jpnn.com, PEKANBARU - Wakil Ketua DPRD Pekanbaru Azwendi Fajri mendesak aparat penegak hukum menindak tiga oknum Satpol PP yang memalak nenek Mardiana (66).
Menurut Aswendi, tindakan meminta uang kepada warga yang dilakukan oknum Satpol PP harus diproses secara hukum.
BACA JUGA: Polisi Usut Dugaan Pungli Oleh Oknum Satpol PP Pekanbaru Kepada Seorang Nenek
"Aparat penegak hukum kami minta tindak oknum-oknum yang melakukan pungli dan pemerasan pada masyarakat," kata Aswendi saat dikonfirmasi JPNN.com Jumat (21/6).
Dia meminta agar para pelaku pemalakan tersebut diusut secara hukum hingga tuntas jika mereka terbukti melakukan pungutan liar (pungli).
BACA JUGA: Oknum Satpol PP Memalak Nenek-nenek, PJ Wali Kota Pekanbaru: Itu Personal
"Usut tuntas oknum yang seperti ini," ucap Azwendi.
Dia menyebut terkait perizinan tidak ada istilah bayar di lapangan. Dia memastikan apa yang dilakukan oknum tersebut salah dan harus ditindak tegas.
BACA JUGA: Nenek 66 Tahun Dipalaki Rp 3 Juta oleh 3 Pria Berpakaian Satpol PP, Lihat Wajah Mereka
"Tak ada lagi istilah bayar di lapangan itu. Ini tentu nanti menjadi celah, semua mau diselesaikan di lapangan, Kasatpol PP kami minta cek dan awasi kinerja anggotanya di lapangan," tuturnya.
Kejadian tak mengenakkan berupa pemalakan itu dialami Mardiana pada 19 Juni 2024.
Cucu Mardiana bernama Wahyu (18) mengatakan saat itu tiga orang pria berpakaian Satpol PP mendatangi rumah neneknya.
“Saya melihat langsung nenek dimintai uang. Tiga orang itu mengaku dari Satpol PP Kota Pekanbaru,” kata Wahyu.
Wahyu menceritakan, tiga orang berpakaian Satpol PP itu awalnya menanyakan izin pembangunan rumah yang sedang dilakukan di tanah milik Mardiana.
“Mereka meminta uang Rp 3 juta, satu bangunan diberi tarif RP 1 juta awalnya. Katanya untuk izin pembangunan rumah kontrakan yang sedang dibangun nenek,” lanjut Wahyu.
Karena keberatan, Mardiana menawar, hingga akhirnya para Satpol PP menyetujui dengan tarif Rp 300 ribu satu bangunan.
Saat itu Wahyu merasa curiga karena petugas tersebut tidak membawa surat-surat tugas dan menolak difoto saat menerima uang.
“Akhirnya mereka terima satu bangunan Rp 300 ribu. Jadi, kami bayar Rp 900 ribu. Itu pun, awalnya tidak dikasih kwitansi. Setelah kami paksa minta baru dibuat kwitansi,” beber Wahyu. (mcr36/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Rizki Ganda Marito