APA yang anda bayangkan saat mendengar kata kampung terisolir? Minim fasilitas, terbelakang, rumah terbuat dari bilik bambu? Ya itulah yang dialami warga Kampung Panggeleseran. Sebuah kampung di pelosok Barat Kabupaten Bogor.
Bagi masyarakat perkotaan sangat mudah mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan akses jalan. Namun bagi warga Panggeleseran, jangankan fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit atau Puskesmas, Posyandu saja mereka tidak punya.
Bahkan, untuk persalinan warga setempat sangat miris. Sang calon ibu terpaksa menggunakan motor dan diikatkan dengan suaminya untuk menuju bidan terdekat yang jaraknya mencapai 10 kilometer dengan kondisi jalan terjal dan berbatuan.
Tidak hanya itu, saat warga mengidap penyakit cukup serius, puluhan masyarakat setempat bergotong royong mengangakatnya menggunakan tandu menuju persimpangan jalan agar bisa ke rumah sakit.
“Kalau ada yang melahirkan, diikat di motor dibawa menuju bidan paling deket. Kalau dibilang kasihan, ya kasihan, namun ini satu-satunya jalan. Sedangkan kalau yang sakit ditandu sampai atas, baru naik mobil,” ujar tokoh masyarakat Panggeleseran, Suminta.
Sementara fasilitas pendidikan, tak nampak bangunan sekolah negeri di sana. Jangankan SMA, gedung SD pun tak ada. Yang ada hanya Madrasah Ibtidayah (MI). Maka tak heran banyak warga buta huruf. Terutama ibu rumah tangga, hampir semuanya tidak bisa membaca.
“Kalu ditanya bisa membaca, di sini ada ratusan warga tidak bisa membaca. Terutama ibu rumah tangga hampir semua tidak bisa. Maklum, zaman dulu kami lebih fokus bertani,” aku Onah (25) yang juga tidak bisa membaca.
Bagi mereka, kata dia, bertani dan bisa menghasilkan uang jauh lebih penting ketimbang sekolah. “Lagi pula di sini hanya ada MI,” ucap perempuan yang kini menderita penyakit tumor di lehernya itu.
Untuk fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK), kata dia, di kampungnya hanya ada dua MCK. Makanya, tak sedikit warga masih buang air besar di sungai. “Ada MCK, tapi sudah ada beberapa yang rusak dibagian pintunya karena sudah cukup lama,” ujarnya.
Sedangkan untuk memasak, warga menggunakan kayu bakar. Susahnya mendapatkan gas elpiji, memaksa mereka menggunakan kayu bakar. Padahal, warga berharap pasokan gas masuk ke kampungnya.
“Di sini harga satu gas elpiji Rp25 ribu. Meski mahal, tetap laku. Karena tidak ada agen yang mau mengantarkan, maka gas elpiji 3 kilogram susah dicari,” ucap warga lainnya, Dedi.
Begitu juga dengan listrik, Kampung Pangeleseran baru menikmati listrik pada 2006. Kini, masih ada 50 rumah lagi belum dialiri listrik.
“Masih ada 50 rumah yang nyambung ke tetangga. Untuk membayar listrik, kami bisanya berkumpul di salah satu rumah warga untuk membayar ketika petugas PLN datang,” tambah warga lainnya, Kosim. (rp13/c)
BACA JUGA: Satpol PP Cabut 22 Segel Minimarket
BACA JUGA: Parkir Liar, Mobil Ditilang Bayar Denda ke Bank DKI
BACA JUGA: Dua Tahun Lagi, Busway Bisa Gratis
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyerapan Rendah, Pimpinan Jakarta Pelit tapi Terus Menekan
Redaktur : Tim Redaksi