JAKARTA - Wakil Presiden Boediono memandang radikalisme sebagai sebuah ancaman riil yang bisa menceraiberaikan sendi-sendi kehidupan masyarakatMenurut Boediono, gejala radikalisme sangat berbahaya jika terus meluas
BACA JUGA: Pemondokan Haji Makkah Siap Huni
Sehingga, harus terus dicegah dan dilawan sekuat tenaga"Sekali kita membiarkan radikalisme mengambil alih alur pemikiran kita, maka ia akan mengarahkan kita pada kehancuran," kata Boediono saat membuka Global Peace Leadership Conference 2010 di Hotel Gran Melia, Jakarta, Sabtu (16/10)
BACA JUGA: Anggodo Desak Bibit-Chandra Segera Disidangkan
Konferensi yang dihadiri 300 peserta dari sejumlah negara tersebut difasilitasi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
BACA JUGA: 1 Ton Marmer Dipasang di Makam Pak Harto
Padahal, jumlah kaum radikal hanya sedikit"Suaranya yang keras seolah menenggelamkan kelompok mayoritas di masyarakat yang cenderung diam," kata pria kelahiran Blitar, 25 Februari 1943 ituMantan Menko Perekonomian itu meminta kelompok silent majority berteriak lantang menolak radikalisme"Silent majority memang ciri umum sebuah masyarakat madaniTapi, pada saat-saat tertentu, kelompok silent majority juga harus berani bersuara," kata Boediono.
Kecenderungan radikalisme, kata Boediono, masih saja tidak mau pergi, baik di tanah air maupun di negara-negara lain"Masih ada pemikiran bahwa konflik antar-peradaban justru semakin intens, bahkan mendasari konflik-konflik antar-kelompok atau antar-bangsa di masa mendatang," katanya.
Ia berharap Indonesia bisa menjadi sebuah contoh pelaksanaan keberagaman kehidupan"Kepeloporan kita menjadi semakin penting karena angin perubahan yang membawa prinsip universal itu juga menghadapi banyak tantangan," kata guru besar ekonomi Universitas Gadjah Mada tersebut.
Boediono menyebutkan, abad ke-20 merupakan era paling berdarah dalam sejarah peradaban manusia, dengan jumlah korban terbanyak sepanjang masa. Itu adalah abad
yang dipenuhi dengan perang dan kekerasan karena perbedan warna kulit, bahasa, dan agamaKonflik tersebut juga sudah dimulai ribuan tahun sebelumnya.
"Umat manusia acapkali tak segan saling membunuh, bahkan mengobarkan peperangan, untuk menghapuskan kaum yang mempunyai ciri berbedaSelama beribu-ribu tahun manusia enggan menerima adanya perbedaan dan keberagaman," kata Boediono.
Memasuki abad ke-21, lanjut Boediono, semua kalangan patut menaruh harapan terhadap penghormatan atas keberagaman"Kita mulai belajar memahami kemanusiaan secara hakikiUmat manusia menyadari betapa indah sesungguhnya perbedaan dan keberagaman ituSudah seharusnya bumi kita menjadi tamansari peradaban yang indah dan serasi," kata doktor ekonomi lulusan Wharton Business School, University of Pennsylvania, Amerika Serikat itu(sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yang Lapor Berantas Korupsi Tambah
Redaktur : Tim Redaksi