar dengan sertifikat yang dikeluarkan 8 platform digital mitra Pemerintah tersebut.
Misal, ada pelamar di sebuah perusahaan bidang hukum dengan bermodalkan CV dan sertifikat pelatihan dari platform mitra pemerintah. Tanpa adanya sertifikasi profesi advokat dari BNSP, tentu akan sulit.
"Ini berguna untuk menunjang kompetensi pelamar dan berlaku hampir untuk semua profesi strategis seperti kehumasan, akuntan, IT, human resource, insinyur, dan lain-lain," lanjutnya.
Menurut Angga -sapaan Anggawira, seharusnya yang terlibat dalam mempersiapkan pelatihan tenaga kerja Indonesia adalah Balai Latihan Kerja (BLK), Perguruan Tinggi, dan dari dunia usaha itu sendiri. Ketiga entitas tersebut dinilai lebih tepat untuk mempersiapkan materi dan keterampilan apa saja yang dibutuhkan dan harus dikuasai untuk bersaing di dunia kerja.
Untuk meminimalisir anggaran, pemerintah dapat memanfaatkan BLK sebagai sarana pelatihan masyarakat. Selain itu sinergitas dengan perguruan tinggi merupakan sebuah keharusan untuk menyediakan materi pelatihan yang berkualitas.
"Lalu kenapa dunia usaha harus dilibatkan? karena tidak dapat dipungkiri bahwa pengusaha yang paling tau apa yang dibutuhkan industri," tandasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam